tirto.id - Jakarta di awal film 22 Menit adalah kota yang eksotis—sebagaimana kota itu muncul dalam esai-esai foto di majalah Djakarta Djakarta dekade 1990an atau Bung era 2010an. Orang-orang dari seluruh penjuru kota mempersiapkan sarapan, olah fisik, bergegas ke kantor, tenggelam dalam kemacetan, ditilang, menyogok polisi agar tak disidang, lalu makan siang di kaki lima.
Ledakan bom di Thamrin mengakhiri segala hiruk-pikuk itu.
Jakarta sibuk di siang hari, lalu malamnya berkeluh kesah dan bercerita, kira-kira demikian ucap seorang penyiar radio jelang peristiwa Thamrin di 22 Menit. Malam itu si penyiar radio mendapat kesimpulan berbeda tentang kota kesayangannya: “Malam ini Jakarta punya lebih banyak cerita."
22 Menit dibagi ke dalam beberapa fragmen yang dijahit oleh peristiwa bom Thamrin. Taskya Namya memerankan seorang pekerja kantoran yang bimbang soal rencana pernikahannya. Si calon suami adalah seorang polisi yang akan ditugaskan ke Kepulauan Sangihe. Jika mereka jadi menikah, artinya Taskya harus meninggalkan pekerjaannya. Ada pula Anas (Ence Bagus) yang ditembak teroris saat membelikan makanan untuk kawan sekantornya. Aryo Bayu memainkan karakter AKBP Ardi, polisi yang bertugas di unit anti-terorisme. Ketika bom Thamrin meledak, Ardi yang sedang berada dalam perjalanan menuju kantor dikisahkan langsung terjun di TKP.
Kapolri Tito Karnavian dan Birgjen Pol Krishna Murti mendapat peran kecil masing-masing sebagai pelanggar lalu lintas dan tukang sate.
Budaya Penyangkalan
Di tengah gelombang aksi terorisme—seperti yang terjadi di Mako Brimob Depok, di Surabaya, dan Sidoardjo beberapa bulan lalu, misalnya—sulit untuk tidak bersimpati pada polisi dan mengharapkan mereka bekerja seefektif mungkin.
Sutradara Eugene Panji dan Myrna Paramita tahu itu dan merayakannya di 22 Menit. Sang sutradara sendiri dengan sadar menyatakan kekagumannya atas kecepatan polisi—dalam hal ini Densus 88—melumpuhkan teroris di Thamrin dan membekuk jejaringnya di kota-kota lain.
Ketika membicarakan heroisme polisi Indonesia, tentu kita tidak sedang membahas aparat kepolisian di Papua atau daerah konflik lainnya, atau sogok-menyogok kala pengendara motor atau mobil kena tilang, tidak pula perilaku aparat yang sewenang-wenang menempeleng ibu-ibu yang mencuri barang dari swalayan miliknya, atau seabrek kasus hukum yang melibatkan personel kepolisian.
Sudah tentu sosok polisi di 22 Menit adalah penegak hukum yang serius, tulus, dan berani berkorban demi keselamatan warga sipil—dengan kata lain, sikap-sikap yang bertolak belakang dengan musuh-musuhnya: pembom bunuh diri dan penembak jitu berseragam tukang sapu kantoran yang membidik warga sipil dari atas gedung, dan penyandera orang kantoran.
Di sinilah satu dari sekian masalah 22 Menit. Di luar layar lebar, sudah ada banyak kajian yang menelisik motif-motif pendorong bom bunuh diri dan aksi terorisme lainnya di Indonesia. Interpretasi ekstrem soal ajakan jihad misalnya, atau balas dendam terhadap aksi-aksi kontra-terorisme Densus 88, persepsi bahwa pemerintahan telah dikuasai orang-orang ‘kafir’, hingga anggapan bahwa umat Islam di belahan dunia lain didiskriminasi.
Sulit pula melepaskan terorisme dari tujuan-tujuan politis taktis, misalnya membangunkan sel tidur, mempertegas lini antara komunitas muslim imigran dan pemerintah-pemerintah ‘Barat’ (sebagaimana yang dilakukan ISIS dalam aksi-aksi mereka sepanjang 2016), menunjukkan ketidakberdayaan aparat keamanan dalam mengendalikan situasi, hingga menuntut pembebasan tahanan politik.
Sayangnya kita tidak menyaksikan kedua hal itu di 22 Menit. Terorisme dalam 22 Menit digambarkan tak dibimbing baik oleh motif ideologis maupun tujuan-tujuan politik taktis. Penonton malah mesti menyaksikan kebrutalan teroris menyerang target-target tertentu (pos polisi, kafe tempat nongkrong bule, kawasan bisnis) yang direspons dengan aksi penumpasan secepat kilat. Singkatnya, kekerasan para teroris ditunjukkan sebagai upaya merecoki keamanan kota belaka, tanpa makna ideologis dan politik yang bisa digali lebih dalam.
CNNmewartakan bahwa Panji sengaja tidak memasukkan unsur agama. Ia belajar dari kasus film Naura dan Genk Juara—yang disutradarainya—dan hampir diboikot sejumlah warganet akibat menampilkan adegan penjahat mengucap takbir.
Fakta bahwa semakin banyak warganet yang bersumbu pendek ketika keyakinannya disentil adalah satu hal. Sementara penyangkalan bahwa agama punya peran pengorganisiran kekerasan adalah problem sosial lainnya yang perlu dipecahkan. Dengan mengabaikan motif dan tujuan teror, Eugene dan Myrna justru memelihara budaya penyangkalan yang berusaha menutup-nutupi kompleksitas hubungan antara terorisme dan iman dengan terus-menerus mereproduksi argumen usang “terorisme tak punya agama”.
Membayangkan “Musuh Negara”
Terlepas dari penggambaran musuh yang kadang karikatural, film seperti Die Hard (1988) terang-terangan mengidentifikasi siapa lawannya: teroris sayap kiri Jerman; Zero Dark Thirty (2012) menunjuk Al-Qaeda; Eye in the Sky (2015) ingin menghabisi kelompok Al-Shabaab di Afrika Timur.
Tindakan polisi, interogator, dan operator drone dalam film-film ini dilatari oleh gambaran sosial yang jelas: serangan teroris sayap kiri di sebuah hotel (marak di AS dan Eropa Barat hingga awal tahun 1980an), keberadaan sel-sel Al-Qaeda di Timur Tengah dan Asia Selatan, dan ancaman bom bunuh diri di tengah pemukiman warga. Ketiganya merupakan fakta sosial yang diartikulasikan secara eksplisit dalam masing-masing film. Aksi-aksi aparat keamanan untuk meringkus teroris pun jadi masuk akal karena konteks sosial yang dideklarasikan di muka.
Sementara konteks sosial yang berusaha dibangun oleh 22 Menit bukan itu semua. Konteks yang didedahkan adalah kehidupan bersama warga Jakarta dengan segala keragaman eksotisnya, yang mendadak hancur oleh serangan teroris.
22 Menit memang mengimplikasikan bagaimana peristiwa-peristiwa teror di Indonesia punya benang merah. Menjelang akhir film, Ardi digambarkan tengah menginterogasi tahanan seraya menghubungkan kasus-kasus teror di berbagai daerah. Sayangnya, lagi-lagi film ini tak berani menunjuk hidung pelaku.
Terorisme pun jadi hantu yang tak terjelaskan dari mana asalnya; ia diperlakukan sebagai sosok asing yang menyusup di keramaian dan hiruk-pikuk warga, lalu seketika membunuh dan menebar ketakutan massal. Dan akhirnya, dalam 22 Menit, segala keasingan dan kebrutalan itu hanya menjadi dalih (pretext) bagi drama operasi pemberantasan teroris, lengkap dengan logo polisi yang terlihat di mana-mana, koreografi macho khas adegan laga, persenjataan canggih, dan tak lupa, narasi pengorbanan aparat yang gugur.
Ini ditunjukkan lewat struktur cerita 22 Menit yang dibangun mirip Vantage Point (2008): satu peristiwa menegangkan sebagai pusat cerita yang disisipi cerita-cerita mini lain dari berbagai sudut pandang dalam alur maju-mundur. Namun, berbeda dari Vantage Point, 22 Menit tak konsisten bertahan dengan pola sisipan dan alur maju-mundur. Dari tengah hingga akhir, cerita tiba-tiba dipersembahkan secara khusus untuk aksi-aksi polisi meringkus teroris.
Tapi, tidakkah penggambaran “musuh negara” dalam sejarah film Indonesia selalu problematis?
Film Pengkhianatan G30S/PKI (1984) memberikan kita gambaran besar—dan keliru—tentang komunisme sebagai kejahatan kemanusiaan. Film-film seputar revolusi fisik (1945-49) memajang tokoh-tokoh Belanda yang niscaya dicitrakan jahat, tanpa mampu menjelaskan cara kerja kolonialisme yang berkomplot dengan ningrat-ningrat feodal. Musuh—yang selalu digambarkan buas—hanya diangkat ke layar selama ia bisa mendongkrak kualitas moral jagoan. Tak penting mengulik karakter musuh, karena yang penting adalah heroisme tentara.
Narasi tentang “musuh negara” selama Orde Baru—termasuk dalam film-film di atas—dibangun oleh tentara, yang memanfaatkan beragam peristiwa bersejarah sebagai latar untuk mengisahkan aksi-aksi heroiknya. Dengan berdiri di panggung sejarah, tentara mendaku diri sebagai pihak yang paling berjasa dalam perjuangan anti-kolonial, mengamankan bangsa dari “ancaman komunis”, dan merestorasi tatanan sosial.
Setelah lama tak turun ke ranah produksi film, beberapa tahun belakangan muncul film-film seperti Jenderal Soedirman (2015) yang didanai oleh Yayasan Kartika Eka Paksi, atau Doea Tanda Tjinta yang diproduksi Inkopad. Dua-duanya adalah lembaga milik Angkatan Darat. Khususnya dalam film Jenderal Soedirman, kita kembali menyaksikan bagaimana militerisasi sejarah Indonesia—yang dulu dilakukan tentara untuk melegitimasi Orde Baru—kembali dipromosikan melalui adegan kecurigaan Soedirman atas kepemimpinan sipil.
Sebuah pertanyaan yang putut diajukan setelah 22 Menit: apakah film-film tentang polisi Indonesia sedang dan akan melanjutkan tradisi sinema tentara Orde Baru?
Editor: Maulida Sri Handayani