tirto.id - Poncho Martinez dan pacarnya baru saja memasukikereta komuter ketika seorang pria kekar mengintimidasi seorang remaja gay berperawakan ceking. Tak tahan mendengar rundungan itu, Martinez yang juga sama-sama kekar, beringsut dari kursi penumpang. Ia mengancam dan memerintahkan si perundung untuk angkat kaki.
Kejadian tersebut berlangsung di New York pada Oktober 2016 di tengah mendidihnya kampanye pemilihan presiden Amerika. Pencalonan Donald Trump, yang kini menjabat presiden, ditengarai memicu kekerasan terhadap perempuan, warga kulit berwarna, minoritas Muslim dan Yahudi, serta LGBT.
Merebaknya kekerasan antar-warga ini lantas mendorong Martinez, warga New York City berusia 26 tahun, untuk mendirikan klub kebugaran aktivis kiri. Laki-laki yang bekerja sebagai penulis ini memulai aktivitas angkat beban sejak 2015, awalnya untuk latihan mental saja.
“Orang-orang kiri semestinya lebih kuat ketimbang [kader] Republikan.” Situs gaya hidup pria Mel Magazineyang memuat profil Martinez mencatat ada tiga puluh laki-laki mendaftar dalam waktu empat bulan setelah Martinez membuka klub tersebut. Alasan utama bergabung adalah mereka membutuhkan modal fisik untuk membela diri dari serangan-serangan ekstremis sayap kanan, atau membela siapapun yang mendapat ancaman dari kalangan ekstremis sayap kanan.
Netizen Amerika ramai-ramai menyebut inisiatif Martinez ini dengan tagar #Swoleft, yang kira-kira bisa diterjemahkan sebagai #KiriBugar.
Kiri Bugar Versus Kanan Gebuk
Terpilihnya Trump sebagai calon presiden dari Partai Republikan, dan kemudian sebagai presiden Amerika Serikat pada 9 November 2016, dianggap sebagai lampu hijau oleh kelompok-kelompok kekerasan untuk mengganyang siapapun yang dianggap tidak mewakili Amerika dan mengancam dominasi kulit putih.
Dalam peristiwa-peristiwa seperti penyerangan terhadap rumah ibadah, sentra-sentra minoritas, atau serangan acak yang menimpa perorangan, pelakunya diidentifikasi berafiliasi dengan individu atau kelompok sayap kanan yang mengusung ideologi supremasi kulit putih atau Kristen fundamentalis.
Namun, tren kekerasan semacam ini ternyata sudah berlangsung sejak lama. Laporan teranyar Southern Poverty Law Center merinci peningkatan kasus kekerasan terhadap imigran, warga kulit hitam, Muslim, Yahudi, Hispanik, LGBT, dan orang-orang keturunan Asia antara tahun 1999 sampai 2016. Terjadi lonjakan dari 892 kasus (2015) menjadi 917 (2016). Tahun lalu, jumlah kelompok anti-muslim melejit sampai 197 persen, dari 24 ke 101 kelompok.
Lembaga advokasi hak-hak sipil dan penyediaan bantuan hukum yang bermarkas di negara bagian Alabama, AS, ini juga melaporkan bahwa 900 kasus terkait kebencian tercatat semenjak kemenangan Trump.
Alasan pembenar yang digunakan oleh kelompok-kelompok kebencian (hate groups) ini beragam. Dari yang berakar dari teori-teori konspirasi bahwa komunitas Muslim ingin mengislamisasikan Amerika, hingga yang berlandaskan prasangka bahwa kaum pendatang merebut jatah pekerjaan untuk warga kulit putih.
Pada saat bersamaan, akhir pemerintahan Obama juga ditandai oleh peningkatan aktivitas politik anti-rasis yang merespon kekerasan polisi, seperti yang ditunjukkan oleh gerakan kulit hitam Black Lives Matter. Popularitas senator sosialis Bernie Sanders dalam bursa pemilihan capres Partai Demokrat pada 2016 pun menjadi salah satu puncak pengorganisasian sayap kiri di Amerika di kalangan akar rumput perkotaan.
Sejak itu, bentrok dalam aksi massa, atau saling membalas rundungan di media sosial adalah fenomena yang semakin familiar dalam politik Amerika.
Tingkat Pendapatan dan Tingkat Kekekaran
“Orang-orang konservatif memandang kita ini sebagai orang yang lemah, lembek bak butiran salju. Mereka keliru… Kalau Anda Nazi, Anda harus hati-hati,” gertak Martinez.
Dalam sebuah studi tentang hubungan antara tingkat kekekaran tubuh dan status sosio-ekonomi yang dimuat dalam jurnal Psychological Science (2013), tim riset dari Universitas Aarhus Denmark, menjelaskan bahwa "laki-laki yang lemah secara fisik cenderung enggan menegaskan kepentingan pribadi (self interest) mereka ketimbang laki-laki yang kuat secara fisik."
Studi bertajuk “The Ancestral Logic of Politics: Upper-Body Strength Regulates Men's Assertion of Self-Interest Over Economic Redistribution” itu ditulis berdasarkan pengamatan kuantitatif yang melibatkan sampel laki-laki maupun perempuan di tiga negara: Argentina (113 laki-laki, 110 perempuan), Amerika Serikat (211 laki-laki, 275 perempuan) dan Denmark (421 laki-laki, 372 perempuan).
Kesimpulannya, laki-laki yang gemar fitness cenderung konservatif, berpenghasilan tinggi, memilih kandidat dari Partai Repubik, pro-bisnis dan mewakili spektrum luas politik sayap kanan. Di sisi lain, laki-laki berpenghasilan tinggi namun kurang berotot, demikian penelitian tersebut, cenderung memilih Demokrat dan mendukung upaya-upaya redistribusi kemakmuran. Namun demikian, korelasi antara tubuh berotot dan konservatisme tidak muncul pada sampel perempuan.
Amerika Serikat Sebelum dan Sesudah 1960-an
Dalam kultur politik Amerika, terdapat anggapan populer bahwa kalangan yang tergolong dalam spektrum politik kanan (konservatif, kelompok pendukung agenda pro-bisnis, aktivis hak laki-laki, pro-supermasi kulit putih, gerakan anti-imigran, dst) adalah orang-orang yang mengagungkan kemachoan dan citra maskulinitas tradisional, dan mengakar di massa kelas bawah.
Sementara itu, orang-orang yang termasuk dalam spektrum politik kiri (liberal, sosialis, feminis, para pendukung agenda pro-buruh, pro-lingkungan hidup, pro-perlindungan imigran, dst) sering dicitrakan lembek, kemayu, suka mengeluh, dan kurang klik dengan akar rumput.
Stereotip ini mulai berkembang sejak akhir dekade 1960-an, ketika gerakan hak-hak sipil Amerika Serikat mengorganisasi aktivitas-aktivitas anti-perang dengan menolak perekrutan anak-anak muda Amerika untuk dikirim ke medan Perang Vietnam.
Citra maskulinitas kiri juga bergeser seiring pengarusutamaan isu-isu berbasis identitas seperti kesetaraan gender dan rasial, dan isu-isu lain yang tidak berhubungan langsung dengan agenda-agenda politik kiri tradisional terkait kesejahteraan. Sebelumnya, kaum kiri fokus dalam isu-isu seperti kenaikan upah, pemerataan pendapatan yang adil, serta hak-hak berserikat.
Di samping itu, khususnya sejak dekade 1990an, terjadi pergeseran sentra politik kiri, dari pabrik ke kampus, dari serikat-serikat buruh ke LSM.
Sebelum dekade 1960an, citra publik yang berkembang justru sebaliknya: kalangan kiri senantiasa digambarkan garang, kasar, dan hanya mengandalkan otot, di saat kanan tradisional (konservatif) diidentikkan dengan citra keningrat-ningratan yang parlente, berbudi pekerti halus, dan jauh dari aktivitas-aktivias kerja fisik. Anggapan populer ini, lagi-lagi, dilatarbelakangi oleh kelas dan profesi.
Kalangan kiri sebagian besar tumbuh dari pabrik, kerah biru, dan pekerja kasar. Sementara kalangan kanan dicitrakan mewakili priyayi lama dan modern yang berpendidikan tinggi, kerah putih, serta memiliki waktu kemewahan waktu luang untuk bersosialisasi dan dansa-dansi.
Akankah inisiatif Martinez sukses membalik bandul sejarah kembali ke masa pra-1960an?
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani