tirto.id - Dua hari lalu media sosial dihebohkan oleh foto menu sebuah restoran yang mencantumkan paket “maid menu”. Masih ingat film Se7en? Salah satu film kriminal terbaik sepanjang masa. Berkisah tentang dua orang detektif yang mengejar pelaku pembunuhan berantai yang menggunakan 7 dosa mematikan (7 deadly sins) sebagai modus pembunuhan.
Di film yang dibintangi Brad Pitt dan Morgan Freeman ini, korban pertama pembunuhan berantai adalah pria tambun yang ditemukan dengan wajah menelungkup di piring besar berisi spaghetti. Korban dipaksa makan hingga pingsan. Saat pingsan, pelaku pembunuhan menendang perut korban, menyebabkan pendarahan internal. Pada dinding tempat kejadian perkara terpacak dituliskan kata gluttony disertai kalimat "Long is the way, and hard, that out of Hell leads up to light."
Ada alasan kenapa gluttony, alias kerakusan, menjadi dosa pertama yang melatarbelakangi pembunuhan di film itu. Bukan kesombongan, ketamakan, iri hati, kemarahan, hawa nafsu, atau kemalasan. Bisa jadi karena kerakusan amat dekat dengan kehidupan kita. Benar kata George Bernard Shaw, tak ada cinta yang lebih tulus ketimbang cinta pada makanan. Seringkali cinta kepada makanan begitu berlebihan, hingga melahirkan kerakusan.
Santo dan filsuf Thomas Aquinas dalam buku Summa Theologica menjabarkan lima hal yang bisa membuat manusia dinyatakan rakus.
Pertama adalah laute, yakni menyantap makanan yang terlalu mewah atau mahal. Kedua adalah studiose, yakni menyantap makanan yang kualitasnya terlalu berlebih. Ketiga yakni nimis, menyantap makanan dalam jumlah yang berlebihan. Keempat adalah praepropere, yakni makan yang tidak pada waktunya, baik makan yang terlalu cepat atau makan di jam-jam yang tidak pantas. Terakhir adalah ardenter, yakni kerakusan, tindakan yang ingin memakan semua yang terhidang.
Dalam industri restoran, yang paling mendekati penjabaran Aquinas adalah konsep all you can eat. Konsumen bisa memakan apa saja yang dihidangkan. Begitu serupa dengan konsep nimis. Karena naluri tak mau rugi, seorang konsumen all you can eat pasti berusaha makan apa saja yang terhidang. Apalagi sebutannya kalau bukan ardenter.
Sejarah All You Can Eat
Sebenarnya ada beberapa model all you can eat. Ada yang model buffet. Jamak ditemui di berbagai kafetaria di Amerika maupun Eropa. Di Indonesia, ini serupa warteg. Berbagai jenis menu dipajang di depan konsumen, kita tinggal memilih apa yang kita inginkan dan membayar sesuai apa yang kita ambil.
Ada pula yang menerapkan sistem seperti salad bar. Kita membayar dengan jumlah yang sudah ditentukan, lalu pelayan memberi satu mangkuk. Kita bisa mengisinya sebanyak mungkin dengan berbagai jenis salad, asalkan tempatnya masih muat.
Tapi yang paling populer adalah sistem all you can eat. Kita membayar sejumlah uang tertentu, dan bebas makan apa saja hidangan yang disajikan. Ada yang menerapkan batasan berupa durasi (misal dua jam, atau tiga jam). Ada pula yang membebaskan konsumen duduk dan makan sepuasnya.
Sistem all you can eat di industri restoran ini bisa dilacak pada abad 18. Pelopornya adalah Swedia, yang punya kultur Swedish Smorgasbord. Pada awalnya diperuntukkan bagi pejalan yang kelaparan.
Dengan sejumlah biaya tertentu, pejalan bisa menyantap makanan Swedia berdasarkan urutan. Pertama adalah roti dan mentega, dilanjutkan dengan ikan asin, telur, dan sayur mayur. Kemudian dilanjutkan dengan menyantap irisan daging, salad, dan diakhiri dengan makanan penutup serta kopi. Sistem ala Swedia ini masuk ke Amerika Serikat pada 1939 melalui pameran di New York.
Konsep ini ternyata berhasil. Periode 1930-an adalah periode depresi di Amerika Serikat. Bisa makan sepuasnya dengan harga yang murah tentu menggiurkan. Dalam kartun Peter Rabbit yang dibuat Harrison Cady pada 1933, tokoh kelinci digambarkan menjadi amat serakah dengan memesan semua menu.
Konsep all you can eat ini kemudian banyak berkembang di Las Vegas. Herbert McDonald sering dianggap paling berjasa mengembangkan konsep all you can eat di Las Vegas, yang kemudian diadopsi di seluruh Amerika Serikat. Kebanyakan restoran all you can eat di Vegas buka 24 jam, tentu untuk mengakomodir para penjudi yang tak kenal waktu.
Meski tampak menyenangkan, konsep bersantap seperti ini pernah mendapat kritikan sekaligus cibiran. Karena harganya yang murah, restoran all you can eat dituding hanya menyajikan makanan berkualitas jelek. Hingga beberapa restoran berusaha menepis citra itu dengan membikin iklan. Salah satu tajuk iklan all you can eat paling terkenal dibuat Perry Boys' Smorgy: "Harga yang murah bukan berarti produk kami murahan."
Rakus Sekaligus Pelit
Konsep all you can eat ini menjadi bukti bahwa manusia bisa amat rakus, sekaligus tak mau rugi. Dalam paper berjudul The Flat-Rate Pricing Paradox: Conflicting Effects on All-You-Can-Eat Buffet Pricing yang ditulis David R. Just dan Brian Wansink pada 2011, dijelaskan bahwa tingkat konsumsi meningkat seiring harga yang diterapkan dalam restoran all you can eat.
Dua peneliti itu mengambil sampel di restoran pizza all you can eat. Tingkat konsumsi pizza malah menurun saat harga pizza didiskon 50 persen. Tingkat penurunannya mencapai 27,9 persen. Dengan harga murah, orang cenderung merasa biasa saja dan bisa membeli kapan saja. Sedangkan saat diharuskan membayar harga normal untuk bisa makan sepuasnya, orang cenderung mengonsumsi lebih banyak. Ini tak lepas dari motif tak ingin rugi.
Di Indonesia, konsep all you can eat sebenarnya sudah ada sejak dulu. Namun konsepnya adalah bayarlah apa yang kamu makan. Konsep seperti ini ada di semua warung Tegal atau di rumah makan Padang.
Konsep all you can eat yang membayar satu harga lalu makan sepuasnya ini sebenarnya baru berkembang pesat di Indonesia setidaknya satu dekade terakhir. Itu pun hanya terpusat di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung. Jenis makanannya beragam. Mulai dari dimsum, sushi, hingga aneka pasta.
Beberapa restoran mematok harga mahal, namun ada pula yang murah. Bamboo Dim Sum, misalkan. Mereka hanya mematok biaya Rp60 ribu per orang. Konsumen bisa menyantap aneka dim sum. Namun konsepnya bukan buffet, alias sudah tersedia. Pengunjung harus menunggu hidangan disajikan. Dan biasanya memakan waktu yang amat lama.
Sedangkan restoran all you can eat yang berharga mahal juga kian menjamur. Sebenarnya konsep ini sedikit "mengkhianati" prinsip harga murah makan sepuasnya.
Dari sinilah kehebohan “maid menu” di media sosial bisa dipahami konteksnya. Foto “maid menu (only for baby sitter)” itu diambil dari restoran Shabu Hachi yang memang berkonsep all you can eat. Menu itu hanya ada satu, terdiri dari nasi putih, pilihan daging ayam atau sapi yang dimasak teriyaki, dan minuman. Harganya murah (dibandingkan menu lain), Rp. 49.000. Menu itu dianggap melecehkan para pembantu, juga pengasuh bayi. Seakan-akan mereka lebih rendah derajatnya ketimbang sang majikan.
Githa Nafeeza, pemilik Shabu Hachi kemudian memberikan klarifikasi. Menu itu lahir karena ternyata para majikan seringkali tidak membelikan makan untuk pengasuh bayu. Tentu karena harga di Shabu Hachi dianggap mahal untuk diberikan pada pengasuh bayi. Di restoran itu, harga menu dimulai Rp. 98 ribu. Padahal satu keluarga ada yang membawa 2 hingga 3 pengasuh bayi.
"Sejak ada baby sitter menu tersebut, alhamdulillah saya bisa lihat baby sitter bisa ikut makan sambil menemani anak-anak bosnya," kata Githa melalui akun Twitternya.
Meski akhirnya dihapus karena dianggap melecehkan, peristiwa ini menjelaskan risiko ketika restoran all you can eat memasang harga makanan yang mahal, padahal konsep itu mulanya cenderung murah dan terjangkau. Dengan harga mahal, wajar kalau banyak konsumen pikir-pikir mau datang, apalagi membayari orang lain yang bukan teman atau saudara.
Di sisi lain, hal ini juga mengingatkan kembali bahwa manusia bisa rakus sekaligus pelit dalam waktu bersamaan, dalam konsep bernama all you can eat. Kita merasa rugi bila tak makan sebanyak-banyaknya. Kita merasa sia-sia kalau tak menumpuk makanan hingga piring tak sanggup menampung. Sekaligus merasa sayang kalau harus mengeluarkan uang untuk makanan yang disantap orang lain.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Zen RS