tirto.id - Selama 23 tahun, hubungan Amerika Serikat dengan Arab Saudi terjalin erat saat Raja Fahd memimpin, hubungan kedua negara sudah terjalin erat sebelum Fahd berkuasa. Namun pada masa Fahd pula ada hubungan lebih dari sekadar relasi diplomatik: koneksi bisnis yang berguna pada hari-hari genting setelah serangan 11 September 2001.
Kematian Raja Fadh pada 1 Agustus 2005, tepat hari ini 15 tahun silam, meninggalkan duka mendalam dari sekutu eratnya. Presiden AS 2001-2009, George W. Bush mengenang Fahd sebagai teman dekat dan sekutu. Bush Junior, untuk membedakan dengan sang ayah, George H.W. Bush (Presiden AS 1989-1993), segera menjalin komunikasi dengan Abdullah yang menggantikan Fahd sebagai raja Saudi untuk melanggengkan jalinan bisnis dua dinasti keluarga.
Amerika Serikat di bawah kekuasaan Bush Senior dan Bush Junior—yang hanya diselingi Presiden Bill Clinton (1993-2001)—diketahui punya hubungan khusus dengan keluarga Saudi. Carlyle Group, sebuah perusahaan ekuitas internasional yang berdiri pada 1987, menempatkan Bush Junior sebagai dewan anak perusahaan sebelum ia menjadi gubernur Texas (1995-2000). Carlyle dan afiliasinya berbisnis dengan Arab Saudi dengan nilai total 1,4 miliar USD dari individu keluarga kerajaan Saudi ke individu entitas terkait ‘dinasti Bush’, mengutip The New York Times.
Salah satu orang kunci klan Saud di AS adalah Pangeran Bandar, keponakan Fahd yang bertindak sebagai Duta Besar Saudi untuk Amerika Serikat. Bandar memainkan peran kunci dengan mengeluarkan 140 warga Saudi—termasuk keluarga kerajaan Saudi dan anggota keluarga bin Laden—dari AS. Ia melobi Bush Junior pada 13 September dan keluarga, hanya tiga hari usai serangan grup teroris Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden di World Trade Center pada 11 September 2001.
Peristiwa pelarian itu disebut Craig Ungresdalam salah satu bab di bukunya House of Bush, House of Saud: The Secret Relationship Between the World’s Two Most Powerful Dynasties (2004). Hubungan bisnis kedua klan adalah gambaran intim dari sesuatu yang terjadi di permukaan, di antaranya selama 23 tahun kepemimpinan Raja Fahd.
Koalisi dalam Perang
Berkuasa sejak 13 Juni 1982 hingga 1 Agustus 2005, Fahd adalah raja kelima Arab Saudi. Ia terkena stroke pada 1995. Secara de facto putra mahkota Abdullah menjalankan tugas administrasi hingga sang kakak meninggal 10 tahun kemudian. Sebelumnya, Fahd adalah putra mahkota sejak 1975 yang juga memainkan peran penting selama Khalid (raja keempat Saudi) sakit-sakitan. Ia menempatkan dirinya dalam konteks dunia Arab sebagai juru bicara dan menemui Presiden AS untuk merundingkan perdamaian Palestina dan Timur Tengah pada 1977, mengutip Britannica.
Bersaing dengan Iran, republik Islam beraliran Syiah yang menyatakan revolusi pada 1979, Fahd ingin menunjukkan diri sebagai pemimpin Islam beraliran Sunni, karena Saudi adalah kelahiran Nabi Muhammad. Tak lama setelah revolusi itu, Fahd menjadi raja dan mendukung Irak untuk memerangi Iran. Fahd juga mencitrakan diri sebagai penjaga dua masjid suci umat Islam di Mekkah dan Madinah dengan proyek pelebaran kompleks Masjid al-Haram dan Nabawi, mengutip The New York Times.
Kekayaan Saudi pada masa Fahd ditopang oleh harga minyak yang melonjak. Saudi pada era 1970-an dan 1980-an adalah produsen minyak terbesar dunia yang sangat menentukan kebijakan produksi dan penetapan harga minyak oleh anggota organisasi negara-negara pengekspor minyak bumi (OPEC). Kemakmuran itu membuat Fahd mampu membangun pertahanan militer dalam negeri lewat kontrak pembelian persenjataan dengan Amerika Serikat dan Inggris.
Ada tiga perang yang melibatkan Saudi dan AS terlibat di dalamnya, satu di antaranya koalisi utama, yakni Perang Teluk I (Irak-Iran), II (Irak-Kuwait) dan Perang Uni Soviet-Afghanistan. Saudi merupakan pendukung mujahidin Afghanistan melawan Soviet. Dalam perang itu, ada Osama bin Laden yang dididik bersama oleh koalisi Saudi, AS dan Pakistan.
Invasi Irak dalam Perang Teluk II (1990-1991) memaksa keluarga kerajaan Kuwait dan 400.000 warga mengungsi ke Arab Saudi. Dalam perang itu, koalisi Saudi-AS memukul Irak selama 16-17 Januari 1991 dan disebut-sebut sebagai kesuksesan terakhir Saudi-AS selama abad ke-20 dengan kekuatan pasukan koalisi 800 ribu tentara—setidaknya 550.000 dari AS. Kemenangan koalisi adalah sejarah penting yang menjadikan Fahd pemimpin dunia Arab yang menyelamatkan Kuwait dari kehancuran. Namun, Saudi menolak bergabung dengan AS untuk menyerang Irak dan Afghanistan pada 2003 setelah serangan 11 September. Kendati begitu, sejumlah laporan menunjukkan Saudi meminjamkan pangkalan udara untuk tentara AS dan Saudi mengambil keuntungan terkait urusan minyak bumi.
Selama penempatan tentara AS di Arab Saudi, kritik muncul dari keluarga kerajaan dan oposisi Islam kepada Fahd. Tentara AS dianggap sebagai non-muslim yang tidak layak berada di Tanah Suci. Kebencian terhadap AS telah memicu serangan terhadap aset di Arab Saudi. Tercatat dua kali serangan ke tentara AS di terjadi sepanjang 1990-an. Pada 1995, ledakan bom mobil di Riyadh menewaskan tujuh orang, termasuk lima prajurit AS. Pada Juni 1996, 19 prajurit AS tewas dan sekitar 400 orang terluka ketika sebuah bom meledak di tangsi militer AS bernama Menara Khobar yang terletak di dekat Dhahran, sebuah pelabuhan utama di Teluk Persia, mengutip laporan Council on Foreign Relations.
Puncak kebencian warga Saudi terhadap AS adalah serangan 11 September yang mengubah pandangan Barat terhadap Islam. Saudi di bawah Fahd dituding melahirkan orang seperti Osama yang berpandangan ekstrem. Pandangan itu disebut-sebut lahir dari kebijakan pendidikan agama Saudi yang mengadopsi paham Wahabi, yang menganjurkan jihad dengan kekuatan bersenjata—bila perlu—untuk melawan ‘rezim kafir’.
Efek serangan 11 September adalah meredupnya relasi AS dengan Saudi hingga akhir hayat Fahd. Penarikan seluruh prajurit AS terjadi pada 2003, tahun sama ketika Saudi menolak bergabung dengan koalisi untuk perang Irak dan setelah rentetan teror dari warga Saudi ke AS.
Ada beberapa buah dari hubungan baik Saudi-AS yang telah dipetik selama Fahd berkuasa. Yang pertama adalah penyelamatan 140 warga Saudi beberapa hari setelah 11 September. Kedua, AS tak memerangi Saudi, alih-alih Irak dan Afghanistan, kendati 15 dari 19 pelaku berkewarganegaraan Arab Saudi. Penulis Craig Ungres percaya, kebijakan AS yang menguntungkan Saudi setelah 11 September juga tak lepas dari relasi bisnis keluarga Saudi dan dinasti Bush.
Arab Saudi kini menyetujui kembali kehadiran tentara AS sejak akhir 2019, usai penyerangan kilang minyak oleh kelompok bersenjata Houthi di Yaman. Pasang surut hubungan AS-Saudi selama beberapa dekade terakhir dan kembalinya AS di Saudi memberikan konteks sebuah pernyataan Raja Fahd yang dikutip oleh Badan Intelijen Pusat AS (CIA) pada 2012: “Setelah Allah, kita dapat mengandalkan Amerika Serikat”.
Editor: Windu Jusuf