tirto.id - “Nama saya Hussain dan saya bukan teroris.” Dengan lugas, kalimat tersebut diucapkan oleh Hussain Manawer, seorang pemuda asal Essex, Inggris Raya. Ia mengucapkan kalimat tersebut karena terinspirasi film Bollywood yang cukup sukses, My Name is Khan.
Hussain Manawer bukanlah pemuda biasa. Di akhir 2016 lalu, sang pemuda memenangi sebuah kompetisi kepemudaan yang diselenggarakan organisasi non-profit bernama One Young World dan Kriger Crowne. Manawer menjadi pemenang setelah menghempaskan pemuda-pemudi lainnya dari 90 negara. Ia mmenang kompetisi tersebut melalui puisi tentang kesehatan jiwa. Hadiahnya tak tanggung-tanggung: Manawer akan menjelajahi angkasa. Rencananya, Manawer akan mengangkasa 2018 nanti. Ia akan mengorbit bumi dengan menggunakan XCOR Aerospace Lynx.
Manawer yang menang kompetisi setelah mengutarakan isi hatinya selama 3 menit dalam bentuk puisi di depan Sir Bob Geldof dan Fatima Bhutto tersebut adalah seorang muslim. Artinya, meski ia bukanlah astronot-terlatih, Manawer akan menjadi astronot muslim pertama asal Inggris Raya.
Jauh sebelum Manawer, ada seorang pangeran bernama Sultan bin Salman Al Saud dari Kerajaan Arab Saudi yang didaulat sebagai muslim pertama di dunia yang menjadi astronot. Sultan bin Salman Al Saud lahir pada 27 Juni 1956. Ia adalah anak dari Pangeran Salman bin Abdul Aziz, Gubernur Riyadh, ibukota Arab Saudi. Sang ayah merupakan adik dari Raja Fahd.
Sultan tak seperti dibayangkan orang kala membahas "pangeran Arab" yang kerap diidentikkan dengan hidup mewah. Ia adalah mutiara padang pasir yang langka. Alih-alih berfoya-foya, Sultan lebih memilih sekolah setinggi-tingginya. Ia memperoleh gelar sarjana dari University of Denver dan menjadi menteri komunikasi Arab Saudi dari 1982 hingga 1984.
Meski berstatus sebagai anggota keluarga kerajaan dan salah satu tujuan Misi STS-51-G membawa Arabsat-1B, satelit komunikasi milik Arabsat, Sultan tak serta merta ditunjuk menjadi astronot. Ia sebelumnya harus melakukan masa pelatihan selama 12 bulan yang dilakukan oleh NASA. Ia harus punya kondisi fisik yang prima, pemahaman teknis mumpuni, serta bahasa Inggris yang baik agar bisa berinteraksi dengan anggota lainnya dalam misi tersebut.
Pada 17 Juni 1985, Sultan menuju luar angkasa dalam Misi STS-51-G. Misi tersebut membawa dan mengangkasakan 3 satelit komunikasi: Arabsat-1B milik Arab Saudi, Morelos 1 milik Meksiko, dan Telstar 3D milik perusahaan AT&T. Anggota misi tersebut didominasi oleh orang Amerika Serikat sendiri. Nama-nama seperti Daniel C. Brandenstein, John O. Creighton, John M. Fabian, Steven R. Nagel, dan Shannon W. Lucid merupakan astronot NASA, Amerika Serikat. Hanya sang pangeran Arab dan Patrick Baudry yang memiliki kewarganegaraan berbeda. Baudry diketahui merupakan warga negara Perancis.
Secara keseluruhan, sang pangeran beserta anggota Misi STS-51-G lannya berada di luar angkasa selama 7 hari, 1 jam, 38 menit, dan 52 detik. Misi STS-51-G menjelajah orbit bumi sejauh 4,67 juta kilometer.
Selain didaulat sebagai astronot muslim pertama, Sultan bin Salman Al Saud juga merupakan muslim pertama yang melaksanakan salat dan membaca Alquran di luar angkasa. Ia melakukan dua ibadah penting dalam ajaran Islam tersebut dalam keadaan tanpa gravitasi.
Saat itu, jika Sultan bin Salman Al Saud tidak terpilih menjadi anggota awak misi, ada seorang Arab lain yang berada di bangku cadangan yang siap mengambil alih posisi Sultan. Ia bernama Abdulmohsen Al-Bassam, seorang pilot dari maskapai kerajaan Arab Saudi.
Beribadah di Luar Angkasa
Menjadi muslim taat yang mengangkasa di antariksa bukanlah perkara yang mudah. Terutama dalam hal ibadah. Salat merupakan ibadah wajib yang harus dilaksanakan setiap muslim apa pun yang terjadi. Melaksanakan ibadah salat di luar angkasa tentu tak bisa disamakan dengan di bumi.
Pada 2006 lalu, Badan Antariksa Malaysia alias ANGKASA, menggelar seminar bersama 150 ilmuwan dan ulama untuk memecahkan permasalahan melaksanakan kewajiban seorang muslim di luar angkasa. Melalui seminar tersebut, dihasilkan sebuah panduan berjudul A Guideline of Performing Ibadah (worship) at the International Space Station (ISS).
Selain mengurusi segala hal yang berkaitan tentang pelaksanaan salat, buku panduan tersebut sedikit membahas tentang bagaimana seorang muslim melaksanakan ibadah puasa di luar angkasa.
Menurut buku petunjuk tersebut, seorang astronot muslim dalam konteks ibadah puasa Ramadan bisa melaksanakan ibadahnya tersebut di Luar Angkasa (dalam hal ini stasiun Luar Angkasa Internasional atau ISS) atau meng-qada ibadahnya setiba di bumi. Selain itu, jika si astronot memilih melaksanakan ibadah puasa di luar angkasa, ia harus menggunakan waktu di mana astronot tersebut diterbangkan ke luar angkasa.
Perihal makanan, jika ada keraguan apakah makanan yang dihidangkan halal atau haram, diperbolehkan memakan makanan tersebut agar tidak mengalami kelaparan.
Namun, ibadah sesungguhnya adalah perkara yang cukup pelik bagi astronot muslim. Astronot membutuhkan tingkat konsentrasi yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya. Kekurangan makanan dan minuman sangat berpengaruh terhadap konsentrasi yang dimiliki si astronot muslim.
Selain itu, luar angkasa diketahui merupakan tempat yang sebenarnya tidak bersahabat dengan manusia. Dr. Maggie Aderin-Pocock dari University College London sebagaimana dikutip BBC mengungkapkan, “astronot kehilangan banyak kalsium yang esensial terhadap [susunan] tulang mereka.”
Berada di luar angkasa bisa menyebabkan seorang astronot menderita osteoporosis. Selain itu, Jeremy Curtis dari UK Space Agency mengungkapkan bahwa astronot bisa kehilangan 40 persen berat otot mereka. Menjaga asupan nutrisi bagi astronot selama di luar angkasa adalah keharusan. Berarti, puasa di luar angkasa tak terlalu direkomendasikan.
Namun, sekali lagi, Islam mengenal keringanan. Para astronot muslim bisa meng-qada kewajiban puasanya kala ia kembali menginjak planet bumi.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani