Menuju konten utama

Refly Harun Sarankan MK Tak Pakai Pendekatan TSM dan C1

MK disarankan menggunakan pendekatan selain pembuktian TSM dan penghitungan suara, karena waktunya terbatas dalam mengadili sengketa Pilpres 2019.

Refly Harun Sarankan MK Tak Pakai Pendekatan TSM dan C1
Peserta seleksi calon Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Refly Harun mengikuti uji kelayakan dan kepatutan calon Hakim MK oleh Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/2/2019). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/wsj.

tirto.id - Ahli hukum tata negara Refly Harun menyarankan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili kasus sengketa Pilpres 2019 menggunakan pendekatan langsung, bebas, rahasia (luber), jujur dan adil(jurdil).

Menurut dia, bila MK menggukanan pendekatan dengan pembuktian terstruktur massif, dan sistematis (TSM) serta pembuktian formulir C1, waktu sidang tak akan cukup.

Hal ini terkait masa sidang gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) untuk Pilpres 2019 selama 14 hari sejak dimulai Jumat, 14 Juni 2019 hingga 28 Juni 2019. BPN Prabowo-Sandi sebagai pemohon, sedangkan KPU sebagai termohon.

"Pendekatan ini [luber jurdil] belum pernah digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa pilpres sejak 2004. Pendekatan ini harus konstitusional sesuai pasal 22 huruf e UUD 1945. Dengan demikian, para pihak bertanding secara adil [bila gugatan diterima]. BPN pun harus membuktikan setidaknya 5 dalil untuk memenangkan sengketa Pemilu 2019," kata dia, dalam diskusi di daerah Gambir, Jakarta, Kamis (13/6/2019).

BPN mengajukan sejumlah dalil dalam sengketa Pilpres 2019 di MK. Di antaranya, penyalahgunaan wewenang penegak hukum, diskriminasi perlakuan, dan ketidaknetralan aparat.

Selain itu, kata dia, harus membuktikan pemohon dan termohon sengketa melaksanakan pilpres dengan jujur dan adil. Sehingga terbukti tak menggunakan kekuasaan atau faktor yang membuat seseorang menjadi lebih menguntungkan dibanding orang lain.

"Apakah terjadi equal playing field [prinsip kesetaraan] di dalam pemilu kita? Ini harus dibuktikan," kata Refly.

Dalam sidang perdana Jumat (14/6/2019) besok, MK akan memutuskan menerima berkas pemohon atau tidak.

Menurut dia, kelemahan pembuktian TSM, hakim MK tak memiliki waktu banyak, sehingga tidak mungkin bisa membuktikan semua dalil gugatan, sehingga BPN Prabowo-Sandi punya peluang tipis untuk menang.

"BPN harus membuktikan kecurangan dilakukan secara terstruktur dan ada upaya kekuasaan. Kemudian harus ada pembuktian bahwa kecurangan secara terpola dan terduplikasi. Namun, pembuktian terberat adalah massif. Pemohon harus membuktikan sejauh mana relatif," kata dia.

Defenisi masif, kata dia, perlu dilihat terkait kecurangan berlangsung di wilayah administrasi mencakup nasional, provinsi atau satu kecamaan.

"Meskipun sudah bisa membuktikan TSM, pemohon belum tentu bisa menang. Sebab, hasil TSM harus bisa mencapai 50 persen dari selisih perolehan suara. Dalam kasus gugatan BPN, TSM harus mencapai sekitar 8,5 juta suara dari selisih 16,9 juta suara," ungkap dia.

Justru dengan TSM, kata dia, pemohon diperkirakan kalah dalam sengketa.

"Kalau kita pakai paradigma TSM yang kumulatif, barangkali the game is over. Saya bisa mengatakan 99,99 persen permohonan akan ditolak," kata Refly.

Refly juga mengatakan, pendekatan dengan menghitung C1 menysyaratkan hitung ulang suara.

Pemohon dan termohon, kata dia, harus mengajukan bukti berupa C1 dan C1 plano. Namun, Refly pesimistis sistem penghitungan adu C1 akan diterapkan dengan optimal.

Sebab, imbuh dia, bukti yang diserahkan termohon yakni KPU mencapai 200 kontainer plastik.

Ia mengingatkan, MK tidak sekadar memeriksa isi tabel, tetapi juga orisinalitas C1 yang diserahkan para pihak.

"Kan keaslian dokumen juga harus dicek. Jangan-jangan ada dua dokumen yang sama-sama asli pake hologram semua tapi berbeda. Sisi itu, saya katakan [sengketa] game is over [tak bisa dibuktikan]," kata Refly.

.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zakki Amali