tirto.id - Sejak dilantik pada Oktober 2014, Presiden Joko Widodo dinilai lebih memberikan perhatian pada sektor ekonomi, sementara persoalan hukum terkesan dianaktirikan. Padahal potret buram penegakan hukum terjadi dari hulu hingga hilir, mulai dari penyelidikan, penyidikan, persidangan, hingga penyimpangan di lembaga kemasyarakatan (lapas).
Sederet permasalahan itu mengakibatkan ketidakpastian hukum, dan berujung pada ketidakpercayaan publik pada penegakan hukum di negeri ini. Survei Indo Barometer yang dirilis pada akhir 2015 (setahun pemerintahan Jokowi) menunjukkan masyarakat rata-rata tidak puas dengan kinerja pemerintah di bidang hukum, terutama kepolisian dan kejaksaan.
Berdasarkan survei tersebut, hanya 44,8 persen responden yang menyatakan puas atas kinerja kepolisian. Angka lebih jeblok didapat kejaksaan, yaitu 37,7 persen. Sedangkan angka kepuasan terhadap lembaga kehakiman adalah 40,7 persen. Sebaliknya, responden justru puas atas kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang mencapai 68,2 persen.
Untunglah presiden lekas sadar. Ia berusaha membenahi masalah yang berkaitan dengan sektor hukum lebih serius dengan menerbitkan paket kebijakan reformasi hukum pada Oktober 2016. Sasarannya jelas: ingin memulihkan kepercayaan publik serta menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Pemerintah bahkan menjadikan program ini sebagai agenda strategis pemerintah.
Seperti dilansir laman resmi Kantor Staf Kepresidenan, ada tiga ruang lingkup reformasi hukum yang hendak dicapai oleh pemerintah. Pertama, penataan regulasi. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan regulasi yang berkualitas, karena selama ini banyak regulasi yang tumpang tindih, tidak efisien, serta tidak menguntungkan dari sisi penegakan hukum.
Ruang lingkup kedua adalah pembenahan instansi dan aparat penegak hukum. Tujuannya agar aparat penegak hukum lebih profesional dalam menjalankan tugasnya, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum kembali tercipta. Sedangkan ruang lingkup ketiga dari paket kebijakan reformasi hukum ini adalah pembangunan budaya hukum untuk menciptakan budaya hukum yang kuat di masyarakat.
Ketiga ruang lingkup tersebut akan menentukan sasaran-sasaran paket kebijakan reformasi hukum yang dicanangkan pemerintah. Dalam konteks ini, pemerintah telah melakukan inventarisasi masalah di pelbagai instansi pemerintahan. Ada tujuh poin yang akan menjadi sasaran kebijakan reformasi hukum ini, yaitu: pelayanan publik, penanganan kasus, penataan regulasi, pembenahan manajemen perkara, penguatan SDM, penguatan kelembagaan, hingga pembangunan budaya hukum.
Namun, tak semua persoalan yang sudah didata oleh pemerintah diselesaikan seketika. Pemerintah menyiapkan paket kebijakan reformasi hukum secara bertahap, sama seperti ketika mengeluarkan kebijakan paket ekonomi. Artinya, ada prioritas tertentu yang harus didahulukan.
Dalam paket kebijakan reformasi hukum tahap I ini, pemerintah fokus pada lima aspek yang berkaitan langsung dengan masyarakat dan investor seperti pemberantasan pungli. Permasalahan ini tidak hanya merugikan masyarakat kecil, namun juga menghambat investasi. Misalnya, akibat praktik pungli ini, proses perizinan yang seharusnya bisa dikerjakan sehari atau dua hari, molor hingga enam bulan atau delapan bulan.
Untuk membereskan penyakit kronis birokrasi Indonesia ini, Jokowi telah menandatangani payung hukum operasi pemberantasan pungutan liar melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli). Menkopolhukam Wiranto ditunjuk sebagai komando satgas dan berada langsung di bawah pengawasan presiden.
Pembentukan Saber Pungli ini sebagai bentuk keseriusan pemerintah untuk memberantas praktik pungli yang terjadi di semua lini, seperti pelayanan publik dan perizinan. Presiden mewanti-wanti agar semua aparat negara tidak lagi main-main dengan pungli ini.
Pemerintah juga memasukkan pemberantasan penyelundupan pada paket kebijakan reformasi hukum tahap I ini. Pemerintah telah membentuk satgas di bawah komando menkopolhukam. Pembentukan satgas ini untuk mengoptimalkan pengamanan wilayah perbatasan, serta melakukan operasi pemberantasan penyelundupan. Selain itu, pemerintah juga memasukkan percepatan layanan SIM, STNK, SKCK, dan BPKB dalam paket kebijakan ini.
Relokasi lapas yang over-kapasitas juga masuk dalam paket kebijakan reformasi tahap I ini. Dalam hal ini, pemerintah menyiapkan tiga langkah strategis, di antaranya melalui kebijakan tata kelola tahanan dan relokasi lapas melalui Peraturan Pemerintah (PP). Perbaikan layanan hak paten, merk dan desain juga masuk dalam paket kebijakan reformasi hukum tahap I.
Bagaimana dengan paket kebijakan reformasi hukum tahap II?
Jika dilihat dari lima aspek yang masuk dalam paket kebijakan reformasi hukum tahap I, maka kemungkinan besar paket kebijakan selanjutnya lebih pada harmonisasi regulasi hukum, baik karena tumpang tindih, maupun multitafsir. Selain itu, bisa saja paket kebijakan reformasi hukum berikutnya adalah menciptakan budaya hukum yang kuat di masyarakat.
Tapi, apapun poin paket yang kedua, ada hal penting lain untuk diperhatikan: reformasi hukum tidak banyak berarti jika pemerintah tidak punya visi tentang keadilan. Presiden perlu memperhatikan persoalan hukum yang ada sejak di hulu. Gebrakan hukum perlu menyentuh hal substansial macam persoalan penggunaan pasal-pasal karet, juga mempertimbangkan lagi revisi hukum yang ditengarai bisa menghambat kebebasan berpikir.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani