tirto.id - Film-film Hollywood belakangan menampilkan perempuan yang lebih tangguh dalam peran-peran yang dahulu eksklusif milik lelaki. Beberapa judul bahkan memberlakukan gender-swap atau menukar tokoh utama laki-laki dengan perpempuan, seperti halnya yang dilakukan dalam Ghostbusters (2016) atau Ocean's Eight (2018).
Jumlah film tentang kelompok perempuan atau biasa disebut female ensemble movie pun sudah tidak bisa dihitung dengan jari dua tangan lagi. Setelah lewat masanya drama-drama klasik tentang geng cewek seperti Mean Girls (2004) atau Dreamgirls (2006), kini demam girl squad juga dirayakan dalam film bergenre laga, fiksi ilmiah, dan superhero, ranah-ranah yang selalu didominasi wajah-wajah maskulin.
Studio film superhero ternama Marvel Studio tidak ketinggalan merayakan fenomena ini dengan menyisipkan beberapa detik momen berkumpulnya para pahlawan perempuan dalam Avengers: Endgame (2019). DC, pesaing Marvel, belakangan juga melakukan manuver yang sama melalui rencana perilisan Birds of Prey pada tahun 2020 mendatang yang kabarnya akan berputar di sekitar aksi Harley Quinn bersama geng perempuannya.
Tentu yang tak boleh dilupakan adalah Charlie’s Angels. Trio penyelidik perempuan yang bekerja di bawah komando detektif misterius bernama Charlie Townsend ini sudah menjadi ikon budaya pop sejak dekade 1970-an. Dilanjutkan dengan film layar lebar generasi kedua yang meledak di bioskop seluruh dunia pada 2000 dan 2003.
Tahun ini, Charlie’s Angels generasi baru kembali muncul melalui format cerita yang baru. Dibandingkan pendahulunya, para angel generasi ketiga memiliki kepentingan mendesak berkenaan emansipasi layaknya female ensemble movie lainnya. Ia secara gamlang membawakan misi untuk mengubah politik gender konvensional yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama.
Menantang Politik Laki-Laki
Generasi baru Charlie’s Angels dibuka dengan kebingungan seorang insinyur perangkat lunak bernama Elena (Naomi Scott) yang mendapati rencana busuk atasannya di kantor. Bosnya itu menunjukan gelagat hendak menjual teknologi pembangkit listrik ramah lingkungan bernama Callisto yang dikembangkan Elena dan rekan-rekannya untuk menjadi senjata pemusnah massal.
Elena yang ketar-ketir lantas meminta bantuan dan perlindungan dari Townsend Agency. Badan penyelidik independen yang dirintis oleh Charlie Townsend dan beranggotakan tiga agen perempuan bernama angel itu kini sudah berubah menjadi organisasi multinasional dengan ribuan anggota (atau "angel").
Setelah mendapat pengaduan dari Elena, Townsend Agency cabang Jerman dengan sigap mengutus dua angel bernama Sabina (Kristen Stewart) dan Jane (Ella Balinska). Mereka diberi tugas untuk membantu Elena melawan jaringan sindikat rahasia dan merebut kembali Callisto. Ketiganya beraksi di bawah bimbingan Susan Bosley (Elizabeth Banks), seorang mantan angel.
Banks, selain memainkan peranan Susan, ternyata juga bertugas menulis naskah sekaligus menyutradarai Charlie’s Angels generasi baru. Dari sinilah aspek superioritas perempuan mulai dimainkan oleh Banks. Dalam debutnya sebagai penulis naskah, Banks berani melakukan beberapa perubahan, khususnya pada karakter bernama Bosley.
Bosley--yang memiliki nama asli John Bosley--dalam seri asli Charlie’s Angels selalu digambarkan sebagai sosok pria paruh baya berjas dan berambut tipis. Tokoh yang juga sering dipanggil Boz oleh para angel ini membawakan stereotip seorang ayah yang bijaksana dan lucu. Di tangan Banks, Bosley yang kebapakan itu diobrak-abrik untuk ditampilkan ulang sebagai sosok pria tua manipulatif yang suka bersembunyi di balik senyum ramahnya.
Dalam Charlie’s Angels generasi baru, John Bosley yang dimainkan dengan meyakinkan oleh Patrick Stewart memutuskan pensiun dari Townsend Agency. Ia mewariskan nama dan seluruh kewenangannya atas para angel kepada puluhan anggota lain, termasuk Susan, yang kemudian juga mengambil nama Bosley.
Susan sendiri memiliki latar belakang menarik. Menurut Sabina dan Jane, Susan merupakan Angel pertama yang berhasil menjadi seorang Boz. Sayangnya, ucapan keduanya seolah hanya berupa angin lalu yang tenggelam seiring cerita yang menyentuh klimas.
Dalam narasi buatan Banks, Susan adalah bentuk pelawanan pada John Bosley. Bosley yang asli dalam benak Banks barangkali bisa diterjemahkan sebagai sosok yang kerap dimusuhi perempuan dalam industri hiburan, khususnya perfilman.
Bosley dianggap sebagai kekuatan yang mampu memanipulasi Angel dan memaksa mereka melakukan hal-hal di luar kehendak pribadi. Saat berhasil menangkap Elena dan membawanya ke sebuah pesta, Bosley mendandaninya dengan gaun merah yang identik dengan kesan seksi serta kalung emas yang terhubung dengan rantai sebagai bentuk kontrol.
Jika diterjemahkan ke dalam konteks dunia modern, angel ibarat model-model yang harus selalu tampil cantik dalam setiap misi. Jika menengok ke belakang, para angel generasi kedua yang dimainkan oleh Cameron Diaz, Drew Barrymore, dan Lucy Liu hampi selalu harus menyamar dan berdandan menggunakan berbagai macam kostum demi kesuksesan misi. Semuanya terjadi di bawah komando Charlie dan Bosley sebagai perantara.
Angel dalam imajinasi Banks tidak lagi melakukan semua hal itu. Mereka lebih memiliki kebebasan bergerak di bawah arahan mentor yang juga seorang perempuan. Malah Bank bertindak lebih jauh lagi dengan mencoba mengindikasikan kalau Charlie Townsend yang tidak pernah ketahuan wujudnya itu juga sudah digantikan oleh perempuan.
Formula Basi?
Di tengah gencarnya kampanye kesetaraan gender, narasi yang dibangun Charlie’s Angels memang punya daya tarik yang tidak terbantahkan. Akan tetapi, bukan berarti film yang menampilkan kembali aktris Jaclyn Smith dalam peran sebagai Kelly Garrett, salah satu angel generasi pertama, ini sukses membawakan formula baru dalam kategori film laga.
Sebaliknya, sebagian besar formula yang ada merupakan pengulangan dari film-film aksi serupa. Ketiga jagoan perempuan dalam film ini tidak ubahnya lelaki-lelaki yang hanya pandai menyelesaikan segala konfrontasi dengan berkelahi dan balapan mobil di tengah-tengah adegan ledakan dan tembak-tembakan. Tapi, adegan-adegan perkelahian dibawakan secara serampangan dengan banyak sekali cut. Koreografinya juga tidak meninggalkan kesan istimewa dan sebagian besar adegan perkelahian mudah untuk dilupakan.
Padahal melalui premis yang lahir dari misi untuk menantang gambaran lawas para angel, Charlie’s Angels generasi anyar berpotensi membawakan formula baru ke cerita aksi kriminal yang dibintangi perempuan. Tokoh Ellena yang cerdas dan jago meretas (hacking) seharusnya bisa membawakan pesan bahwa keterampilan dan kompetensi perempuan dalam film laga tidak selalu diukur dari ketahanan fisik.
Di balik formula basi dan segudang adegan laga seadanya, tidak bisa dipungkiri bahwa Banks menawarkan angel generasi baru yang berbeda dari generasi sebelumnya. Di bawah arahan Banks, para angel terlihat seksi tanpa harus menjadi objek seks.
Editor: Windu Jusuf