tirto.id - Alkisah Johnny English (Rowan Atkinson) sudah pensiun dari dunia mata-mata. Ia menjadi guru geografi di Lincolnshire, Inggris, dan disukai murid-muridnya karena sering belajar di luar kelas, berpetualang, dan secara rahasia dilatih sebagai agen rahasia di masa depan.
Pada suatu hari, usai pelajaran berakhir, Johnny menerima surat undangan Dinas Intelijen Rahasia Inggris atau MI6. Raut mukanya gembira, terkenang masa-masa jayanya sebagai agen rahasia terkemuka.
MI6 ternyata sedang kena serangan siber. Semua agen rahasianya terekspos, sehingga Perdana Menteri Inggris (Emma Thompson) merekrut kembali agen yang sudah pensiun untuk menyelidiki kasus tersebut. Salah satunya adalah Johnny.
Johnny kemudian terpilih sebagai pelaksana tugas akibat insiden konyol. Saat sedang bermain dengan senjata berbentuk pena, ia menghidupkan bom waktu, gagal menon-aktifkannya, meledak, dan membunuh agen-agen tua lain di satu ruangan.
Johnny berangkat ke Perancis bagian selatan dengan ditemani oleh kawan lamanya, Bough (Ben Miller). Sementara itu PM Inggris mengadakan pertemuan dengan milyader Sillicon Valley, Jason Volta, yang ingin membincang sebuah ide yang PM bisa tawarkan dalam acara G-12.
Premisnya amat sangat biasa. Bahkan bisa dibilang “sampah” untuk genre film agen rahasia. Anda bisa menebak dengan mudah siapa pelakunya, alurnya, dan tentu saja akhirannya.
Saran saya: jangan menonton film ini untuk kisah spionasenya. Sebagaimana visi produser sejak membiayai pembuatan Johnny English (2003) dan Johnny English Reborn (2011), nikmatilah cara Rowan Atkinson mempersembahkan komedi.
Jejak Rowan di dunia hiburan merentang sepanjang hampir empat dekade. Sebelum dikenal dunia sebagai Mr. Bean, ia kenyang dengan dunia teater dan monolog komedi. Kariernya di dunia pertelevisian mulai diperhitungkan saat membintangi Not the Nine O’Clock News di BBC.
Nama Rowan makin melejit saat menjadi bintang sekaligus penulis skenario serial sitkom The Black Addder. Sepanjang dekade 1980-an Black Adder dibuat beberapa sekuelnya dan menjadi acara komedi paling sukses BBC.
Mr. Bean lahir pada dekade setelahnya, dan segera menarik perhatian dunia. Pertama kali ditayangkan pada tahun baru 1990 di Thames Television, serial sepanjang 15 episode itu digemari warga dunia karena Mr. Bean menyuguhkan humor non-verbal yang lucu secara universal.
Royalti Mr. Bean terjual di 245 teritori di seluruh dunia, mendapat banyak penghargaan, hingga direka ulang dalam serial animasi hingga ke layar lebar. Rowan Atkinson sangat lekat dengan sosok Mr. Bean sampai namanya lebih dikenal sebagai Mr. Bean ketimbang Rowan Atkinson.
Sebagian orang menganggap fenomena itu sebagai penanda bahwa Rowan berhasil menciptakan dan membawakan karakter yang orisinil.
Namun ada juga yang menganggapnya sebagai kutukan sebab Rowan akan kesulitan saat ingin tampil dengan karakter baru. Artinya, mau memerankan karakter apapun, Rowan akan tetap dianggap sebagai Mr. Bean.
Agaknya Rowan tidak ambil pusing. Pasalnya Mr. Bean bukan lahir dari ruang hampa, melainkan dari penjajakan serta filosofi yang matang selama Rowan aktif di klub teater di Oxford University.
Kariernya setelah Mr. Bean tamat membuktikan hal itu. Terlepas dari lekatnya sosok Mr. Bean pada Rowan, orang juga selalu mengasosiasikan dirinya dengan kemampuan kejeniusan mengolah komedi “slapstick”.
Istilahnya dalam bahasa Inggris adalah “physical comedy”. Rowan jago menampilkan komedi secara visual, alih-alih verbal, sehingga kerap dibandingkan dengan komedian legendaris seperti Buster Keaton.
Awalnya ia diragukan banyak orang. Produser Not the Nine O’Clock News, misalnya, menganggap apa yang direncanakannya dalam skenario tidak akan lucu.
Saat itu, untuk kepentingan sebuah sketsa, Rowan ingin tampil sebagai pejalan kaki biasa yang tahu bahwa dirinya disorot kamera dari kejauhan, berpose malu-malu, lalu tiba-tiba menabrak pohon.
Rowan berhasil mempersuasi sang produser untuk merekamnya. Dan ia benar. Meski di imajinasi nampak garing, Rowan terlihat lucu dalam sketsa tersebut. Jika Anda menontonnya di Youtube, besar kemungkinan akan terlintas di kepala: “itulah momentum kelahiran Mr. Bean”.
Analis menyebut sketsa tersebut sebagai karya yang sederhana, namun brilian. Mengapa bisa demikian? Dalam satu wawancara, Rowan pernah menjawab kata kuncinya adalah “sikap”.
Anda mungkin memperhatikan bahwa konten-konten komedinya biasa saja. Tidak ada “punchline” yang istimewa. Hal ini bahkan sudah terlihat sejak ia bermain monolog di panggung-panggung teater .
Rowan tahu akan hal itu. Oleh karenanya, ia mencoba jadi ahli lain jika ingin bertahan di dunia komedi, yakni ahli dalam menyampaikan lelucon. Keahlian itu ia bangun dari akting yang matang, dari kepiawaian mengolah ekspresi wajah hingga dijuluki “si muka karet”, sampai pintar menciptakan gesture yang orisinil
Komedi punya elemen kejutan. Rowan membungkusnya lewat sikap dalam karakter orang normal, namun melakukan hal-hal yang konyol, yang absurd, yang menjauhi kenormalan itu sendiri.
Dengan demikian, Rowan sebenarnya sedang melakukan komedi kepribadian. Ia tidak melakukan hal-hal lucu, tapi ia melakukan hal-hal normal dengan cara yang lucu. Lelucon tidak keluar dari mulutnya (semata), sebab karakter yang ia mainkan adalah lelucon itu sendiri.
Anda tidak akan menemukan kelucuan dalam dialog yang dibawakan oleh Johnny English. Kelucuan itu akan Anda temukan dalam karakter Johnny sendiri.
Bayangkan saja, segala hal yang dilakukannya sukses mematahkan citra agen rahasia Inggris yang selama ini mewujud secara elegan dan sempurna dalam karakter James Bond. Bond selalu taktis sekaligus efektif, sehingga misi sekompleks apapun bisa ia selesaikan dengan mudah.
Di sisi seberang, Johnny ceroboh. Ia cenderung bodoh, sebab hampir semua inisiatif berasal dari Bough. Sejak film pertama ia menampilkan diri sebagai agen rahasia yang sok-sok keren namun ujung-ujungnya ditimpa sial atau celaka. Seluruhnya masih dalam balutan “slapstick” yang khas Rowan.
Pertanyaanya, setelah hampir satu dekade lepas dari karakter Mr. Bean, apakah Rowan masih lucu di Johnny English Strikes Again? Secara mengejutkan, ya, dia masih cukup lucu. Saya pun tak menduga akan ikut tertawa bersama penonton lain di Bioskop 21 Pejaten Village, Kamis (27/9/2018) malam.
Kami tertawa saat Johnny secara tak sengaja mengaktifkan kapal karet di dalam mobil, saat ia mendadak tuli usai berusaha kabur dari penjara dengan menggunakan korek kuping lalu dimarahi Bough karena berbicara terlalu kencang di markas musuh, atau sesederhana gagal kabur karena salah perhitungan soal lebar tepian kapal.
Kualitas komedi di film ini dan di dua film Johnny English sebelumnya tentu kalah jauh dibandingkan peforma Rowan di Mr. Bean. Apalagi jika dibandingkan dengan performa monolog atau pertunjukan komedi “slapstick”nya di panggung teater.
Tapi kehadirannya di Johnny English Strikes Again ini cukup untuk mengobati rasa rindu kepada sosok Mr. Bean—sekaligus mengalihkan sejenak perihal kisah spionasenya yang sesungguhnya sampah belaka.
Editor: Windu Jusuf