Menuju konten utama
Kasus Mercy Maut di Solo

Relasi Bos Indaco Iwan Adranacus dan Herman Hery, Politikus PDIP

Mabes Polri sempat memberi perhatian khusus demi "memberi arahan teknis pembuktian" dalam kasus Iwan Adranacus.

Relasi Bos Indaco Iwan Adranacus dan Herman Hery, Politikus PDIP
Terdakwa kasus dugaan pembunuhan Iwan Adranacus bersama ayah korban, Suharto, saat berjalan memasuki ruang sidang saat sidang putusan di Pengadilan Negeri Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (29/1/2019). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

tirto.id - Iwan Adranacus, pelaku kasus Mercy maut di Solo, yang divonis 1 tahun penjara oleh PN Surakarta, dikenal sebagai pengusaha. Ia adalah direktur utama PT Indaco Warna Dunia, pabrik cat yang memulai operasi di Jakarta pada 2005 tapi kini pindah ke Surakarta, Jawa Tengah.

Iwan lahir di Ende, sebuah kabupaten di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, pada 27 Maret 1978. Ia beretnis Tionghoa, salah satu populasi etnis yang tumbuh di tengah masyarakat Flores yang bersuku Ende dan Lio, dua suku lokal terbesar di Ende. Kebanyakan orang Tionghoa di Ende bekerja sebagai pengusaha toko.

Di bawah pemerintah Orde Baru, orang Tionghoa dipaksa mengaburkan identitasnya, termasuk dilarang mengekspresikan agamanya sebagai penganut Konghucu. Banyak orang Tionghoa dipaksa pindah agama. Larangan agama Konghucu baru dicabut oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada 2000.

Dalam rilis Badan Pusat Statistik tahun 2010 mengenai pemeluk agama di 21 kecamatan di Kabupaten Ende, mayoritas penduduknya beragama Katolik, kedua Islam, ketiga Protestan, keempat Hindu, dan paling sedikit (hanya 7 orang pada 2011) adalah Buddha. Di Ende, cukup banyak orang Tionghoa beragama Katolik.

Soal Nama "Adranacus"

Nama "Adranacus" di belakang nama Iwan dimiliki juga oleh Herman Hery, pengusaha-cum-politikus PDI Perjuangan. Herman Hery Adranacus mewakili Dapil Nusa Tenggara Timur 2 dan terpilih untuk kali ketiga sebagai anggota DPR-RI periode 2014-2019. Di Senayan, Herman bertugas di Komisi III yang mengurusi bidang hukum, hak asasi manusia, dan keamanan.

Kehidupan Herman berwarna. Ia pernah menduduki Ketua Dewan Pimpinan Pusat Banteng Muda Indonesia, organisasi sayap kepemudaan PDIP. Ia juga seorang kontraktor dan pengusaha perhotelan di Kupang, NTT.

Pada 2013, Herman diduga terlibat kasus korupsi terkait proyek di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun anggaran 2007-2008. Ia juga diduga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan alat simulator di Korps Lalu Lintas Mabes Polri tahun anggaran 2011.

Pada 2015, Herman dilaporkan oleh Kepala Direktorat Narkoba Polda NTT, Komisaris Besar Albert Neno. Herman mengancam Albert melalui telepon karena Albert mengganggu bisnis minuman kerasnya, menjelang perayaan malam Natal. Tidak lama setelah pelaporan, Kapolda NTT Brigjen Endang Sunjaya diganti.

Kasus terbaru, pada Juni 2018, Herman dilaporkan oleh seorang warga bernama Ronny Yuniarto Kosasih ke Polres Jakarta Selatan terkait penganiayaan.

Ronny berkata dianiaya oleh Herman dan ajudannya. Ia mengalami luka di beberapa bagian tubuh, termasuk jarinya patah.

Iris Ayuningtyas, istri Ronny, juga dianiaya saat melerai pengeroyokan itu. Ia ditendang ketika berusaha melindungi kepala suaminya. Kaki kiri, kedua lengan, dan rahangnya cedera.

Saat kasus itu mencuat, redaksi Tirto menghubungi Herman Hery untuk mengklarifikasi. Herman menjawab singkat: "Cek yang benar dulu. Cek ke Polres dulu. Jangan menuduh orang tanpa alat bukti, OK?”

Yudi Adranacus, adik Herman, menyanggah laporan Ronny. Ia mengklaim kakaknya tidak berada di lokasi kejadian saat "cekcok" dengan Ronny di Jalan Arteri Pondok Indah, Jakarta Selatan, pada Juni 2018.

Yudi berkata saat kejadian itu cuma ada dia dan sopir pribadinya, bukan Herman Hery.

"Kalau dia mengatakan Pak Herman Hery itu adalah benar abang saya. Dan saya enggak tahu itu opini yang dibentuk itu seperti apa. Itu terserah dia. Tapi kenyataan, saya yang di dalam mobil," ujar Yudi Adranacus di Polres Jakarta Selatan.

Infografik HL Indepth Mercy Maut Solo

Infografik Mercy Maut di Solo

Mencuat Sentimen Etnis dan Atensi Mabes Polri

Latar belakang Iwan Adranacus itulah yang sempat membuat warga Solo, sesudah peristiwa penabrakan, memunculkan sentimen etnis.

Kabar bahwa ada pengusaha "etnis Cina" bernama Iwan Adranacus menabrak orang Solo bernama Eko Prasetio dengan kendaraan Mercy membungkus kejadian tersebut.

Dua hari setelah peristiwa itu, 24 Agustus 2018, Komisaris Jenderal Arief Sulistyanto--saat itu baru menjabat Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri--mendatangi Kantor Polres Kota Surakarta. Ia mengumpulkan anggotanya di satuan wilayah itu, meminta penjelasan bagaimana peristiwa sebenarnya soal dugaan pembunuhan tersebut.

“Kami paparkan di depan Kabareskrim,” ujar Komisaris Fadli, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Surakarta, pada 3 September 2018.

Komjen Arief meminta penyelidikan kasus dugaan pembunuhan ini dipercepat. “Jalani penyelidikan secara profesional dan terbuka,” ujar Fadli menirukan ucapan atasannya.

Tujuan lain Arief, menurut seorang penyidik kepada Tirto, adalah meminta anggotanya di Polresta Surakarta meredam isu sentimen etnis.

“Pak Arief berpesan agar diselesaikan dalam waktu dua minggu,” ujar seorang penyidik itu.

Demi meredam isu bahwa bakal ada "demo besar-besaran" di depan kantor Polresta Surakarta--karena menganggap polisi tak becus mengusut kasus penabrakan yang melibatkan "nama besar"--Wakil Kapolda Jateng Brigjen Ahmad Lutfi bahkan "mengimbau kepada masyarakat agar tidak terpancing dengan isu-isu yang beredar" tersebut.

Apakah ada motif lain dari kedatangan Kabareskrim Komjen Arief Sulistyanto?

Komjen Arief berkata bahwa dia datang ke Polresta Surakarta demi "fungsi penyidikan."

"Masak Kabareskrim enggak boleh memberi arahan teknis pembuktian?” kata Arief kepada reporter Tirto di Mabes Polri, beberapa hari setelah kunjungannya ke Solo.

“Bila perlu saya juga datang ke Polsek untuk memberi arahan kepada Reskrim Polsek,” Arief menegaskan. [Pada 24 Januari lalu, Komjen Arief dimutasi sebagai Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri.]

Saat kami mengonfirmasi apakah kedatangannya ke Solo saat itu karena ada "nama besar" Iwan Adranacus dalam kasus ini, Komjen Arief tidak menjawab telepon dari reporter Tirto.

Di media sosial, kabar seorang "bos pabrik cat" bernama Iwan Adranacus menabrak seorang warga memunculkan sentimen rasialisme. Di rumah Eko Prasetio, karangan bunga belasungkawa dari PT Indaco Warna Dunia dirusak oleh warga. Perusakan ini beredar di media sosial.

Namun, sentimen etnis itu cepat diredam oleh kepolisian Surakarta.

Pada hari itu juga, 22 Agustus 2018, pukul 8 malam, polisi menetapkan Iwan Adranacus sebagai tersangka.

"Pelaku dijerat dengan pasal 338 KUHP tentang pembunuhan,” kata Fadli. “Tidak ada intervensi dari mana pun. Kalau ada, lebih baik kepolisian dibubarkan saja."

