Perang Suriah memicu perdebatan, masing-masing memperjuangkan “analisis” dan kesimpulan sendiri, sembari memandangi gambar mayat anak-anak tak ubahnya burung pemakan bangkai.
ISIS mulai tersudut menyusul adanya gempuran dari koalisi pasukan Irak dan Turki terhadap dua basis pertahanannya di Irak dan Suriah. Namun serangan pasukan itu mengalami hambatan karena kehadiran penduduk.
11 desa di wilayah Mosul sukses dibebaskan oleh pasukan keamanan Irak dari kendali kelompok militan ISIS pada Minggu (30/10/2016). Unit paramiliter Hashd Shaabi melanjutkan operasi yang mereka lancarkan pada Sabtu (29/10/2016) untuk maju di area luas di wilayah barat daya Mosul menuju kota Tal Afar, sekitar 70 kilometer barat Mosul.
Sebanyak 53 warga negara Indonesia (WNI) yang mendukung jaringan terorisme ISIS di Suriah dan Irak dikabarkan telah kembali ke Indonesia. Pemerintah tengah melakukan deradikalisasi kepada mereka untuk menghilangkan paham yang membuat mereka mendukung terorisme.
Para ekstremis anggota kelompok ISIS dikabarkan tidak lagi menunjukkan identitas mencolok mereka dengan mencukur jenggot dan mengganti pakaian mereka. Penyamaran itu mereka lakukan setelah pasukan Irak terus mendesak mendekati kota Mosul pada Rabu (26/10).
Indeks Kedermawaan Global CAF 2016 menempatkan Irak di posisi teratas sebagai negara dengan orang-orang paling murah hati terhadap orang asing meski sedang dikoyak-koyak perang sipil. Sedangkan Myanmar didaulat sebagai negara yang paling gemar berderma walaupun baru saja lepas dari kediktatoran militer. Ada apa di belakang itu semua?
Pasukan keamanan Irak pada Selasa (25/10) merebut kembali Kota Rutba di bagian barat negeri itu, yang dua hari sebelumnya diserang oleh ISIS menurut para pejabat.
Di saat perhatian orang tertuju pada Mosul, ISIS secara mengejutkan menggerakan sel-sel tidur mereka di kota-kota yang sudah mereka tinggalkan seperti Tikrit, Kirkuk, Ramadi, Bayji, dan Rutbah. Alhasil kepanikan pun dialami pasukan koalisi.
Meski keterlibatan Turki tak disepakati pemerintahan Irak, militer Turki tetap ikut menggempur pasukan ISIS. Ahad (23/10) lalu, Perdana Menteri Turki Binali Yildirim mengabarkan bahwa pasukannya telah menggempur ISIS di Irak Utara.
Pasukan Irak hari ini Sabtu (22/10/2016) dikabarkan telah menguasai sebuah kota berpenduduk mayoritas Kristen yang diduduki ISIS sejak 2014 silam. Operasi besar yang mendapat dukungan militer Amerika Serikat (AS) tersebut merupakan upaya membuka pintu masuk ke kota Mosul, kota besar terakhir di Irak yang masih diduduki ISIS.
Irak menyebutnya invasi. Turki berdalih tindakannya sebagai upaya menjaga diri. Banyak kepentingan terjadi di Mosul. Penguasa baru di Mosul akan menentukan langkah konflik di Timur Tengah ke depannya seperti apa.
“Cakap besar” adalah padanan yang cocok dilekatkan pada pasukan Irak. Mereka selalu sesumbar bahwa mengambil kembali kota-kota yang direbut ISIS akan berjalan mudah. Kenyataannya tentu tidak. Rencana perang jangka pendek malah berbuntut panjang. Coba saja tengok saat operasi perebutan Tikrit, Falujjah dan Ramadi, Irak sangat kewalahan. Di Mosul, hal itu akan kembali terulang.
Perdana Menteri Irak telah menyatakan dalam siaran televisi Iraqiya, bahwa pihaknya akan merebut kembali Kota Mosul dari ISIS dalam operasi militer. Namun, keterlibatan pasukan dalam serangan di Mosul ini masih menimbulkan perdebatan dengan sekutu Irak, Turki.
Ini adalah kisah bangsa tanpa negara, Kurdi. Mereka tak memiliki wilayah yang berdaulat. Wilayah yang mereka sebut sebagai Kurdistan bukanlah sebuah negara resmi yang diakui dunia.
Irak telah mengeksekusi 22 orang yang dihukum atas dakwaan terorisme dan kejahatan lain dalam satu bulan terakhir. Di lain pihak, negara tersebut sebenarnya telah mendapat gempuran kritik dari berbagai pihak yang menilai bahwa sistem peradilan yang cacat di negara tersebut membuat mereka yang dieksekusi tidak selalu bersalah atas kejahatan yang membuat mereka dijatuhi hukuman mati.
Paus Fransiskus mengkritik negara-negara Barat yang bersikap egois dengan memaksakan demokrasi ala mereka terhadap negara seperti Irak dan Libya. Memaksakan nilai-nilai demokrasi itu tanpa menghormati budaya politik setempat menjadi salah satu penyebab tumbuh suburnya ekstremisme dan radikalisme di kedua negara tersebut. Paus juga pernah mengecam aksi Eropa terkait responsnya terhadap arus masuk migran yang lari dari perang dan kemiskinan di Timur Tengah dan Afrika.