Film ini tidak meromantisasi jejak historis Neil Armstrong, tapi menyuguhkan ketegangan nan intim, “trial and error”, dan pertaruhan hidup-mati yang sehari-hari dihadapi astronot NASA.
Venom punya segudang modal untuk mengikuti jejak Deadpool atau Logan. Tapi Sony tak menjajakinya. Demi waralaba ambisius dan menjaga peluang masuk ke Marvel Cinematic Universe.
Humornya kering. Kritik sosialnya jenuh. Sinematografi standar, CGI kasar, dan musik latar berlebihan. Di mana letak pengerjaan yang katanya “serius abis” itu?
CGI di cuplikan trailer dihujat “kasar” oleh warganet. Penayangan di bioskop menghapus kritik itu: laga yang tersaji bukan yang sekelas “sinetron naga terbang”.
Talenta Iko Uwais sia-sia mengingat adegan laganya tidak dikemas sebaik The Raid. Wahlberg cuma bisa marah-marah sebagai karakter yang menyebalkan di film yang tak menawarkan kebaruan.
Cina adalah pasar terbesar Hollywood. Meski The Meg cuma film kelas B, di pekan pertama penayangan untungnya 120% lebih tinggi ketimbang perkiraan analis.
Kedua aktris ditantang keluar dari zona nyaman. Hasilnya, mereka tak tampil “syantik”, melainkan disiksa rangkaian teror tanpa jeda napas di sepanjang film.
Tom Cruise melakukan adegan berbahaya terbaiknya: menerbangkan helikopter, terjun payung hingga ketinggian rendah, melompati gedung sampai kakinya patah.
Lagi, Dwayne “The Rock” Johnson tampil sebagai hero yang susah semaput dalam film terbarunya. Yang beda, kali ini ia memerankan seorang penyandang disabilitas.
Syahrini adalah lelucon dalam balutan glamor. Ia sadar, serta mampu mengeksploitasinya dalam beragam bentuk—termasuk film layar lebar (yang hampir nihil mutu tentu saja).