Menuju konten utama
Misbar:

Film Crazy Rich Asians: Romansa Basi yang Tertolong oleh Komedi

Mereka tak sempurna, mereka cuma Orang Asia yang Superduper Kaya!

Film Crazy Rich Asians: Romansa Basi yang Tertolong oleh Komedi
Penulis Kevin Kwan (kanan) dan para pemeran "Crazy Rich Asians" Henry Golding dan Constance Wu berpose pada pemutaran perdana film mereka di Los Angeles, California, Amerika Serikat, Selasa (7/8). ANTARA FOTO/REUTERS/Mario Anzuoni

tirto.id - Saya bakal dikira gila dan snob—oleh kaum snob tulen di jagat Twitter—kalau bilang Crazy Rich Asians buruk. Popularitas film ini memang susah dibantah. Ia dibanjiri puja-puji dari dalam dan luar Hollywood. Namun, kenyataannya Crazy Rich Asians tidaklah sesempurna citra megah yang dirayakan media.

Memang benar kalau Crazy Rich Asians adalah film Hollywood ketiga dengan semua pemain orang Asia, setelah The Joy Luck Club (1993) dan Better Luck Tomorrow (2002). Di tengah semangat merombak citra rasis Hollywood—salah satu industri film terbesar sedunia—film ini memang perlu dirayakan.

Toh, semua orang dapat untung.

Buat para produser di Hollywood, kesuksesan Crazy Rich Asians (yang sampai 12 September kemarin sudah mengumpulkan 170.793.181 dolar AS) jadi bukti kalau memakai aktor Asia tak bikin mereka rugi. Bagi para aktor bertampang Asia sendiri, suksesnya film ini berarti kesempatan kerja yang lebih terbuka—terutama tentang pilihan peran yang selama ini cukup terbatas dan stereotip.

Bahkan buat para penonton non-Asia, terutama di Amerika, mereka akan mulai belajar bahwa orang-orang Asia tak melulu kutu buku dan jauh dari kata atraktif. Ada juga yang superkaya, pintar, dan bisa mengguncang insting bisnis para petinggi Hollywood untuk tanam modal besar di film all-asian-cast begini. Namanya Kevin Kwan, penulis novel Crazy Rich Asians (2013), salah satu konglomerat Singapura dan keturunan salah seorang pendiri bank tertua di Singapura, OCBC.

Bersama sutradara Jon M. Chu (Step Up 3D, GI Joe: Retaliation, Now You See Me 2) yang juga keturunan Asia-Amerika, Kwan berhasil mempromosikan muka-muka Asia di layar Hollywood. Agaknya ia mau mengikuti jejak kesuksesan Black Panther di awal tahun ini.

Namun, cara yang sama rasanya malah jadi ironi dan sulit diterima semua penonton di tanah Asia sendiri. Faktanya, Asia adalah benua terbesar di dunia. Tak semua Asia berkulit kuning, mata sipit, dan berbahasa mandarin. Chu dan Kwan akhirnya tampak kepayahan menginterpretasikan nilai-nilai representatif yang mereka gembar-gemborkan.

Saya pikir judul Crazy Rich Asians lebih cocok diganti jadi “Crazy Rich Singaporean Chinese”. Untuk sebuah film yang membual tentang pentingnya representasi, film ini sama sekali tidak cukup representatif menggambarkan orang-orang Asia. Semua karakternya keturunan Cina, tak ada satupun karakter utamanya yang berkulit gelap. Parahnya, film ini juga sangat stereotip dengan menampilkan orang Filipina sebagai pelayan, dan orang India sebagai penjaga rumah.

Seperti warga Hispanik di Amerika Serikat, orang-orang Filipina juga punya stereotip sebagai pelayan di Singapura. Begitu pula orang-orang kulit gelap yang distereotipkan sangar di AS, sebagaimana orang-orang India di Singapura dianggap lebih cocok memerankan tokoh-tokoh yang dekat dengan kekerasan, seperti penjaga atau penjahat.

Dee Kosh, vlogger beken asal Singapura yang juga keturunan India, bahkan menyindir tajam buat film ini: “Bawalah sebotol vodka, tonton filmnya, dan setiap kali orang berkulit cokelat lewat, minum seteguk vodka-nya. I promise you, saat filmnya habis, kau tidak akan mabuk.”

Di titik tertentu, film ini terasa hipokrit.

Ian Chong, ilmuan politik dari National University of Singapore, bilang, “(Film) ini merepresentasikan yang terburuk dari Singapura. Menghapus minoritas. Menghapus orang miskin dan orang-orang terpinggirkan. Yang kita tonton cuma orang-orang Cina yang kaya dan punya hak-hak istimewa.”

Orang-orang Singapura ini merasa Hollywood keliru merepresentasikan budaya dan jati diri mereka, ironisnya dalam upaya membetulkan budaya orang-orang Asia di Amerika.

Mungkin karena film ini memang ditujukan untuk masyarakat Amerika Utara, di mana kata "Asia" sudah bisa dipastikan berarti "Asia Timur". Seandainya ada film lain berjudul sama yang dibuat di Britania Raya, semua pemainnya dijamin berasal dari India dan negara Asia Selatan lainnya.

Romcom yang Tetap Punya Cela

Di luar isu representasi yang dibawa Crazy Rich Asians sebagai senjata promosinya—sekaligus bagian yang paling dikritik dari film ini—sebenarnya ia hanyalah romcom alias komedi romantis biasa.

Konfliknya sederhana. Rachel Chu (Constance Wu) harus menghadapi keluarga superkaya kekasihnya, Nick Young (Henry Golding) yang ternyata adalah salah satu taipan paling kaya di Singapura. Sebagai profesor ekonomi yang hitungannya kelas menengah, Rachel harus berhadapan dengan Eleanor (Michelle Yeoh), ibu Nick. ‘Perang dingin’ antara kedua karakter inilah yang jadi sumbu utama Crazy Rich Asians.

Cerita tentang calon menantu versus calon mertua begini sudah jadi barang lapuk dalam tradisi sinema Asia, terutama Asia Selatan, Timur, dan Tenggara.

Banyak sinetron di Indonesia, teleserye Filipina, atau dorama Korea (masih ingat Meteor Garden atau Boys Before Flowers?) sudah sering memakainya. Bahkan kita juga sering disuguhi cerita melodramatis semacam itu lewat Bollywood, industri film terbesar di dunia. Kabhi Kushi Kabhi Gham (2001) adalah salah satu yang paling populer.

Dengan alur cerita yang gampang ketebak, Crazy Rich Asians akhirnya cuma bergantung pada adegan-adegan (pseudo-) filosofis dan komedi. Mungkin dengan sedikit bantuan male gaze dari karakter Nick Young, yang diperankan si karismatik Henry Golding. Namun dari ketiga elemen ini, Crazy Rich Asians cuma tertolong oleh humornya.

Adegan-adegan filosofis seperti membuat pangsit, obrolan Rachel-Eleanor di tangga, atau permainan mahjong di ujung film terasa hambar, kalau bukan terlalu maksa. Seberapa pun kerasnya Eleanor menjelaskan (dengan dialog rapi dan inspiratif) tentang alasan di balik mengapa mereka harus beramai-ramai membuat pangsit dengan tangannya sendiri, rasanya tetap sulit membayangkan orang-orang superkaya punya waktu untuk itu dan tetap menjadikannya sebuah tradisi.

Pesta supermewah untuk merayakan bunga yang cuma terbit sekali dalam setahun—seperti di awal film—jauh terasa lebih masuk akal bila dibandingkan dengan adegan pangsit.

Infografik Crazy Rich Asians

Adegan mahjong juga tak menohok seperti yang diharapkan. Dua nenek yang ikut dalam permainan Rachel dan Eleanor memang perlu hadir sebab mahjong harus dimainkan empat orang. Tapi, kealpaan keduanya dan durasi permainan yang kelewat sebentar akhirnya juga membuat adegan itu kelewat maksa. Meski dirakit dengan alasan kuat, sayang eksekusi adegan mahjong ini melempem.

Padahal, pesan pro-imigran yang terselip dalam dialog Rachel (karakter yang lahir dari imigran) amat penting.

Performa Golding, yang aslinya separuh etnis Iban (salah satu rumpun suku dayak) dan separuh Inggris ini juga tak tampil sekarismatik wajahnya. Sepanjang 121 menit, tak satu pun adegan yang dihadirinya membawa aura bujangan tajir atau ‘bachelor of Asia’. Karakternya terlalu putih dan terang. Terlalu baik untuk orang superkaya. Tak ada aura badboy sedikit pun.

Bahkan, dengan perut kotak-kotak dan senyum secerah matahari, Henry masih tak bisa percaya diri berdiri di depan kekasihnya sendiri, di kamar yang cuma diisi mereka berdua. Kekurangan ini bisa dimaklumi, karena Crazy Rich Asians adalah film pertama Golding.

Yang bikin Crazy Rich Asians meriah adalah lawakan Nora Lum alias Awkafina yang memerankan teman Rachel, Goh Peik Lin. Celetukannya selalu tepat sasaran. Kehadirannya juga selalu jadi kembang api di antara orang-orang sekitarnya. Keputusan Jon M. Chu membawa Rachel beberapa kali ke rumah keluarga Peik Lin juga tepat. Sebab, kita tak akan mungkin benar-benar menggilai Crazy Rich Asians, jika tak bertemu keluarga kocak Peik Lin.

Baca juga artikel terkait FILM HOLLYWOOD atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Film
Penulis: Aulia Adam
Editor: Windu Jusuf