tirto.id - Artikel sebelumnya: Ekstremis Zionis di Balik Kembalinya Benjamin Netanyahu
Ada banyak pihak yang punya andil dalam kembalinya Benjamin Netanyahu (73) sebagai Perdana Menteri Israel lewat pemilu 1 November silam. Salah satunya adalah sekutu baru bernama Religious Zionist Party. Mereka berhasil mengamankan 14 kursi parlemen Knesset alias terbanyak ketiga.
Angka tersebut membuat koalisi sayap kanan Netanyahu berpotensi jadi pemerintahan mayoritas karena menguasai 64 dari total 120 kursi parlemen.
Religious Zionist Party terdiri dari tiga partai kecil: Religious Zionist Party itu sendiri—kelompok terbesar—yang dipimpin oleh Bezalel Smotrich, seorang politikus anti-Arab pendukung pendudukan Israel di Palestina; partai Yahudi Ortodoks bernama Noam yang anti-LGBT; serta Otzma Yehudit.
Di antara tiga faksi itu, Otzma Yehudit-lah yang paling disorot selama pemilu. Mereka dikenal terutama karena sepak terjang pemimpinnya yang kontroversial: Itamar Ben-Gvir (46).
Ben-Gvir merupakan keturunan imigran Yahudi asal Irak dengan karakteristik fisik yang mudah diingat: berbadan gempal dan berkacamata, ekspresi wajah riang kekanak-kanakan, dan suka mengenakan penutup kepala untuk laki-laki Yahudi Ortodoks kippah.
Sebelum menjadi anggota parlemen mewakili Otzma Yehudit, Ben-Gvir dikenal sebagai aktivis sayap kanan ekstrem. Dia juga pengacara yang gemar membela ekstremis Yahudi pelaku serangan terhadap orang-orang Arab. Pada 2006, misalnya, ia mewakili dua remaja yang diduga berpartisipasi dalam serangan di Tepi Barat yang menewaskan sepasang suami-istri dan bayi mereka.
Ben-Gvir juga punya riwayat kedekatan dengan Partai Kach, organisasi politik yang dilarang ikut pemilu oleh pemerintah Israel sejak 1988 sekaligus pernah dicap oleh otoritas Amerika Serikat sebagai Organisasi Teroris Asing.
Ben-Gvir remaja tidak ragu bergabung dengan organisasi sayap pemuda Kach. Kala usianya 18, ia pernah memakai kostum menyerupai seorang dokter pengikut Kach bernama Baruch Goldstein yang membantai 29 jemaah Palestina di Masjid Ibrahimi di Hebron, Tepi Barat. Foto Goldstein bahkan masih dipajang di dinding ruang keluarga di rumahnya sampai 2019.
Saking suramnya riwayat aktivisme Ben-Gvir semasa remaja, tentara nasional Israel sampai mengecualikannya dari program wajib militer yang lazim diikuti anak-anak lulusan SMA.
Momen yang membuat Ben-Gvir mulai dapat perhatian publik adalah ketika ia disorot oleh kamera pada 1996. Ben-Gvir terlihat mencengkeram ornamen logo mobil Cadillac milik Perdana Menteri Yitzhak Rabin sembari berseru: “Kami sudah dapat mobilnya, dan kami bakal menangkap dia [Rabin] juga!”
Hal itu hanya terjadi beberapa minggu sebelum insiden pembunuhan Rabin. Rabin adalah Perdana Menteri Israel yang gigih mengupayakan perdamaian dengan rakyat Palestina. Ia dibenci oleh Yahudi garis keras karena mengadvokasi mundurnya Israel dari teritorial Palestina yang direbut dalam Perang Enam Hari tahun 1967.
Pada 2007, pengadilan Yerusalem menyatakan Ben-Gvir bersalah karena memicu aksi rasisme dan membela organisasi teroris. Tindakannya yang dianggap bermasalah adalah mengacungkan papan bertuliskan “usir musuh Arab” dan “Rabbi Kahane sudah benar: anggota parlemen Arab ada di kolom kelima” (kolom kelima: istilah untuk menyebut kelompok yang bersimpati pada musuh).
Ia juga pernah dinyatakan bersalah karena menyerukan “matilah orang Arab!” dalam menanggapi kasus pengeboman di Yerusalem; serta berkomentar bahwa larangan pemerintah terhadap gerakan Partai Kach merupakan suatu kekonyolan.
Meskipun kerap tersandung masalah hukum, Ben-Gvir terlihat bangga-bangga saja. Dia pernah mengklaim sudah dijatuhi lebih dari 53 kali dakwaan oleh pengadilan dan dinyatakan bersalah dalam 7 kasus.
Dari Aktivis Pinggiran Jadi Figur Terkenal
Publik Israel awalnya melirik pemimpin Otzma Yehudit sejak 2019 ini dengan sebelah mata: sekadar ekstremis Zionis penganut paham politik fringe yang berambisi menganeksasi teritorial Palestina dan mendeportasi orang-orang keturunan Arab yang tidak setia pada negara Israel.
Kebenciannya terhadap bangsa Arab Palestina juga dianggap tidak mencerminkan pandangan politik arus utama alias tidak populer.
Sedemikian kontroversialnya tindak tanduk Ben-Gvir, politikus-politikus sayap kanan lain yang masih agak waras selalu enggan diasosiasikan dengannya. Salah satunya Naftali Bennett, Perdana Menteri Israel periode 2021-2022 yang pernah mendukung administrasi lama Netanyahu sebagai menteri pertahanan.
Tapi reaksi alergi terhadap Ben-Gvir tidak berlaku pada Netanyahu, yang mungkin sudah dibutakan oleh hasrat segera berkuasa sehingga pihak mana pun dirangkul mesra untuk membantunya membangun koalisi pemerintahan.
Awal tahun lalu, beberapa waktu sebelum dilengserkan oleh koalisi super lebar yang dipimpin Bennett, Netanyahu berusaha memperkokoh kubu sayap kanan dengan mengawinkan partai kecil Ben-Gvir dengan Religious Zionist Party, yang selama ini sudah konsisten mengamankan kursi di parlemen. Bersama partai kecil lain, Noam, mereka maju pemilu bulan Maret 2021.
Hasilnya, ketiganya sukses mendulang 225 ribu suara atau mencakup 5 persen dari keseluruhan suara masuk—di atas ambang batas parlemen (electoral threshold) 3,25 persen. Dengan persentase sebesar itu, mereka mengamankan enam kursi di parlemen Knesset: empat kursi untuk Religious Zionist Party dan satu kursi untuk masing-masing Noam dan Otzma Yehudit.
Sebelumnya, ketika Otzma Yehudit maju sendiri dalam pemilu, mereka selalu gagal menembus ambang batas parlemen. Dalam pemilu 2019, mereka hanya mampu meraup 83 ribu suara (tak sampai 2 persen total suara), sedangkan pada pemilu 2020 sekitar 19 ribu suara (kurang dari 0,5 persen).
Momen kemenangan Otzma Yehudit dalam pemilu 2021 itulah yang akhirnya meroketkan nama Ben-Gvir di kancah politik nasional. Kala itu ia menjadi perwakilan pertama di parlemen dan satu-satunya dari Otzma Yehudit sejak partai itu didirikan satu dekade silam.
Seperti bisa diduga, isi pidato pertama Ben-Gvir sebagai anggota parlemen mencerminkan pandangan khas seorang ultranasionalis Yahudi. Ia berjanji akan menjadi suara bagi rakyat Israel terutama yang bermukim di kawasan selatan, yang menurutnya sudah menjadi sasaran empuk rudal “organisasi teroris pembunuh” grup militan Palestina seperti Hamas.
Di mata Ben-Gvir, pemerintah Israel terlalu lembek dalam merespons serangan dari Palestina. Respons yang lebih tepat menurut dia adalah “menembak para teroris hidup dan menerapkan lagi praktik pembunuhan terencana.”