Latar Belakang Keluarga Adranacus di Ende

Pada 4 Oktober 2018, kami mendatangi rumah Babah Tjiap, orangtua Adranacus, di RT 024, lingkungan Kelimutu 3, pusat Kota Ende.

Rumah Babah Tjiap berpagar besi merah tua setinggi 1,8 meter, berlantai dua, tampak sepi dan tertutup, seluas sekitar 15 x 10 meter persegi. Rumah ini terlihat jelas dari jalan raya.

Tetangga sekitarnya berkata rumah itu masih diisi oleh "orangtua laki-laki" Adranacus, yakni Babah Tjiap. Sementara "orangtua perempuan" Adranacus tinggal di Jakarta.

Seorang tetangga dekat Babah Tjiap mengenang keluarga Adranacus adalah "orang yang sangat baik bagi semua orang."

Ia berkata Babah Tjiap dikarunia tujuh anak. Mereka termasuk Herman Hery Adranacus dan Iwan Adranacus.

Tapi ia bilang ia tidak terlalu kenal dengan anak-anak Babah Tjiap. “Apalagi Iwan, saya tidak terlalu mengetahui," ujarnya.

Ia hanya mendengar bahwa anak-anak Baba Tjiap menurunkan sifat ibunya. “Menurut cerita, mereka memang temperamental,” katanya.

Seorang tetangga lain mengenang keluarga Babah Tjiap sebagai orang-orang dermawan. "Tidak pandang miskin atau kaya, suku dan agama, apa pun mereka saling berbagi," katanya.

Meski konstituen Herman Hery bukan di Flores, Herman terbilang loyal, suka bederma pada masyarakat dan sekolah. Dapil Herman sendiri di NTT 2, meliputi Timor, Sumba, Rote, dan Sabu Raijua.

Sementara Iwan Adranacus, sewaktu remaja pada 1990-an, sekolah di SMPK Frateran Ndao dan SMA Katolik Syuradikara; keduanya di Ende.

Meski Iwan tidak lagi tinggal di Ende, perusahaan cat Indaco Warna Dunia memiliki cabang di Ende, persisnya di Jl. Garuda No.06, Kel. Potulando, Ende Tengah.

Kecuali Herman Hery yang memang dikenal sebagai anggota DPR, narasumber kami berkata tidak terlalu mengenal Iwan Adranacus.

"Karena mereka bukan warga di sini lagi. Mereka sudah keluar daerah dan saya tidak mengenal persis mereka," ucapnya.

Karena itulah Ketua RT setempat tidak bisa menunjukkan kepada kami soal catatan administrasi sipil yang bisa menerangkan bahwa Iwan dan Herman adalah saudara. Sumber-sumber kami cuma menyampaikan lewat penuturan.

Mereka berkata famili Adranacus di Ende cuma dari kalangan Baba Tjiap, tidak ada yang lain, untuk komunitas Tionghoa Timor di Ende.

Saat kami mengonfirmasi kepada Iwan Adrancus, di sela persidangan di PN Surakarta, ia berkata "tidak mengenal" dan menjawab "tidak" soal hubungan saudara dengan Herman Hery.

Selasa kemarin, 29 Januari, setelah vonis satu tahun dijatuhkan kepada Iwan, kami kembali mengonfirmasi kepada Herman Hery soal hubungannya dengan Iwan Adranacus. Telepon kami baru diangkat Herman setelah kami berkali-kali mengontaknya.

Di ujung telepon, Herman--yang punya nama Tionghoa "Hery Tjiap"--berkata bahwa "ada hubungan atau tidak [dengan Iwan Adranacus], enggak ada urusannya."

Ia berkata hubungan dengan Iwan "cuma teman" dan bertanya balik kepada kami apa urusannya kami mengajukan pertanyaan soal relasi saudara ini.

"Kamu siapa?" tanya Herman. "Maunya apa?"

"Enggak penting kenal atau enggak kenal, apa sih maunya?"

Ia berkata bahwa Iwan sudah divonis, lalu menambahkan: "Terus mau apa lagi?"

"Enggak usah begitu-begitulah. Pesan saya, orang sudah salah, ditangkap, ditahan, dipenjara, mau apalagi?"

"Sudahlah, mau apalagi? OK."

Baca juga artikel terkait KASUS PEMBUNUHAN atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel , Andrian Pratama Taher, Arbi Sumandoyo & Irwan Syambudi
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam