tirto.id - Neil Armstrong (Ryan Gosling) memang penyuka profesi yang menantang. Ia kerap bermain-main dengan kemungkinan terenggutnya nyawa akibat kesalahan sepele kru atau karena kekeliruannya sendiri. Contohnya terekam dalam permulaan film First Man, di Gurun Mojave, California, 1961.
Armstrong bertugas sebagai pilot penguji pesawat jet tempur yang diterbangkan hingga melampaui atmosfer. Tapi, jangan harap Anda akan melihat penampakan pesawat seperti saat menonton Star Wars. Sutradara Damien Chazelle justru memilih ruang kokpit, dengan kamera menyorot tajam ke wajah Gosling.
Penonton diajak untuk menjalani apa yang dikerjakan Armstrong, merasakan apa yang ia rasakan. Mulai dari usahanya naik ke langit, menembus lapisan tipis yang memanaskan pucuk pesawat, hingga akhirnya mencapai posisi stabil di lokasi yang telah ditentukan.
Penonton pun turut terkesima saat Armstrong menatap ke luar jendela, terlihat lengkungan horizon berwarna biru-putih khas planet bumi. Sinar matahari yang mengintip dari baliknya agak menyilaukan mata. Pengalaman langka ini, di masa menjelang Beatlemania, hanya bisa dicecap oleh segelintir manusia.
Armstrong sebenarnya tak punya banyak waktu. Ia mesti segera membalikkan posisi pesawat lalu turun ke pangkalan. Tapi keindahan bumi sedikit mengalihkan fokusnya. Lalu setir tiba-tiba macet, membuat pesawat “memantul-mantul di atmosfer” karena tak bisa ia kendalikan.
Armstrong tegang sekaligus tertekan. Penonton kembali turut merasakannya melalui ekspresi wajah sang calon astronot. Meski demikian, selaku pilot sekaligus insinyur handal, ia wajib bersikap profesional.
Posisi pesawat kembali normal lewat beberapa kali improvisasi. Chazelle masih mempertontonkan sudut pandang Armstrong, termasuk saat pesawat turun melewati kumpulan awan tebal dan hampir menabrak puncak bukit. Armstrong piawai mengelak. Melalui pendaratan darurat, ia tiba di pangkalan dengan selamat.
Armstrong tetap dimarahi atasan. Tapi manuver pada hari itu membuktikan kemampuan Armstrong dalam mengendalikan diri di saat-saat genting. Ia lolos tes masuk sebagai pilot Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA). Tak lama berselang, pria kelahiran Ohio, 5 Agustus 1930, itu direkrut ke dalam misi maha-penting: pergi ke bulan.
Sepanjang kariernya yang terbilang singkat namun mengagumkan, Chazelle terbiasa membongkar idealisme atau romantisisme cerita. Ia lebih suka untuk menunjukkan sisi paling humanis dari para tokoh dengan cara mengujinya sampai ke batas yang mampu mereka toleransi.
Film debutnya, Whiplash (2014), bercerita tentang musisi muda yang di akhir betul-betul mampu mengeksplorasi kemampuan menggebuk drum. Tapi proses belajarnya kejam. Ia mesti berhadapan dengan guru super-perfeksionis yang membuat si tokoh hampir terbunuh.
Di La La Land (2016), dua “Hollywood super-star wannabe” saling jatuh hati, hanya untuk bertemu dengan akhiran yang tak diduga oleh penonton. Chazelle tidak membuatnya serba-bahagia. Ia selalu berusaha untuk mengaduk-aduk genre dengan cara mematahkan asumsi penonton.
Dalam First Man, berkembang asumsi bahwa publik akan disuguhi petualangan seru di luar angkasa. Petualangan ini sesuai dengan imajinasi yang selama ini terbangun di kepala orang-orang berkat popularitas film-film fiksi-sains seperti Interstellar (2014) atau The Martian (2015).
Kenyataannya, First Man lebih banyak menunjukkan siksaan saat berada di ruang kokpit yang sempit, gangguan komunikasi dengan kantor pusat, tombol-tombol pengaturan kapsul yang rumit, dan masalah-masalah teknis yang kelihatannya sepele namun berdampak besar. Pendeknya, amat tidak nyaman untuk penonton yang mengidap klaustrofobia.
Chazelle paham jika mayoritas warga dunia sudah kenyang dijejali kisah pendaratan di bulan dalam bungkus yang: (1) romantis-heroik, dan (2) nasionalistik. Keduanya berangkat dari usaha memenangkan kompetisi melawan proyek antariksa yang juga sedang digagas Uni Soviet.
First Man tidak sama sekali menghilangkan kedua unsur tersebut, melainkan menekannya seminimal mungkin. Keputusan ini sampai membuat golongan nasionalis-konservatif AS jengkel. Presiden Donald J. Trump protes di Twitter terkait tidak ditampilkannya adegan menancapkan bendera AS di bulan.
Mengapa? Sebab Chazelle ingin semangat film ini bersifat universal. Bukan Amerika-sentris. Lebih esensial lagi, ia memilih untuk menggambarkan kisah tragis para astronot di balik kesuksesan pendaratan manusia pertama di bulan. Baik yang berakhir sebagai luka, maupun yang berujung kematian.
Penonton disuguhi detik-detik ketika Ed White dan kedua astronot terbakar hidup-hidup di kokpit roket Apollo pertama. Atau saat Armstrong harus keluar paksa dari prototipe kapsul pendaratan di bulan yang rusak, tepat sebelum kapsul terbanting ke tanah, meledak, dan terbakar hebat.
Sepanjang film Chazelle menyorot wajah para aktor secara tajam, sehingga tragedi-tragedi itu, trial and error itu, terasa amat intim. Ia dengan cerdas membangun ketegangan dari hal-hal yang kecil serta mendetil. Teknik ini berhasil membangkitkan rasa ketidaknyamanan penonton sebab kesalahan sepele saja bisa membuat misi besar NASA gagal total.
Penonton turut disuguhi kesedihan mendalam yang merudung istri para pilot, dan rumah tangga yang kacau setelah si ayah meninggal. Ada kabar duka yang rutin menghampiri kuping Armstrong. Ia juga harus menghadiri pemakaman demi pemakaman, hingga di satu titik ia muak, lalu kabur dari rumah duka.
Kematian orang terdekat menjadi hal yang amat personal bagi Armstrong. Putri kecilnya meninggal akibat kanker di usia yang masih amat belia. Istrinya Janet (Claire Foy) selalu menampilkan raut muka khawatir tiap kali Armstrong melakoni misi. Ia tahu persentase kecelakaannya besar, lebih besar ketimbang profesi lain.
Kematian-kematian para astronot kemudian beresonansi dengan kebangkitan counter-culture di kalangan muda-mudi hippie AS. Selain anti-perang, mereka vokal terhadap proyek NASA yang dinilai terlalu ambisius namun tidak menghasilkan dampak positif yang nyata bagi masyarakat luas.
Ada adegan di mana mereka menggelar demonstrasi di seberang gedung NASA. Di saat misi pendaratan ke bulan belum juga terealisasi, demonstran mengingatkan publik soal daftar pilot yang meninggal dan roket-roket yang terbakar.
Beberapa kali Chazelle menunjukkan betapa tertekannya NASA, mengingat dana yang digelontorkan untuk proyek Apollo tidaklah sedikit.
Kembali mengutip aspirasi para demonstran, NASA ngotot pergi ke bulan, sementara warga miskin kota susah beli popok, tak mampu menapaki pendidikan tinggi, atau tak kuat memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal yang layak.
Toh NASA keras kepala. Gengsinya terlalu tinggi. Mereka marah-marah tiap kali Soviet mengumumkan terobosan antariksa terbaru. Berkat lobi-lobi dengan anggota kongres, misi ke bulan tetap dilanjutkan.
Juli 1969. Apollo 11 membawa Armstrong, Buzz Aldrin (Corey Stoll) dan Michael Collins (Lukas Hass) ke luar angkasa. Perjalanannya, sekali lagi, terasa menegangkan sekaligus intim. Makin mendekati bulan, napas kian tertahan, tekanan di pundak makin berat.
Untuk menghindari romantisisme maupun heroisme, Chazelle menggambarkan adegan tiba di bulan dengan senormal-normalnya. Puncak antusiasme hadir saat pintu kapsul dibuka. Selanjutnya adalah pemandangan faktual atas bulan itu sendiri: gersang, hening, dan luar biasa sepi.
Situasi ini mengingatkan Armstrong akan pertanyaan anak lelakinya: “Apakah nanti di bulan ayah tidak kesepian?”. Armstrong, manusia pertama yang menjejakkan kaki di bulan, tidak hanya menjalankan misi utama dari NASA. Ia juga merampungkan misi kecil yang amat personal, terkait kecintaan pada orang terkasih.
Dengan demikian, di luar adegan-adegan pemicu adrenalin, Chazelle juga piawai mengolah elemen emosional dalam film keempatnya ini. Porsinya proporsional. Tidak kurang, tidak lebih. Cukup untuk menjadi kejutan manis di akhir cerita.
Editor: Windu Jusuf