Ben-Gvir juga berjanji memperkuat kedaulatan pemerintah atas kota suci Yerusalem supaya tidak ada lagi “preman-preman [Palestina] yang memukuli polisi [Israel]” sembari menyerukan nama Hamas dan mengklaim kelompoknya sebagai bos Yerusalem.
Kurang-lebih sebulan kemudian, persisnya pada Mei, Ben-Gvir membuktikan keseriusannya “melindungi” penduduk Israel yang tinggal di pemukiman campuran bersama penduduk Arab Palestina dan rentan jadi lokasi bentrokan kekerasan antarwarga. Yang dilakukannya tak lain adalah meminta rombongan pendukung ultranasionalis agar berdemonstrasi dan menyerukan polisi untuk menembak mati orang-orang Palestina yang melempari batu. Ben-Gvir juga sempat mendirikan semacam kantor tidak resmi di kawasan rentan konflik Sheikh Jarrah.
Polisi kelak menuding beragam aksinya tersebut sudah memprovokasi kericuhan. Akan tetapi, Ben-Gvir terlihat masa bodoh dengan tudingan provokator. Baru saja bulan Oktober kemarin, ia mengeluarkan pistol saat mengunjungi Sheikh Jarrah, yang kembali jadi lokasi bentrokan antarwarga. Katanya waktu itu, merujuk pada demonstran Palestina: “Kalau mereka melempar batu, tembak saja!”
“Kesayangan Media Israel”
Media Israel mulai memberikan ruang lebih banyak baginya seiring karier baru sebagai anggota parlemen. Ia berupaya mengakrabkan diri dengan media. Pembawaannya riang dan jenaka saat berhadapan dengan para presenter, pun pandai melucu untuk menghindari kritik atau pertanyaan-pertanyaan sulit.
Pendekatan akrabnya dengan media membuahkan hasil. Menurut lembaga riset Ifat, Ben-Gvir merupakan politikus nomor tiga yang paling sering diwawancara di TV dan radio setelah Netanyahu dan Bennett. Sepanjang tahun 2021 saja, Ben-Gvir menerima jatah tayang di jaringan televisi publik sampai 100 jam—suatu impian bagi setiap politikus yang ingin cepat terkenal.
Setiap tindak tanduk Ben-Gvir selalu mendapat porsi cukup banyak dalam pemberitaan—lengkap dengan judul-judul bombastis sarat unsur kengerian—termasuk caranya meredam kritik dengan ancaman.
Dilansir dari Middle East Eye, beberapa judul yang pernah muncul adalah: Ben-Gvir mengancam akan menuntut komisaris polisi karena punya balas dendam pribadi;Anggota parlemen Ben-Gvir menuntut kalangan radikal kiri: ‘yang berani memfitnah saya akan kena getahnya;Ben-Gvir menuntut istri Naftali Bennett yang menyebut anggota partai ‘Otzma Yehudit’ sebagai teroris;Ben-Gvir akan menuntut ketua parlemen Knesset karena mengusirnya dari ruangan setelah menyebutnya ‘teroris’.
Ben-Gvir dianggap mewakili “[politikus] generasi baru” yang paham cara untuk menguasai diskursus publik, demikian disampaikan Nati Smadar, kolega Ben-Gvir dari grup advokat sayap kanan jauh Lehava.
Sementara tokoh partai kiri Meretz, Zehava Galon, menyebut Ben Gvir jadi “kesayangan media Israel” karena ia “membantu meningkatkan peringkat siaran dengan menyebarkan ide-ide rasialis.”
Tentu saja itu bukan kondisi yang bagus dan harus dikritik, katanya. Dengan memopulerkan Ben-Gvir, media sudah ikut andil “menyampaikan pesan kepada pemirsa bahwa Ben-Gvir adalah teladan untuk dicontoh.”
Faktanya Ben-Gvir memang cukup populer di kalangan pemilih muda. Seorang pemuda Israel berusia 22 tahun yang tinggal di wilayah pendudukan di Tepi Barat, Yakir Abelow, menyambut pesan-pesan dari Ben-Gvir sebagai “wake-up call” alias alarm. “Rasanya segar bisa menyaksikan seseorang membela nilai-nilai yang kalian percayai, dalam hal membangun negara Yahudi lebih kuat[...] menjaga yang harusnya memang dijaga,” ujarnya dikutip dari AFP bulan lalu.
Masih dilansir dari AFP, peneliti dari Shalom Hartman Institute di Yerusalem, Yossi Klein Halevi, mengungkapkan bahwa kalangan muda berminat pada Ben-Gvir karena ia menawarkan “kejelasan” di tengah meningkatnya eskalasi konflik antarwarga Israel dan Palestina selama dua tahun belakangan.
Senada, sosiolog di Jewish People Policy Institute, lomo Fischer, menuturkan bahwa Ben-Gvir menarik perhatian banyak khalayak karena ia menolak “berkompromi” dan selalu jelas dan tegas saat bicara. Publik pun memahaminya sebagai orang yang “otentik”, yang enggan mengalah atau mundur misalnya sekadar gara-gara Amerika tidak menyukai polahnya.
Ben-Gvir berhasil memupuk dukungan dan kepercayaan publik berkat berbagai kontroversi. Hanya dalam kurun setahun, Otzma Yehudit di bawah payung Religious Zionist Party dapat menggelembungkan jumlah kursi di parlemen Knesset—dari awalnya hanya satu untuk Ben-Gvir sendiri, menjadi enam pada pemilu November kemarin.
Namun sekutu kental Israel, AS, dikabarkan sebaliknya, yaitu tidak terlalu senang dengan administrasi baru Netanyahu yang akan melibatkan Ben-Gvir. Baru-baru ini, Washington juga mengecam kehadiran Ben-Gvir di acara peringatan kematian Meir Kahane, rabi pendiri gerakan Partai Kach.
Pada akhirnya, yang paling diuntungkan dengan kehadiran Ben-Gvir tak lain Benjamin Netanyahu. Bisa dibilang dia adalah tokoh yang membidani kelahiran Ben-Gvir di kancah politik nasional.
Di samping dapat sekutu baru di koalisi pemerintahan, Netanyahu secara pribadi juga merasa terbantu oleh Ben-Gvir yang bersedia membela dirinya yang sekian tahun ini terjebak di pengadilan gara-gara skandal korupsi. Ben-Gvir, seperti koleganya, ketua Religious Zionist Party Bezalel Smotrich, ingin meloloskan undang-undang baru untuk melindungi pejabat pemerintahan yang masih berkuasa dari tuntutan pidana termasuk karena korupsi.
Menyadari kontribusinya yang besar dalam menyokong kembalinya Netanyahu ke pucuk kekuasaan, Ben-Gvir terang-terangan minta jatah jabatan Menteri Keamanan Publik. Posisi tersebut mengontrol kepolisian. Tentu ia jadi arena yang tepat untuk memenuhi banyak ambisi Ben-Gvir.
Apabila mendapat mandat itu, Ben-Gvir berencana mempersenjatai tentara cadangan Israel; melonggarkan aturan agar polisi dan tentara boleh melepas tembakan api kepada demonstran yang melempar batu dan molotov; sampai meloloskan undang-undang untuk mengamankan polisi dan tentara dari dakwaan kriminal selama masih aktif bekerja untuk pemerintah.
Di samping itu, Ben-Gvir juga ingin menerapkan hukuman mati bagi para “teroris Palestina”; membuat situasi di penjara lebih mengenaskan buat mereka; dan meloloskan legislasi untuk mengusir teroris dan “pendukung teroris”. Ia bahkan mau mendirikan polisi khusus yang menangani kasus-kasus “kejahatan nasionalis”—entah apa maksudnya.
Editor: Rio Apinino