tirto.id - Nadia Murad Taha tak mampu menyebunyikan kegetiran dan trauma saat berbicara untuk kesekian kalinya di depan anggota Dewan Keamanan (DK) PBB pada Rabu (16/3/2016) silam. Perempuan 22 tahun itu bertutur dengan terbata-bata di depan panel tentang kekerasan seksual yang dialami banyak perempuan Irak, termasuk dirinya selama negara tersebut berkonflik melawan ISIS.
Nadia diculik ISIS pada Agustus 2014 dari desanya di utara Irak dan dibawa ke Mosul bersama 150 keluarga Yazidi lain. “Di sebuah gedung, aku bertemu ribuan keluarga Yazidi dan anak-anak. Mereka diperlakukan layaknya barang, dijadikan alat tukar," ungkap Nadia di depan 15 anggota DK PBB sebagaimana dikutip oleh The Telegraph.
Apa yang terjadi selanjutnya adalah neraka bagi Nadia: ia dijadikan budak seks oleh para milisi ISIS, digilir oleh lebih dari 10 pria tiap harinya. Ia juga menjadi saksi atas perempuan dan anak-anak Yazidi lain yang dipaksa berhubungan intim dengan lebih dari 20 hingga 30 pria dalam sehari. Nadia diperlakukan dengan tak manusiawi selama tiga bulan. Beruntung, ia kemudian berhasil kabur dan mencari perlindungan di Jerman.
Belajar dari pengalaman buruk itu, Nadia berjanji akan memperjuangkan kurang lebih 3.000 perempuan baik anak-anak maupun dewasa yang masih terbelenggu dalam cengkraman ISIS. Zainab Hawa Bangura, utusan sekretaris PBB untuk urusan kekerasan seks dalam konflik mengatakan bahwa perempuan adalah korban yang paling terdampak dalam setiap peperangan dan jarang dianggap korban dari konflik.
Nadia sadar betul akan hal itu. “Saya akan terus berjuang, karena kami semua tak bakal punya masa depan selama ISIS masih ada," tegasnya.
Nadia adalah wajah Irak hari ini. Ia bersama warga lain berubah menjadi pejuang kemanusiaan yang gigih sebab tak mau warga lain mengalami tragedi yang serupa. Mereka sudah kenyang makan perang.
Perjuangan mengembalikan martabat kemanusiaan itu juga tak eksklusif. Nadia, contohnya, tak berkata bahwa ia akan menolong orang Yazidi saja, tetapi semua orang Irak yang menjadi korban kekejaman ISIS. Kaum Yazidi memang salah satu minoritas yang paling menderita. Tapi Nadia paham bahwa saat kekejian itu terjadi di depan matanya, sang pelaku tak peduli si korban dari golongan mana.
Semangat yang serupa dari warga Irak lainnya terbukti dengan rilis Indeks Kedermawaan Global 2016 oleh Yayasan Bantuan Amal (CAF). Irak menempati di posisi teratas sebagai negara dengan orang-orang paling murah hati terhadap orang asing. Menurut indeks ini, 81 persen orang Irak tulus menolong orang yang tidak dikenalnya. Prestasi tersebut adalah pengulangan atas pencapaian Irak dari indeks di tahun-tahun sebelumnya. Pencapaian di tahun 2016 ini adalah untuk yang kedua kalinya.
“Saya kira pelajaran dari sini adalah masyarakat di negara yang bersangkutan bersikap luar biasa tabah dan bukti bahwa bencana-bencana skala besar cenderung mengaktifkan tanggapan kemanusiaan kolektif," ungkap Adam Pickering selaku manajer kebijakan internasional CAF kepada Reuters.
Pernyataan Adam dikuatkan dengan posisi Libya yang berada satu tingkat di bawah Irak. Negara di utara benua Afrika yang juga kenyang akan konflik selama revolusi menggulingkan kediktatoran Muammar al-Qaddafi itu memiliki 79 persen masyarakatnya yang rajin bermurah hati kepada orang asing.
Negara rawan konflik lain, Somalia, berada di urutan keempat dengan persentase masyarakat murah hatinya sebesar 77 persen. Berturut-turut di bawahnya baru dihuni oleh sejumlah negara yang relatif lebih stabil, antara lain Uni Emirat Arab (75 persen), Malawi (74 persen), Botswana (73 persen), Sierra Leone (73 persen), Amerika Serikat (73 persen), dan Arab Saudi (73 persen).
Sebagaimana tertuang dalam laporan CAF, perang sipil yang menyelimuti Irak selama bertahun-tahun tak berhasil untuk meruntuhkan warisan atas semangat tolong-menolong dan pemberian bantuan secara informal yang sudah mengakar di masyarakatnya.
“Serupa dengan kondisi di Libya, yang terakhir disurvei pada tahun 2012 lalu di saat Arab Spring sedang menyeruak di kalangan masyarakat tingkat akar rumput, di tahun ini ada peningkatan poin sebesar tujuh persen. Sebuah hal yang mengagumkan mengingat latar belakang masyarakatnya juga masih dibayang-bayangi perang sipil.”
Lebih lanjut, perbaikan kondisi di Irak maupun Libya dalam konteks saling tolong menolong meski kepada orang asing memberikan jaminan kemanan yang lebih tinggi. Masyarakat sipil di kedua negara itu memang rapuh, namun kebutuhan akan rasa aman kemudian menjadikan mereka lebih berani dan responsif dalam menghadapi situasi yang ada. Rasa empati dan simpati yang besar membuat sekat-sekat SARA itu tertembus dengan mudah.
Semangat Welas Asih Budha
Laporan CAF 2016 juga mengungkap fakta unik lain. Myanmar sekali lagi memuncaki posisi Indeks Kedermawaan Global sebagai negara paling gemar memberikan bantuan amal. Prestasi ini juga ditorehkan Myanmar pada tahun 2015 dan di tahun 2014. Tahun ini, skor Myanmar juga yang tertinggi selama lima tahun terakhir, yakni mencapai 70 persen. Dalam perbandingan, 9 dari 10 orang Myanmar yang disurvei bulan lalu mengatakan telah beramal.
Bagaimana bisa sebuah negara yang baru saja merdeka dari kungkungan diktator militer serta isolasi dunia luar, dipenuhi konflik etnis, rutin melanggar hak asasi warganya, pembangunan amat minim, dan berada di garis kemiskinan bisa menjadi langganan negara paling dermawan sedunia?
Sebagaimana dalam amatan CAF, masyarakat Myanmar memiliki karakteristik kuat sejak lama. Kurang lebih 80-90 persen warga Myanmar mempraktikkan laku hidup Budha dimana 99 persennya mengikuti aliran Theravada. Sesuai filosofi Theravada, pengikutnya rajin menyumbang donasi untuk orang-orang dengan gaya hidup monastik atau yang dikenal dengan kaum Sangha Dana. Menyumbang dalam motivasi ala pengikut Theravada beriringan dengan makna relijiusitas dan didorong pula oleh norma kedermawanan yang menjadi wajib diterapkan oleh masyarakat Myanmar.
Ada faktor lain yang membuat Myanamar tak hanya memuncaki posisi indeks CAF tapi juga meningkatkan jumlah sumbangan, yakni optimisme atas masa depan politik Myanmar. Bulan November tahun lalu, Myanmar sukses menyelenggarakan pemilihan umum secara demokratis dan dua tahun sebelumnya berhasil menumbangkan kediktatoran militer yang telah berkuasa selama 50 tahun.
Lisa Grinham, CEO CAF Australia, berkata pada Devex bahwa prestasi Myanmar menunjukkan bahwa tingkat kekayaan masyarakat yang tinggi di sebuah negara bukanlah jaminan atas tingginya sikap dermawan warganya. Ia menekankan bahwa hanya ada lima negara anggota G-20 yang menghuni posisi 20 besar Indeks Kedermawaan Global 2016. 11 negara G-20 tak masuk 50 besar, dan ada tiga anggota G-20 yang bahkan tak masuk 100 besar.
Selaras dengan temuan CAF, Grinham berkata bahwa fenomena di Myanmar menjadi bukti bahwa sikap dermawan bukan sekedar melimpahkan kelegihan harta kepada kaum papa. Ini tentang komitmen seseorang, terlepas dari kondisi finansialnya, untuk membantu orang lain dalam menjalani hidup yang lebih baik.
Di Myanmar, ada kurang 500.000 biksu yang biasa menggantungkan hidupnya dari kedermawanan warga. Jumlah biksu di Myanmar menjadi yang terbanyak diantara negara-negara lain di dunia.
Bagi Grinham, kedermawanan di sebuah negara bisa dipengaruhi oleh banyak faktor. Merentang dari variabel politik, kultural, dan ekonomi, baik secara makro maupun mikro. Namun, bagi warga Myanmar, kedermawanan itu muncul atas dorongan ingin membantu mereka yang patut diberi sebagian dari penghasilan kerja mereka. Sesederhana itu saja. Tak lebih.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti