Menuju konten utama

Relasi Moskow-Beijing setelah Perang Dingin

Relasi Cina-Rusia, meskipun sekarang terlihat mapan, diawali dengan proses normalisasi yang lama dan dibumbui dengan sikap curiga.

Relasi Moskow-Beijing setelah Perang Dingin
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Cina Xi Jinping berjalan bersama sebelum rapat di Beijing, Cina, Jumat (8/6). ANTARA FOTO/Sputnik/Mikhael Klimentyev via REUTERS

tirto.id - Pemimpin Cina dan Rusia kembali pamer kemesraan di tengah nuansa permusuhan yang kental dengan Amerika Serikat dan Eropa. Pada 15 Desember lalu pemimpin kedua negara, Xi Jinping dan Vladimir Putin, bersua dalam acara bincang-bincang daring selama satu jam.

Pada kesempatan tersebut Putin memuji relasi Cina-Rusia sebagai “contoh kerja sama antarnegara yang tulus pada abad ke-21” karena dilandasi prinsip tidak mencampuri urusan domestik dan menghormati kepentingan satu sama lain. Putin juga menyampaikan rencana bertemu langsung dengan Xi di Beijing pada awal tahun depan untuk bernegosiasi dan, tentu saja, menghadiri Olimpiade Musim Dingin.

Melansir Global Times, pertemuan ini adalah yang kedua kali pada tahun ini—dari total 37 kali pertemuan sejak Xi diangkat sebagai Presiden Cina pada 2013. Global Times yang merupakan media propemerintah Cina menilai Moskow dan Beijing sudah “memprioritaskan pembangunan damai dalam strategi nasional mereka dan berharap menghindari konflik.”

Pertemuan virtual Xi-Putin itu terjadi kurang dari sepekan setelah Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyelenggarakan forum virtual bertajuk Summit for Democracy. Acara ini secara eksplisit mengajak banyak negara untuk berkomitmen “memukul mundur otoritarianisme, melawan korupsi, menyokong dan melindungi hak asasi manusia di setiap tempat,” meski sebenarnya tak lebih dari perhelatan simbolis untuk mengukuhkan kedudukan AS sebagai “pemimpin dunia bebas”, catat Branco Marcetic dalam artikel di Jacobin.

Acara ini jadi tamparan terbaru bagi Cina dan Rusia—dua negara besar yang Washington kategorikan “otoriter”. Keduanya jelas-jelas dicoret dari daftar peserta.

Relasi setelah Perang Dingin

Walaupun sekarang terlihat mapan, relasi Moskow-Beijing menjelang abad ke-21 sebenarnya diawali dengan proses normalisasi yang lama, dan dibumbui pula dengan sikap Rusia yang penuh kewaspadaan.

Keduanya putus hubungan pada 1969 gara-gara perkara perbatasan di bagian timur sepanjang 4.000 kilometer. Bentrokan antara Tentara Pembebasan Rakyat Cina dan pasukan Soviet tidak terelakkan sampai memakan korban jiwa.

Setelah bermusuhan sepanjang paruh terakhir Perang Dingin karena sengketa batas negara dan perbedaan ideologi, Uni Soviet dan Cina mulai mengusahakan normalisasi pada dekade 1980-an. Setelah Blok Timur kolaps, otoritas Cina dan negara terbesar Uni Soviet, Rusia, mulai membahas penyelesaian isu demarkasi tersebut. Akhirnya mereka berdamai lewat perjanjian pada 1991 dan 1994, yang difinalisasi pada 2004. Pada dekade 1990-an pula, mereka setuju untuk tidak menyerang satu sama lain dengan senjata nuklir.

Sejak tahun 2000, bertepatan dengan terpilihnya Putin sebagai presiden baru, kerja sama Moskow-Beijing dipersiapkan lebih matang. Pada musim panas tahun itu, di Tiananmen, Putin dan Presiden Cina saat itu Jiang Zemin menandatangani Deklarasi Beijing, dokumen tentang prospek kerja sama di sektor dagang, energi, riset, teknologi, penerbangan, sampai teknis militer. Setahun kemudian, poin-poin itu diabadikan dalam pakta kerja sama strategis Treaty of Good-Neighborliness & Friendly Cooperation.

Raksasa BUMN gas Rusia, Gazprom, ikut ambil peran. Pada 2004, mereka bermitra dengan BUMN minyak China National Petroleum Corporation (CNPC) untuk mempelajari cara terbaik agar bisa memenuhi kebutuhan gas Cina, termasuk kerja sama membangun infrastruktur gas untuk Cina maupun di negara ketiga.

Nilai perdagangan Cina-Rusia pun meroket dari 6,83 miliar dolar pada 1996 menjadi 48 miliar dolar pada 2007 (sekarang nilainya Rp900 triliun). Tahun 2010, Cina melengserkan Jerman sebagai negara mitra dagang utama Rusia.

Kendati nampaknya semua berada di jalur yang tepat, elite politik Rusia kala itu sebenarnya masih bersikap waspada terhadap Cina, tulis Kadri Liik dalam artikel berjudul “It’s complicated: Russia’s tricky relationship with China” (2021). Mereka curiga akan ekspansi demografis Cina ke kawasan Timur Jauh dan perebutan pengaruh di sana. Kewaspadaan ini tercermin dari sikap keberatan Kremlin untuk menjual teknologi militer terbarunya—seperti sistem rudal S-400 dan jet tempur Sukhoi Su-35—kepada Cina.

Namun situasi berubah sejak relasi Rusia dan negara demokrasi barat menegang akibat aneksasi Krimea pada 2014. Rusia semakin dikucilkan oleh komunitas internasional lewat sanksi ekonomi dari AS dan para sekutu. Dalam konteks ini, alih-alih memandang Cina sebagai kompetitor, Rusia mulai mempertimbangkannya sebagai sekutu dan investor. Singkatnya, Cina tidak lagi dinilai sebagai pihak yang berhasrat menguasai teritori Rusia di Timur Jauh.

Kekhawatiran tentang perebutan pengaruh sosio-politik dan ekonomi juga sudah diredam lewat perjanjian pada 2015. Kala itu Xi dan Putin sepakat untuk menyelaraskan proyek infrastruktur global Cina, Belt and Road Initiative (BRI), dengan kepentingan Eurasian Economic Union. Perhimpunan ini terdiri dari segelintir negara eks-Soviet yang dipimpin oleh Rusia. Termasuk di dalam dalamnya Armenia, Kazakhstan, Kyrgyz, dan Belarusia, yang dikenal sebagai produsen sumber energi, bahan mentah, sampai komoditas pertanian.

Salah satu bukti kecurigaan semakin menipis adalah, sejak 2016 Rusia mulai mengirimkan pesawat jet tempur Su-35 kepada Cina, yang memesan 24 unit dengan total senilai 2,5 miliar dolar (lebih dari Rp41 triliun).

Kemesraan Cina-Rusia kembali terlihat jelas pada 2019, ketika Xi melawat ke Moskow untuk merayakan 70 tahun hubungan diplomatik mereka. Xi bahkan meminjamkan dua ekor panda ke Kebun Binatang Moskow sebagai lambang persahabatan dua negara. Terakhir kalinya Beijing mengerahkan diplomasi panda ke sana adalah pada penghujung dekade 1950-an.

Dalam pertemuan itu Xi mengakui Rusia sebagai negara yang paling sering ia kunjungi, dan Putin dipujinya sebagai “salah satu sahabat terdekat” sekaligus “kolega yang hebat.”

Xi dan Putin lantas menandatangani kesepakatan dagang dan energi. Salah satu menyangkut kerja sama Huawei—perusahaan teknologi yang pernah mendapatkan kritik dari AS dan sejumlah negara karena teknologinya dipandang mengancam keamanan nasional—dengan perusahaan telekomunikasi Rusia, MTS, untuk mengembangkan jaringan 5G di Rusia.

Pada penghujung 2019 juga, jaringan pipa gas Power of Siberia mulai beroperasi. Pipa sepanjang 2.200 km untuk mendistribusikan gas produksi Rusia ke perbatasan Cina ini merupakan hasil kesepakatan Gazprom dan CNPC pada 2014 senilai 400 miliar dolar (Rp6.700 triliun pada hari ini). Setiap tahun selama 30 tahun kontrak, Rusia ditargetkan bisa menyuplai 38 miliar ton kubik gas kepada Cina.

Sekian tahun belakangan ini kerja sama ekonomi Rusia dan Cina memang kuat. Di mata Rusia, Cina merupakan mitra dagang penting. Pada 2019, Rusia mengekspor mayoritas komoditasnya ke Cina (senilai Rp835 triliun) dan negara-negara Eropa (Belanda, Jerman, Italia total senilai Rp1.100 triliun). Di sisi lain, Rusia paling banyak mengimpor produk dari Cina (senilai Rp670 triliun).

Selama pandemi Covid-19, persisnya sepanjang Januari-November 2021 saja, total nilai perdagangan Cina-Rusia menembus 843 miliar yuan atau sekitar Rp1.900 triliun, meningkat 24 persen dari tahun sebelumnya.

Dalam pertemuan virtual pertengahan Desember kemarin, Xi dan Putin sempat membahas proposal ambisius tentang proyek pipa gas Power of Siberia-2. Rencananya pipa ini akan membelah Mongolia untuk mendistribusikan sampai 50 miliar ton kubik gas ke Cina per tahun.

Melansir Nikkei Asia, para pengamat industri memperkirakan proyek tersebut tidak akan hanya meningkatkan volume ekspor gas Rusia ke Cina, namun juga ikut mengurangi ketergantungan Rusia pada pasar Eropa dan ketergantungan Cina pada rute maritim yang dikontrol oleh kapal-kapal AS.

"Mitra junior" yang Perlu Waspada?

Di balik prospek bagus hubungan bilateral mereka, menurut mantan diplomat senior Ian Hill dalam artikel untuk think tank Lowy Institute, Rusia tetaplah “mitra junior” yang mendapati dirinya “tidak nyaman” karena situasi tak berimbang. Karenanya Rusia akan berusaha agar tidak terlalu tergantung pada Cina—bisa jadi dengan membangkitkan lagi relasi dengan India atau Jepang (meskipun tersandung sengketa Kepulauan Kuril), bahkan dengan negara-negara ASEAN.

Akan tetapi, menurut Hill, bukan perkara mudah bagi Rusia untuk mempertahankan relasi dengan Beijing sembari menciptakan ruang untuk bermanuver menjalin kemitraan dengan negara-negara lain.

Hill juga mengungkapkan akan selalu ada pihak-pihak di Rusia, tak terkecuali dari militer, yang “diam-diam mencurigai kekuatan dan kemampuan Cina” karena besarnya aliran kapital dari Cina ke negara-negara eks-Soviet, kawasan yang Rusia yakini selama ini selalu berada di bawah pengaruhnya.

Infografik mild moskow beijing setelah perang dingin

Infografik mild moskow beijing setelah perang dingin. (tirto.id/Fuad)

Senada, Isaac Fish dalam kolom opininya di Washington Post menulis, “Moskow [sebenarnya] lebih takut pada Beijing daripada Washington.”

Fish mengatakan ketakutan Rusia berpusar pada perkara teritorial, mulai dari kehilangan pengaruh di kawasan Asia Tengah sampai lepasnya wilayah secara langsung, misalnya Siberia. Tahun 1850-an, sudut tenggara Siberia dianeksasi oleh Kekaisaran Rusia dari Dinasti Qing. Hari ini sejumlah pihak di Cina merasa wilayah tersebut milik bangsanya, sebagaimana Hong Kong dan Macau.

Kendati demikian, ketakutan tersebut tampaknya tidak akan terlalu berpengaruh pada hubungan mereka dalam waktu dekat. Sebab, menurut analis politik senior Rusia Professor Alexander Lukin dalam studi komprehensif berjudul “Have We Passed the Peak of Sino-Russian Rapprochement?” (2021), alih-alih dihantui keperkasaan Cina, tekanan yang diberikan oleh AS dan negara-negara demokrasi barat terhadap Rusia dipandang jauh lebih mengancam. Maka dari itu Rusia dinilai merasa perlu memperkuat relasi dengan Cina.

Secara geopolitik, masuk akal juga bagi Rusia untuk mendekat ke Cina, yang bisa dibilang merupakan negara terkuat setelah AS. Bersama Cina, Rusia bisa mengimbangi dominasi AS sebagai adidaya nomor satu dunia.

Lukin memprediksi relasi Moskow-Beijing akan tetap dekat sepanjang pemerintah AS mempertahankan keunggulan strategisnya dan memilih jalur permusuhan untuk menghadapi Cina dan Rusia. Akan tetapi, apabila suatu hari nanti Cina berhasil menyalip posisi dominan Paman Sam, keseimbangan kekuatan politik dunia diperkirakan akan bergeser. Bersamaan dengan itu, bukan tidak mungkin kebijakan luar negeri Rusia terhadap Cina juga ikut berubah.

Baca juga artikel terkait CINA atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino