tirto.id - Ana (23) sudah setahun lebih menggunakan Netflix. Dia pertama kali mengenal aplikasi streaming yang kantornya terletak di California, Amerika Serikat itu ketika hendak menonton sebuah serial animasi. Dia jatuh hati, dan langsung memutuskan berlangganan.
Alasan Ana sederhana: di sana, selain animasi yang ia cari, ternyata ada banyak tayangan menarik lain yang bisa diakses dan biaya langganan per bulan rasa-rasanya lebih murah ketimbang berlangganan TV kabel atau menonton bioskop sering-sering.
Ana adalah salah satu pelanggan yang terusik dengan keinginan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang hendak mengawasi Netflix, juga konten digital lain. Dia khawatir ini akan berujung pada penyensoran di sana-sini yang akan mengurangi kenikmatannya menonton. Dia juga cemas ada tayangan tertentu yang diblokir.
"Gue pakai Netflix dengan berbayar. Akan sangat mengganggu kalau sampai ketemu sensor-sensor konyol yang biasa terjadi di TV," katanya kepada reporter Tirto, Ahad (11/8/2019) lalu.
Isu pengawasan konten digital muncul awal Agustus lalu, atau tepatnya selepas pengukuhan Komisioner KPI periode 2019-2022. Yang mengatakan ingin mengawasi konten digital adalah Ketua KPI Pusat Agung Suprio.
"Kami ingin segera bisa mengawasi itu, karena di media baru atau media digital saat ini kontennya sudah termasuk dalam ranah penyiaran," kata Agung, seperti dikutip dari Antaranews.
Bagi Ana rencana itu ironi belaka. Ana memilih Netflix justru karena konten siaran konvensional--yang selama ini diawasi KPI--jauh di bawah harapan. TV swasta, yang mendompleng frekuensi publik, justru berisi konten tak bermutu dan kental kepentingan politik praktis.
KPI yang seharusnya berperan sebagai wasit justru abai dan sering salah sasaran.
"Masa iya KPI mendiamkan frekuensi publik untuk dipakai sebagai corong politik, tapi Netflix yang emang berbayar diatur-atur?"
Sonya (23) punya alasan senada menolak rencana ini. Menurutnya dia menonton Netflix karena tayangan TV nasional "tak bisa diharapkan." Hal ini diperparah dengan makin maraknya iklan, yang bahkan sampai merasuk ke dalam acara.
Sonya bilang pengawasan KPI tak perlu karena Netflix atau Youtube sudah punya sistem yang bisa memastikan seseorang menonton konten sesuai usianya.
Netflix sudah menyediakan fitur khusus anak-anak. Youtube pun punya Youtube Kids.
"Si anak pun enggak bisa buka akun orang dewasa karena bisa di[beri] passcode gitu. Kalau masih bobol, ya itu orangtuanya sih yang goblok," katanya kepada reporter Tirto.
Ana dan Sonya hanya sebagian kecil orang yang menolak rencana ini. Di laman change.org, sudah ada nyaris 60 ribu orang yang sepakat KPI tidak perlu mengawasi konten digital.
Tak Punya Taring dan Dasar Hukum
Yovantra Arief, Direktur Eksekutif Remotivi, sebuah lembaga studi dan pemantauan media, juga menilai sinis rencana ini.
"Wong [mengawasi] TV saja mereka sering enggak perform kok. Jadi enggak masuk akal," katanya kepada reporter Tirto.
Kinerja KPI memang bisa disebut kurang optimal. Berdasarkan catatan akhir tahun Remotivi, sanksi yang dikeluarkan KPI "hanya basa basi belaka". 408 sanksi yang dikeluarkan pada September 2013 sampai Juni 2015 tak mampu menghasilkan efek jera. Yang diberi sanksi cenderung mengulangi kesalahan.
KPI juga merespons buruk pengaduan masyarakat, terutama yang keberatan dengan adanya iklan partai yang terlalu masif.
Sikap ini, kata Remotivi, sama seperti menganggap eksploitasi media oleh pemiliknya bukan pelanggaran yang mesti dicemaskan. KPI, kata Remotivi pula, merasa wajar belaka ada stasiun TV yang menayangkan iklan partai hampir setiap jam.
"Kinerja KPI memang bermasalah, secara integritas juga," Yovantra menambahkan.
Integritas yang Yovantra maksud adalah soal proses seleksi Komisioner KPI 2019-2022, yang, menurut Ombudsman, cenderung janggal dan malaadministrasi. Salah satu praktiknya adalah ketidakjelasan apakah masukan masyarakat terhadap komisioner dipertimbangkan atau tidak.
Jika pada akhirnya KPI mengawasi konten media baru, kata Yovantra, maka mereka harus berhenti fokus hanya pada pengawasan konten. Pengawasan justru harus ditekankan pada aspek model industri secara umum.
"Mau kontennya diregulasi kayak apa, kalau industrinya enggak diatur dengan baik, maka akan bapuk juga kontennya," katanya.
Keinginan KPI juga berbenturan dengan peraturan yang ada. Ini disinggung Plt Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Ferdinandus Setu. Dia bilang peran tersebut saat ini dilakukan oleh Kemenkominfo.
Jika KPI bersikeras melakukan pengawasan, maka UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran harus direvisi dulu. Dalam peraturan itu wewenang KPI hanya di ranah penyiaran TV dan radio, bukan konten dan media digital.
KPI sendiri sebetulnya mengakui itu di situs resmi mereka.
"Artinya kalau KPI diberikan ruang untuk itu, harus dinyatakan dalam UU penyiaran," kata Ferdinandus.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino