tirto.id - Saat pertama kali membaca esai Sigmund Freud, Feminity, Aquarini Priyatna Prabasmoro langsung membayangkan ilmuan psikoanalisa ternama itu sebagai: seorang laki-laki tua, kaya, berbahasa Jerman, yang tidak yakin akan kelaki-lakiannya sehingga perempuan jadi pemandangan yang menakutkan.
“Untuk merangkai ketakutannya, ia menulis teori sambil duduk melamun di kursi goyang. Katanya, perempuan cemburu akan penis laki-laki. Katanya, ketika anak laki-laki melihat tubuh ibunya yang tidak berpenis, anak laki-laki kemudian mengenal ketakutan akan kastrasi (kebiri). Ia takut penisnya yang gagah itu dipenggal,” tulis Aquarini Priyatna—penulis, ilmuan, pemikir feminis, dan dosen Universitas Padjajaran—dalam Abjek dan Monstrius Feminine: Kisah Rahim, Liur, Tawa, dan Pembalut (PDF, 2006)
Freud memang mempopulerkan konsep kecemburuan pada penis (penis envy) dan kecemasan dikebiri (castration anxiety). Teori psikoseksual populernya menyebut anak perempuan—biasanya dalam rentang umur 3-5 tahun—mulai menjauhkan diri dari ibu mereka, dan mulai lebih dekat pada ayahnya. Menurut Freud, ini terjadi ketika perempuan mulai menyadari bahwa ia tidak memiliki penis.
“Anak-anak perempuan menganggap ibu mereka bertanggung jawab atas ketiadaan penis mereka, dan tidak memaafkan ibunya atas keadaan itu, dan menganggap hal tersebut sebagai sebuah kekurangan,” kata Freud (1933).
Ia memang dikenal sebagai ilmuwan yang takut pada feminitas dan percaya bahwa kehidupan perempuan dibatasi oleh fungsi reproduksi mereka. Sebagaimana semua teori yang lahir di dunia akademis, gagasan-gagasan Freud tentu saja juga dikritisi, dibedah, dan disodori anti-tesisnya.
Dalam konteks psikoanalisa Freud, salah satu yang dikritisi Aquarini Priyatna adalah penggambaran citra perempuan sebagai monster pengebiri. Menurutnya, hal itu merupakan representasi ketakutan laki-laki akan kastrasi yang dapat dilakukan oleh perempuan—kaum yang sering kali hidupnya dibatasi dan kebebasannya ditakuti.
Meski Freud sudah tiada sejak delapan dekade silam, upaya untuk mengurung kebebasan perempuan masih terjadi di banyak tempat. Sebagian daerah mungkin bisa jadi lebih kolot daripada pandangan Freud.
Lewat The Monstrous Feminine: Film, Feminism, and Psychoanalysis (1993), Barbara Creed menyebut dalam banyak kebudayaan, feminitas perempuan seringkali dikonstruksi sebagai abjek: sesuatu yang mengganggu identitas, sistem, dan tatanan, serta tidak taat pada batas, posisi, dan aturan. Dan percerminan itu direkam film-film horor di hampir semua belahan dunia. Itu sebabnya, kita lebih sering bertemu cerita mistis yang setannya perempuan, ketimbang laki-laki.
“Monster sering kali ditandai sebagai perempuan (nenek sihir, kuntilanak, Nyi Roro Kidul, alien), atau sebaliknya perempuan adalah monster,” tulis Aquarini Priyatna.
Zara Zahrina dalam Film Horor Simbol Ketakutan Atas Kekuatan Perempuan menyebut, secara historis, representasi perempuan sebagai monster digunakan untuk menjustifikasi pembatasan terhadap perempuan. Menjadi monster, atau sesuatu yang ganjil dan menakutkan, adalah ganjaran bagi mereka dapat jika tidak berlaku sebagaimana peran yang ditetapkan untuknya.
Naskah Ratu Ilmu Hitam (2019) yang ditulis Joko Anwar terang menggambarkan kengerian itu. Menariknya, ia bukan cuma berhasil memotret kekerasan yang dihadapi perempuan, tapi juga mengungkap kebrutalan patriarki.
Spoiler Alert!
Di awal cerita, kita memang langsung disodorkan banyak sekali karakter dan bisa jadi terkecoh tentang siapa pemeran utama dan siapa orang jahatnya.
Hanif (Ario Bayu) dalam menit-menit pertama adalah karakter yang memegang setir mobil. Ia mengajak istrinya, Nadia (Hannah Al-Rashid), dan tiga anak mereka berkunjung ke panti asuhan yang dulu adalah rumahnya.
Di tempat terpencil dan tak ada sinyal itu, Hanif reuni dengan dua kawan lain yang bernasib sama: Anton (Tanta Ginting) dan Jefri (Miller Khan). Masing-masing membawa pasangan: Eva (Imelda) dan Lina (Salvita Decorte). Sampai seperempat film, porsi mata kamera menyorot para karakter laki-laki itu lebih besar, sehingga tak salah kalau kita pikir mereka adalah tokoh utamanya—si empu narasi.
Nyatanya, naskah Joko menyiapkan mereka sebagai jembatan untuk mengenalkan bandit utama dan panti asuhan Tunas yang jadi arena pusat teror. Sampai titik itu, karakter Hanif, Anton, dan Jefri juga jadi alat yang menghidupkan (atau menciptakan) monster bernama Ibu Mirah (Ruth Marini) bagi karakter lain.
Rani (Shenina Cinnamon) memang karakter pertama yang menyebut nama itu, ketika menceritakan kisah seram di balik sebuah kamar kepada Haki (Muzakki Ramadhan).
Namun, ketiga lelaki itu adalah alasan mengapa Ibu Mirah ditempeli stigma dan bernasib tragis. Kata Hanif, perempuan itu adalah penimba ilmu hitam yang gila dan membakar tiga anak perempuan, kawan sepantiasuhannya. Hal tersebut menjadi justifikasi mereka bertiga untuk menghakimi Mirah, dan menganggap penghakiman itu sebagai bantuan buat Pak Bandi (Yayu Unru), sang pemilik panti.
Di saat bersamaan, teror sudah dimulai. Sutradara Kimo Stamboel (Dreadout, Killers, Rumah Dara) menyiapkan parade horor bengis dengan special effect canggih, yang bisa bikin kita ngilu atau bersembunyi di balik telapak tangan. Tak cuma darah, horor itu melibatkan kelabang, telur busuk, dan sekumpulan lubang dengan pola janggal yang muncul di kulit.
Seperti Perempuan Tanah Jahanam (2019) yang berhasil menghadirkan karakter-karakter perempuan tangguh—bukan cuma sebagai protagonis, tapi juga antagonis utama—Joko masih memosisikan karakter-karakter perempuan dalam naskah Ratu Ilmu Hitam sebagai sumbu utama.
Ketika semua orang di panti asuhan Tunas sudah sadar bahwa hidup mereka sedang terancam, setir narasi berubah nakhoda. Dalam satu adegan di tengah film, Nadia mengambil alih setir mobil yang di awal cerita dipegang Hanif. Cerita kemudian dituntun lewat perspektifnya, karakter yang sama butanya seperti penonton tentang apa yang sedang terjadi.
Ia sama sekali tak tahu jawaban atas: kenapa kawan-kawannya bertingkah di luar nalar, mengapa Pak Bandi yang terbujur sakit selalu menatapnya curiga, atau apa yang sebenarnya terjadi pada Ibu Mirah.
Dunia yang Tidak Hitam Putih
Berbeda dari Ratu Ilmu Hitam (1981) orisinal—disutradarai Imam Tantowi dan diperankan Suzanna—yang punya alur maju, plot dalam naskah Joko justru memang diatur maju-mundur dengan sisipan lubang misteri sejak awal. Dalam versi ini, kita akan bertanya-tanya tentang siapa sosok Ratu Ilmu Hitam yang menggantikan Suzanna?
Jawaban itu tak buru-buru disajikan naskah Joko. Ia justru menjadikan perjalanan menemukan siapa sebenarnya Ratu Ilmu Hitam sebagai teka-teki yang menarik diikuti.
Meski punya cara bertutur yang beda, Ratu Ilmu Hitam versi Joko tetap mempertahankan tiga unsur penting dari versi orisinalnya sebagai benang merah, yakni: dendam, teluh, dan fitnah.
Suzanna yang memerankan Murni, dalam versi asli, adalah kembang desa yang difitnah mantan kekasihnya sebagai tukang teluh. Warga desa kemudian mempersekusi Murni, dan mencampakkannya ke jurang. Sebelum melakukan balas dendam, ia berguru pada seorang dukun untuk menimba ilmu hitam, dan akhirnya membunuh satu per satu warga desa.
Tak cuma diikat tiga unsur itu, Ratu Ilmu Hitam versi Joko juga diciptakan dengan motivasi yang abu-abu, alias tidak betul-betul gelap. Meski dirakit sebagai antagonis, di ujung film, saat kita telah mengetahui siapa sebenarnya sang Ratu Ilmu Hitam, sulit buat penonton untuk tidak memaklumi—kalau tidak mau disebut bersimpati pada—amarah yang melatarbelakangi dendam itu.
Hebatnya, motivasi itu bukan hal yang sekonyong-konyong hadir di belakang, tapi telah tertanam sedikit demi sedikit, bahkan sejak awal sekali. Dendam itu pula yang bikin sang Ratu Ilmu Hitam dan hantu Ibu Mirah jadi monstrous feminity, seperti konsep Creed; bahwa eksistensi mereka dipandang sebagai sebuah kengerian yang bermula dari ketakutan para karakter laki-laki yang merasa hidupnya terancam.
Di ujung naskahnya, Joko juga punya putaran plot yang membalikkan titel “penyelamat” salah satu karakter laki-laki di sini, menjadi penyandang “bandit utama”—ia yang mengungkung kebebasan hidup hantu Ibu Mirah dan Ratu Ilmu Hitam, sekaligus orang yang paling takut pada balas dendam keduanya. Dalam putaran naskah yang sama, ia juga berhasil menampilkan ketimpangan relasi kuasa yang dimiliki Bandi dengan semua anak perempuan panti asuhan Tunas.
Naskah Joko bukan cuma menempatkan Ratu Ilmu Hitam sebagai sumber teror, tapi juga berusaha berlaku adil untuk menguliti kungkungan patriarki pada perempuan dan hal-hal yang berbau feminitas. Di titik tertentu, Ratu Ilmu Hitam juga berhasil menjabarkan bahwa yang dimusuhi dari patriarki bukanlah laki-laki, melainkan ketakutan tak beralasan pada feminitas dan perempuan.
Editor: Windu Jusuf