tirto.id - Kultur berbelanja masyarakat Indonesia sudah jauh bergeser. Warung-warung, kedai kelontong, toko-toko grosir, pasar tradisional semakin tergusur oleh gerai-gerai ritel modern mulai dari yang mini, super, sampai yang hyper.
Bocah-bocah tak lagi membeli permen dan kerupuk di warung tetangga. Mereka mulai melakukan aktivitas jajan di gerai ritel modern terdekat, di Indomaret, Alfamart, Circle K, Lawson, Family Mart atau gerai-gerai sejenis lainnya.
Gerai-gerai itu lebih nyaman dan mentereng dari warung-warung tradisional. Berbagai makanan dan minuman terpajang rapi, ruangannya berpendingin udara, terkadang harganya lebih murah pula. Maklum saja, gerai-gerai itu bermodal lebih besar dibandingkan kios-kios di pinggir jalan.
Kelas menengah mulai jarang ke pasar tradisional. Berbagai supermarket dan hypermarket sudah menyediakan segala kebutuhan, mulai dari sayur, ikan, bumbu masak sampai barang-barang elektronik. Semuanya ada di satu tempat, tak perlu keluar masuk toko dan keliling di pasar yang panas dan becek. Apalagi sebagian hypermarket dibangun persis di dekat pasar tradisional.
Di Medan, Carrefour milik CT Corp dibangun tepat di samping pasar tradisional. Di Depok, gerai Transmart—brand baru CT Corp sebelum benar-benar melepas Carrefour— juga dibangun tepat di depan pasar tradisional. Pedagang-pedagang warung kelontong di pasar tradisional itu perlahan kehilangan pelanggannya yang memilih membeli tepung di Carrefour atau Transmart.
Invansi gerai-gerai ritel tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di berbagai negara. Brand-brand ritel internasional kian menjangkau negara-negara berkembang. Di Asia Pasifik, AEON Department Store—peritel asal Jepang—menjadi yang terbesar dengan total penjualan $29,87 miliar pada 2016.
Menurut Euromonitor International, di peringkat ke dua, bertengger 7-Eleven Jepang. Total penjualan minimarket itu mencapai $27,2 miliar sepanjang tahun lalu. Di Jepang, ada 19.672 gerai milik 7-Eleven.
Family Mart dan Circle K ada di peringkat ke 5 dengan total penjualan sepanjang 2016 mencapai $17,28 miliar. Lawson yang juga berasal dari Jepang berada di peringkat 10. Tahun lalu, ia mencatatkan total penjualan $13,78 miliar.
Brand-brand yang berada di peringkat sepuluh besar itu juga ada di Indonesia. Namun, mereka belum berhasil menjadi raja. Mei 2015 lalu, AEON meresmikan gerai ritel pertamanya di Indonesia bernama AEON Mall. Pusat perbelanjaan seluas 100 ribu meter persegi itu adalah hasil kerja sama AEON Mall dengan Sinar Mas Land. Sampai saat ini, hanya ada satu gerai AEON di Indonesia. Ia masih kalah besar dengan Carrefour atau Transmart, Lottemart, atau Hypermart.
Nasib 7-Eleven (Sevel) di Indonesia juga tak sebaik di Jepang. Inovasi Sevel untuk menjadi semi-restoran malah menjadi bumerang yang membuatnya harus menaikkan harga jual dan membayar pajak lebih besar. Di negara-negara lain, Sevel hanya toko ritel saja, tempat orang-orang membeli berbagai keperluan lalu pulang, bukan tempat membeli sebotol air mineral lalu duduk berjam-jam yang bisa membuat biaya operasional Sevel membengkak. Ini karena Sevel juga menyediakan colokan tempat konsumennya bisa mengisi daya ponsel atau laptop.
Di Indonesia, lisensi Sevel dipegang oleh PT Modern Sevel Indonesia, anak usaha dari PT Modern International Tbk. Sevel masuk ke Indonesia pada tahun 2008. Sampai tahun 2014, jumlah gerai Sevel di Jakarta mencapai 190. Namun, tahun-tahun berikutnya Sevel mulai terseok. Sejak 30 Juni lalu, gerai-gerai Sevel bahkan resmi tutup. Tak ada lagi Sevel di Indonesia.
Ketika pertama kali hadir, Sevel praktis hanya bersaing dengan Circle K. Sejak 2011 saingan Sevel bertambah. Lawson, yang juga merupakan toko kelontong asal Jepang dengan konsep mirip Sevel, masuk ke Indonesia pada 2011.
Ada juga Family Mart yang masuk Indonesia pada tahun 2013. Gerai-gerai milik Family Mart terhitung lebih sedikit dari segi jumlah. Tetapi harga yang dibanderol lebih murah dari Sevel dan ia punya gerai dengan ukuran yang jauh lebih besar dari Sevel. Maka jika ada gerai Sevel dan Family Mart bersebelahan, Sevel akan tampak seperti pecundang yang pelanggannya direbut orang.
Meski begitu, Lawson, Family Mart, atau Circle K yang masuk dalam 10 besar peritel di Asia Pasifik itu pun tak menjadi raja di Indonesia. Tiga convenience store itu masih kalah bersaing dari segi harga dengan peritel-peritel asal Indonesia seperti Indomaret atau Alfamart.
Untuk kelas minimarket dan convenience store, Indomaret terbilang paling besar. Ia hadir hingga ke daerah-daerah, bukan hanya di kota-kota besar. Tahun 2016, omzetnya lebih dari Rp50 triliun. Tahun ini, brand waralaba yang dikelola PT Indomarco Prismatama ditargetkan meraup omzet 20 persen lebih besar.
Sampai 2016, ada 13.900 gerai Indomaret di seluruh Indonesia. Hingga akhir tahun ini, ditargetkan jumlah outlet mencapai 14. 000. Meski bisnisnya cukup besar di Indonesia, Indomaret belum bisa masuk dalam 40 besar peritel di Asia Pasifik.
Pangsa pasar Indonesia memang cukup besar dan menggiurkan. Namun, pasar yang besar itu terbukti tidak mudah ditaklukkan, bahkan oleh para jawara ritel kelas Asia Pasifik. Butuh konsep bisnis yang tepat dan pemahaman terhadap pasar yang baik agar para ritel itu bisa menguasai pasar Indonesia.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti