Menuju konten utama
20 September 1952

Radjiman: Ketua BPUPKI yang "Menjemput" Kemerdekaan RI ke Vietnam

Radjiman Wedyodiningrat adalah dokter Jawa yang disegani. Ia berperan sebagai "sesepuh" bagi aktivis pergerakan nasional seangkatan Sukarno-Hatta.

Radjiman: Ketua BPUPKI yang
Radjiman Wedyodiningrat. tirto.id/Nauval

tirto.id - Pada hari ketika Nagasaki dibom atom, Sukarno dan rombongannya berangkat ke Vietnam hendak bertemu dengan Marsekal Teraichi dan "menjemput" janji kemerdekaan. Mereka terbang dari lapangan udara Kemayoran pada 9 Agustus 1945 memakai pesawat milik Jepang.

Bersama Sukarno, ikut Mohamad Hatta, Soeharto sebagai dokter pribadi Sukarno, dan dokter Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat. Kecuali Soeharto, yang lain adalah anggota Chuo Sangi-inatau Dewan Pertimbangan Pusat bentukan Jepang, yang baru saja bekerja keras merumuskan sebuah undang-undang bagi Indonesia.

Ketika hendak naik pesawat, Soeharto diberitahu oleh petugas bahwa namanya tidak ada dalam daftar rombongan yang hendak berangkat.

"Saya dokter rombongan Indonesia,” kata Soeharto.

“Tidak perlu dokter Indonesia. Kami punya banyak dokter yang pandai-pandai,” timpal si petugas.

“Apakah di antara dokter-dokter Nippon ada yang mengetahui cara berpakaian orang Jawa untuk membantu dokter Radjiman yang sakit rematik itu,” tanya Soeharto.

Si petugas rupanya tidak paham dan pergi ke tempat lain. Soeharto kemudian masuk dan pesawat segera mengangkasa.

Setelah pesawat mendarat di lapangan darurat pinggiran Saigon, rombongan kemudian diinapkan di sebuah hotel bergaya Prancis. Esoknya mereka diterbangkan ke Dalat.

Di antara empat orang Indonesia itu, Radjiman yang paling sepuh. Meski berpendidikan Barat dan pernah tinggal di Belanda, ia terbiasa dengan pakaian adat Jawa.

“Saya sengaja memberi petunjuk kepada wanita-wanita pelayan hotel bagaimana cara membantu dokter Radjiman berbusana,” kenang Soeharto dalam memoarnya, Saksi Sejarah (1984: 7).

Setelah bertemu dengan Marsekal Teraichi sebagai panglima tinggi Jepang di Asia Tenggara, mereka kembali ke Indonesia menggunakan pesawat pembom yang tempat duduknya terbatas. Perjalanan yang mengharuskan berpindah-pindah pesawat, bahwa mesti naik pesawat pembom, adalah siksaan bagi Radjiman yang telah berkepala tujuh.

Selain kelelahan, ancaman dari pesawat pemburu Sekutu juga menjadi tantangan lain bagi Radjiman dan kawan-kawannya. Beruntung, setelah dua kali singgah, pesawat yang mereka tumpangi akhirnya tiba di Jakarta dengan selamat pada 14 Agustus 1945.

Meski Radjiman sebagai pimpinan Chuo Sangi-In dianggap telah selesai, namun dokter sepuh itu harus melibatkan diri dalam Panita Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Kemerdekaan Indonesia yang ia dan kawan-kawannya perjuangkan, adalah juga yang dulu diidamkan oleh pamannya, Wahidin Sudirohusodo.

Peran Sang Paman

Radjiman adalah anak Sutrodono, pensiunan kopral yang jadi centengdi Pecinan Yogyakarta. Zaman itu, anak kopral biasanya hanya puas belajar di sekolah dasar biasa bernama Volkschool, namun tidak demikian dengan Radjiman.

Ia lulus dari sekolah dasar elite untuk anak bumiputera, yakni Europeesche Lagere School (ELS) pada 27 April 1893 di Yogyakarta. Selanjutnya ia melanjutkan belajar ke sekolah dokter Jawa atau School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) dan lulus pada 22 Desember 1898.

Riwayat pendidikan Radjiman dipengaruhi oleh dokter Wahidin Sudirohusodo, suami bibinya. Sutrodono, seperti dikutip Tashadi dalam Dr. Wahidin Sudirohusodo (1983: 18) adalah saudara dari istri dokter Wahidin. Ibu Radjiman berasal dari Gorontalo. Radjiman seumuran dengan Abdullah dan Soeleiman, anak-anak Wahidin yang belajar di STOVIA. Wahidin memberi pertolongan bagi Radjiman untuk kuliah dan akhirnya lulus dari STOVIA.

Selama jadi dokter, seperti dicatat Soebaryo Mangunwidodo dalam Dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat: Perjalanan Seorang Putra Bangsa 1879-1952 (1994), ia pernah bertugas memberantas pes di Purworejo dan Banyumas, dan bertugas di Rumah Sakit Jiwa Lawang dan Rumah Sakit Sragen. Setelah itu Radjiman menjadi dokter pribadi di Keraton Susuhunan Surakarta, dan selanjutnya pergi ke Belanda untuk memperdalam ilmu kedokteran.

“Pada Oktober 1909 ia tiba di Negeri Belanda untuk melanjutkan pendidikan sebagai dokter,” tulis Harry Poeze dan kawan-kawan dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2007: 74).

Setahun setelah kedatangannya di Belanda, Radjiman menyelesaikan pendidikannya.

Infografik Mozaik Rajiman Wedyodiningrat

Infografik Mozaik Rajiman Wedyodiningrat. tirto.id/Nauval

Aktif sampai Akhir

Antara tahun 1914 hingga 1915, Radjiman pernah menjadi ketua Boedi Oetomo. Sejak 1913, tepatnya setelah pulang dari Belanda, ia kerap dikaitkan dengan Tarekat Mason Bebas (Freemason). Tak hanya itu, Radjiman juga tercatat pernah menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) sejak 1918 sampai 1921. Dan sebelum pensiun sebagai dokter keraton, Radjiman ikut mendirikan Partai Indonesia Raya (Parindra).

Ketika Jepang menduduki Indonesia, Radjiman yang telah sepuh adalah salah seorang sosok yang disegani. Ia yang saat itu menjalani masa pensiun di Walikukun, Ngawi, oleh militer Jepang diangkat sebagai anggota Chuo Sangi-In mewakili daerah Madiun.

Peran penting Radjiman dalam sejarah Indonesia yang sulit terbantahkan adalah pernah menjadi Ketua Dokuritsu Junbi Cosakai alias Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan inilah yang merancang cikal bakal konstitusi Indonesia yang bernama Undang-Undang Dasar 1945.

Setelah proklamasi kemerdekaan, kiprah Radjiman terus berlanjut. Ia pernah diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pada 20 September 1952, tepat hari ini 67 tahun lalu, Radjiman mengembuskan napasnya yang terakhir. Warsa 2013, dokter Jawa yang punya darah Sulawesi ini diberi gelar Pahlawan Nasional.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh