tirto.id - Sebagai novel yang mencapai status best-seller, Travelers' Tale, Belok Kanan: Barcelona! berpeluang besar untuk difilmkan. Pundi-pundi dari royalti serta popularitas penulis sudah terbayang di depan mata. Namun, saat tawaran itu benar-benar datang, penulis novel justru ragu serta pesimistis.
Antara melaporkan penyebabnya adalah bujet besar yang harus disiapkan oleh produser. Maklum saja, inti cerita novel adalah petualangan empat sahabat dari berbagai negara (Vietnam, Denmark, dan Afrika Selatan) menuju Barcelona, Spanyol.
“Jadi bukan hanya rekan media saja yang menanyakan itu (bujet), namun juga penulisnya yang menilainya akan mustahil,” kata aktor Ananta Rispo mewakili produser saat promo film di Makassar, Sabtu (15/9/2018).
Ananta menambahkan, produser film harus berpikir berulang kali sebelum akhirnya mengambil keputusan berani itu. Selain status novel sebagai best-seller, produser juga antusias dengan atmosfer perfilman tanah air belakangan ini.
Aktor-aktris muda nan rupawan kemudian direkrut. Morgan Oey berperan sebagai Francis, Mikha Tambayong sebagai Retno, Anggika Bolsterli sebagai Farah, dan Deva Mahendra sebagai Ucup.
Keempatnya adalah sahabat dekat sejak SMA. Francis anak pindahan yang terakhir masuk geng, akan tetapi pesonanya segera menarik perhatian Farah. Francis adalah paket lengkap: ganteng, sedang meniti karier sebagai pianis kelas dunia pula.
Francis piawai meracik nada, dan menyelami inspirasi dari berbagai sumber, termasuk dari kebahagiaannya saat bersama Retno. Cinta Francis sebenarnya tak bertepuk sebelah tangan. Namun, baik Francis maupun Retno tidak pernah saling mengungkap rasa.
Retno galau luar biasa sejak dinasihati oleh orang tuanya bahwa hubungan yang akan dijalani dengan Francis akan berat mengingat keduanya beda agama. Francis akhirnya kecewa berat saat ditolak Retno, meski ia tahu bahwa Retno sebenarnya punya rasa untuknya.
Farah, yang seakan meneladani Retno, juga memilih untuk memendam rasa. Persahabatannya dengan Retno terlalu berharga untuk dirusak oleh hubungan percintaan ala remaja.
Ucup adalah karakter paling humoris. Ia melengkapi romansa di film ini dengan menyukai Farah sejak SMA. Lagi-lagi, ia juga hanya memendam perasaan itu hingga akhir masa studi.
Setelah lulus, mereka menjalani kehidupan yang terbilang mapan di negeri orang. Karier Francis moncer sebagai pianis kelas dunia, terutama sejak menang Grammy Award di Amerika Serikat. Ia menggandeng tunangan bule yang cinta mati tapi cemburuan jika Francis menyinggung-nyinggung Retno. Seperti orang yang belum move on, katanya.
Retno belajar jadi juru masak di Kopenhagen, Denmark. Hobi mengolah makanan sudah ia tekuni sejak kecil. Saat SMA ia sering membikin rendang untuk Francis atau masak kue bareng Farah.
Farah mengejar cita-citanya sebagai arsitek dengan mencari pekerjaan hingga ke Vietnam. Ia masih sering berkomunikasi dengan Ucup via video call. Ucup sendiri merantau hingga ke Afrika Selatan demi membiaya kuliah adiknya.
Pada suatu hari, Retno, Farah, dan Ucup menerima kabar mengejutkan: di sela-sela konsernya di Barcelona, Francis akan melangsungkan pernikahan dengan sang tunangan. Retno galau, demikian juga Farah.
Retno akhirnya memutuskan untuk datang ke Barcelona pada satu hari sebelum hari H untuk menyatakan perasaannya ke Francis sekaligus menyampaikan ucapan perpisahan.
Farah yang mengetahui hal ini mendadak cemas, kemudian ikut pergi ke Barcelona di sela-sela kunjungan risetnya ke Wina dan Budapest. Ucup pun takut kehilangan Farah, lalu nekad berangkat ke Barcelona meski sedang berada dilanda kerusuhan massal di Pantai Gading.
Drama-percintaan Belok Kanan Barcelona tidaklah istimewa. Cinta segi empat seperti biasanya. Dilema cinta versus persahabatan pada umumnya. Jualan utama film yang disutradarai oleh Guntur Soehardjanto ini memang bukan ke situ, melainkan lokasi syuting yang ia jajaki hingga ke empat benua.
Belok Kanan Barcelona pada akhirnya mirip film televisi alias FTV: roman picisan yang berlokasi di tempat-tempat wisata terkemuka. Lebih hiperbolisnya lagi: iklan pariwisata yang disponsori Uni Eropa.
Anda seharusnya sudah akrab dengan ilustrasi berikut.
Ada dinamika cinta antara dua insan (atau lebih), antara yang urban dan yang ndeso, di tempat-tempat yang eksotis di Indonesia. Di pinggiran Jakarta untuk mewakili nuansa Betawi, di Bandung untuk yang Sunda, Yogyakarta sebagai representasi Jawa, atau Denpasar untuk menangkap aura khas Bali.
Itulah rumus FTV. Belok Kanan Barcelona mengembangkannya ke skala internasional. Mereka memamerkan kehangatan Kopenhagen saat Retno berangkat kerja, gersangnya gurun Afrika saat Ucup berupaya mencapai Maroko, atau objek-objek populer di Wina yang dikunjungi Farah.
Eifel I’m In Love (2003) bisa dibilang film Indonesia pertama yang mempopulerkan genre syuting di luar negeri pasca-Reformasi. Belakangan film sejenis makin sering muncul di bioskop. Habibie dan Ainun (2013), Negeri van Oranje (2015), Ayat-Ayat Cinta 2 (2017), atau Si Doel The Movie (2018).
Beberapa di antaranya adalah karya Guntur sendiri. Anda bisa menebak lokasi syuting sedari judul: 99 Cahaya di Langit Eropa 1 dan 2 (2013-2014), Assalamualaikum Beijing (2014), atau Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea (2016).
Ulasan-ulasannya sering diakhiri dengan ajakan menonton ke bioskop untuk “memanjakan mata”. Tapi saya curiga film-film itu sejatinya disenangi karena penonton merasa terwakili oleh jalan-jalannya para aktor di luar negeri.
Sekali lagi, sebab mirip dengan iklan pariwisata, objek-objek ikonik yang ditampilkan juga mesti yang paling indah.
Misalnya, jika di FTV para pemerannya bersenggolan di samping Tugu Jogja, keempat pemeran Belok Kanan Barcelona melakukan pertemuan di La Rambla. Francis dan Retno juga ketemuan ke area stadion Barcelona FC Camp Nou, lalu jalan-jalan lokasi-lokasi legendaris di seantero Barcelona.
Belok Kanan Barcelona tidak melupakan unsur humor. Kebanyakan ditunjukkan oleh tingkah Ucup atau celetukan para komedian stand-up sebagai pemain pendukung. Rata-rata slapstick, kerap berakhir garing, dan banyak yang tidak ada hubungannya dengan cerita utama.
Tipe humor yang demikian, yang dibawakan oleh (stand-up) komedian itu-itu melulu, hampir selalu diselipkan dalam film Indonesia kekinian. Pertanyaannya: mengapa? Apakah bagi produser berpikir bahwa sebuah karya layar lebar tak mampu menarik penonton tanpa humor maca itu?
Sebagai sebuah tren, faktor pemicu pertumbuhan film berlatar luar negeri bisa bermacam-macam. Misalnya karena jumlah kelas menengah yang semakin gemuk belasan tahun terakhir. Mungkin juga lantaran laris-manisnya buku-buku tentang traveling, boom industri pariwisata, tiket pesawat yang semakin kompetitif, dan kian banyaknya mahasiswa yang kuliah di luar negeri. Entah mana yang duluan.
Barangkali kota-kota di Indonesia juga terlalu sedikit yang dipandang bagus oleh mata kamera, atau karena kota-kota itu terlanjur lekat dengan citra FTV.
Toh, jika ada produser yang mau menggelontorkan duit berlimpah untuk kepentingan syuting di negara maju, mengapa tidak? Bukan kah vlogger-vlogger seperti Gita Savitri selalu kebanjiran penonton saat merilis konten jalan-jalan di negara tempat mereka tinggal?
Satu hal yang pasti: sebagaimana kuliah di luar negeri tidak menjamin lulusannya lebih intelek, syuting di luar negeri tidak otomatis membuat filmnya lebih bermutu.
Editor: Windu Jusuf