tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan uji materi Undang-Undang (UU) Administrasi Kependudukan terkait pengosongan kolom agama. Putusan MK yang final dan mengikat itu akan dilaksanakan Kemendagri sehingga aliran kepercayaan tiap warga negara dapat dicantumkan pada kolom Agama di e-KTP.
“Kemendagri melalui Ditjen Dukcapil akan memasukan kepercayaan tersebut ke dalam sistem administrasi kependudukan,” terang Mendagri Tjahjo Kumolo melalui rilis pers yang diterima Tirto, Selasa (7/11/2017).
Untuk mendapatkan data kepercayaan yang ada di Indonesia, Tjahjo melanjutkan, Kemendagri akan berkoordinasi dengan Kementerian Agama serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Setelah data kepercayaan kami peroleh, Kemendagri memperbaiki aplikasi SIAK dan database serta melakukan sosialisasi ke seluruh Indonesia atau 514 kabupaten/ kota,” papar Tjahjo.
Tjahjo juga akan mengajukan usulan perubahan kedua UU Administrasi Kependudukan untuk mengakomodasi putusan MK yang dimaksud.
Hari ini, MK telah mengeluarkan putusan yang menyatakan kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai termasuk "kepercayaan".
MK juga menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) Undang-undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” demikian bunyi salinan amar putusan yang dibacakan Ketua MK Arief Hidayat, di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Selasa.
Sebelum putusan MK dikeluarkan, UU Administrasi Kependudukan mengharuskan pengosongan kolom agama bagi para penganut agama yang belum diakui perundangan atau penghayat kepercayaan.
“Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan,” demikian bunyi pasal 61 ayat (2).
Akibat kolom agama yang kosong tersebut, penganut aliran kepercayaan sering mendapatkan diskriminasi. Berdasarkan hasil penelitian Wahid Foundation, mereka biasanya mendapat perlakuan diskriminatif dalam pekerjaan dan pencatatan pernikahan.
“Misalkan ada anggota komunitas aliran kepercayaan gagal menjadi tentara karena kosong di kolom agamanya. Sedangkan atasannya menyatakan harus diisi,” kata peneliti Wahid Foundation, Alamsyah M Djafar kepada Tirto, Jumat (25/8/2017).
Dalam konteks ini, menurut Alamsyah, pada dasarnya pemerintah tidak berhak untuk membuat kategorisasi agama resmi dan tidak resmi. Menurutnya, hal itu merupakan kewenangan pemeluk dari agama dan kepercayaan masing-masing.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari