tirto.id - Rangkong gading telah ditahbiskan sebagai maskot Kalimantan Barat (Kalbar) sejak 1990 lewat SK Menteri Dalam Negeri Nomor 48/1989. Diperkuat juga dengan Keputusan Gubernur KDH Kalbar Nomor 257/1990 tanggal 6 Juli 1990 tentang penetapan identitas flora dan fauna daerah Kalbar.
Burung ini secara filosofi punya keterikatan kuat dengan masyarakat Dayak. Sifat dan perilaku rangkong gading dianggap sarat teladan dalam berkehidupan. Suaranya yang keras melengking, misalnya, menjadi lambang ketegasan, keberanian, dan budi luhur. Perilakunya yang selalu hinggap di pohon tinggi diartikan sebagai sifat luhur dan jiwa kepemimpinan. Bentang sayapnya yang lebar perlambang kekuasaan yang menaungi. Sementara ekornya yang panjang menjuntai melambangkan kemakmuran.
Dari caranya mencari makan, burung yang juga disebut enggang gading ini tak pernah menggambil buah yang jatuh di tanah. Perilaku ini diartikan sebagai lambang kesucian dan tidak serakah. Kesetiaan enggang gading pada satu pasangan selama hidup merepresentasikan loyalitas dan tanggung jawab.
“Dalam masyarakat Dayak secara umum, burung—termasuk enggang—berkaitan dengan penciptaan manusia. Ia sarat nilai sakral dan spiritual. Jadi, bagi kami, mereka wajib dilindungi,” tutur Direktur Eksekutif Institut Dayakologi Krissusandi Gunui.
Kris, demikian dia kerap disapa,adalah keturunan Dayak Iban. Dia menjelaskan bahwa orang Dayak Iban menyebut rangkong gadingsebagai panglima burung karena dianggap keramat dan sakti. Ia adalah simbol pemimpin dari dunia atas, sementara dunia bawah dilambangkan dengan naga. Ia juga dianggap sebagai jelmaan Pencipta, wadah pengetahuan dan adat yang diturunkan pada manusia.
Rangkong dalam Tradisi Dayak
Dalam prosesi adat Gawai Kenyalang, masyarakat Dayak Iban akan membikin pahatan enggang kenyalang dari kayu sebagai simbol magis. Tujuh hari setelah upacaragawai,patung enggang itu diarak dua kali melewati pelataran dan ruang tamu rumah betang—rumah khas Kalimantan.
“Dalam kebudayaan totemisme, enggang termasuk makhluk gaib. Ia wujud diri dari para leluhur,” ujar Kris.
Enggang juga kerap muncul dalam berbagai ritus budaya suku Dayak Kayaan. Salah satunya berupa tato tubuh yang melambangkan kasta, keagungan, kemuliaan, dan kegagahan. Dominikus Uyub, orang asli Dayak Kayaan, bercerita kepada Tirto bahwanapas agung rangkong juga diadaptasi dalam tari dan musik tradisional mereka.
“Ada namanya tarian tradisi Tingang Mate. Artinya enggang mati dan ditarikan oleh pria. Kemudian, ada musik sape dengan lagu Tingang Madang alias enggang terbang,” jelasnya.
Kepala rangkong juga dipakai sebagai aksesoris tradisional yang hanya boleh dipakai oleh dayung atau pemimpin ritual. Bulunya digunakan sebagai topi dan hanya boleh digunakan oleh dayung serta bangsawan saja. Pada zaman dulu, pemimpin suku Dayak Kayaan akan berburu rangkong untuk mendapat berbagai aksesori ini.
Meski begitu, warga Dayak Kayaan dilarang membunuh rangkong untuk keperluan lain. Di luar tradisi. Terlebih, jika tidak atas perintah pemimpin suku. Mereka yang tidak mengindahkannya akan dikutuk dengan penyakit kuning dan bengkak.
“Sekarang kami tidak niatkan berburu, apalagi sudah dilarang (dilindungi). Kebutuhan ritual (dipenuhi) hanya jika bertemu yang sudah mati, itu diambil,” ungkap Uyub.
Selain kedua suku Dayak itu, enggang juga digunakan sebagai simbol dalam ritual pernikahan suku Dayak Pangin Orung Daan. Ketiga suku ini serta suku Dayak Punan, Taman, dan Ulu Sungai menjadikan bagian tubuh rangkong sebagai media pengobatan tradisional.
Dalam kepercayaan Suku Dayak Punan, rangkong adalah wujud roh yang melindungi mereka dari ancaman peperangan. Sementara itu, legenda turun temurun suku Dayak Ulu Sungai meyakini perburuan enggang cula dan enggang gading akan mendatangkan bencana.
Namun, konsep budaya ini menjadi anomali ketika tak sejalan dengan kenyataan. Survei persepsi yang dilakukan Rangkong Indonesia bersama Kehati, YRJAN, dan TFCA (2018-2020) menyatakan, mayoritas responden tidak mengetahui nilai budaya atau nilai adat dari rangkong (47 persen). Bahkan, 86 persen responden mengaku tidak tahu bahwa maskot Provinsi Kalbar adalah rangkong gading.
“Sedihnya, mereka tidak tahu maskot wilayah Kalbar adalah rangkong gading,” kata Yokyok Hadiprakasa yang merupakan peneliti utama survei tersebut.
Survei itu dilakukan terhadap 513 orang di beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu. Di antara para responden itu, 84 persennya adalahwarga suku Dayak. Sebagian besar responden yang menjawab familiar dengan maskot Kalbar pun salah objek. Ada 74 persen responden justru menunjuk enggang cula sebagai maskot resmi daerah mereka.
Survei itu juga mengungkap bahwa 52 persen responden mengaku pernah berburu rangkong. Mirisnya lagi, rangkong gading adalah jenis yang paling banyak diincar (80 persen). Jenis lain yang jadi incaran adalah enggang cula (15 persen), julang emas (1 persen), enggang klihingan (1 persen), dan kengkareng hitam (3 persen).
“Di Kalbar ini terdapat 151 sub suku Dayak dengan 168 bahasa. Mereka sangat mungkin punya pemahaman filosofi berbeda. Jadi, saya tidak menafikan adanya perbedaan sejarah di Dayak lain,” lanjut Kris mengomentari fenomena ini.
Peluang Ekowisata Rangkong Gading
Rangkong gading merupakan penjaga ekosistem. Ia punya fungsi meregenerasi hutan secara alami. Biji buah yang dimakannya akan tersebar jauh dari pohon induk karena jangkauan jelajahnya yang luas. Regenerasi hutan akan terganggujika rangkong gading menghilang, begitu juga sebaliknya.
Bagi masyarakat adat Dayak yang hidup berdampingan dengan alam, punahnya rangkong juga berarti goyahnya keseimbangan budaya Dayak.
“Rugi pasti karena kebudayaan dayak dipengaruhi interaksi manusia dengan alam, manusia dengan pencipta, dan sesama,” kata Kris.
Perdagangan satwa ilegal tak cuma merugikan secara ekonomi, tapi juga ekologis. Karena itu, upaya konservasi rangkong gading tengah digalakkan. Bahkan, ada rencana membuat ekowisata bird watching sebagai solusi konservasi sekaligus ekonomi warga sekitar.
Pendapatan dari ekowisata pengamatan burung lebih menguntungkan dan berjangka panjang dibanding berburu. Masyarakat juga ikut andil menjaga ekosistem rangkong gading. Jika tidak, maka sumber penghidupan mereka akan hilang.
“Kalau diburu, mati, selesai. Anak cucunya tidak bisa lihat dan menikmati hasilnya. Beda dengan ekowisata,” terang Yokyok.
Selama lima tahun belakangan, Yokyok tengah mematangkan rencana ekowisata ini. Tak sendiri, dia juga dibantu oleh The Whitley Fund for Nature, yayasan pemberi hibah untuk konservasi alam. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ikut mendorong sembari terus memperketat penegakan hukum.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Dan Ekosistem (Dirjen KSDAE) KLHK Wiratno mengatakan kepada Tirto, uji coba ekowisata rangkong gading akan dimulai tahun depan (2021).
“Memang arahnya ke sana, supaya hutan kita jaga, burung tetap bertengger, tapi turis datang dan masyarakat desa jadi tuan tanah, dapat uang,” ujarnya.
Wiratno mencontohkan tempat-tempat di Indonesia yang sudah terlebih dulu memulai ekowisata pengamatan burung, seperti Papua dan Kulon Progo. Di Kampung Malagufuk, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat, masyarakat mengembangkan ekowisata cendrawasih kuning kecil. Dalam satu kali lawatan turis, mereka bisa mengantongi pendapatan sekitar Rp7-8 juta.
“Penghasilan ini dibagi kepada semua orang yang berperan (dalam ekowisata), dari pramuantar, pemandu, dan koki,” demikian tertulis dalam situs resmi Econusa.
Sementara itu, warga Desa Jatimulyo, Kulon Progo,lihai memanfaatkan potensi ekonomi dari keanekaragaman jenis burung yang dapat diamati dari sana. Seturut studiFuadi Afif dkk (2018), Kulon Progo memiliki 227 jenis burung dari 508 jenis yang ada di Pulau Jawa. Itu artinya sekitar 47 persen jenis burung di Pulau Jawa terdapat di Kabupaten Kulon Progo.
“Menyadari bahwa lingkungannya menyimpan kekayaan sumber daya alam berupa keragaman burung, perangkat Desa Jatimulyo mengeluarkan Peraturan Desa (Perdes) yang melarang kegiatan perburuan dan sudah menerapkan sanksi bagi pemburu satwa liar, termasuk pemburu burung,” tulis Fuadi Afif dkk.
Di Polandia, wisata pengamatan burung bisa menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Wisata pengamatan bangau di Desa Zywkowo, misalnya, mampu menarik 2000-5000 pelancong setiap tahun. Pendapatannya bahkan bisa mencapai USD35.400 atau lebih dari Rp500 juta (Tourism Management Journal, 2014).
“Sama seperti cendrawasih di Papua dan Desa Wisata Jatimulyo, rangkong bisa jadi aset wisata. Banyak tempat sudah mulai, sekarang saatnya Kalbar menuju pariwisata berkelanjutan,” pungkas Wiratno menyudahi obrolan.
Tren ekowisata flora dan fauna memang terbukti bisa mendorong kelestarian ekologi sekaligus mendatangkan keuntungan ekonomi. Jadi, negara tak punya alasan untuk cuek terhadap keanekaragaman hayati. Negara wajib memperkuat regulasi dan penegakan hukum untuk menutup celah perdagangan satwa ilegal yang merusak alam.
==========
Artikel ini telah dikoreksi berdasarkan keterangan dari narasumber Yokyok Hadiprakasa. Sebelumnya tertulis "Survei itu dilakukan terhadap 513 orang di 10 desa di Putussibau Utara, Kabupaten Kapuas Hulu". Kami menggantinya dengan "Survei itu dilakukan terhadap 513 orang di beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu".
Editor: Fadrik Aziz Firdausi