tirto.id - Pemda dan Suku Papua akan mendapat jatah saham Freeport Indonesia sejumlah 5 persen dari divestasi 51 persen, bila proses negosiasi pemerintah pusat dengan perusahaan tambang itu berhasil. Jatah saham 5 persen itu bukan dalam bentuk deviden.
"Lima persen itu kita tidak mau itu dilusi. Jadi kami pikir, nanti dari dividennya kita bayar lima persennya itu. Pasti kami lindungi lah, itu rakyat kita juga," kata Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan di acara Coffee Morning di Jakarta, Jumat (24/3/2017).
Menurut Luhut, Presiden Joko Widodo telah menyetujui besaran saham yang akan diterima oleh Papua. Karena itu, ia meminta agar dividen itu diperuntukan bagi kepentingan masyarakat Papua. Angka itu dinilai cukup besar untuk membiayai program pendidikan, pertanian, peternakan di Papua.
“Jadi kita tata lagi supaya betul-betul dampak kehadiran Freeport di Papua bisa dirasakan rakyat," ujar Luhut.
Untuk mewujudkan rencana itu sampai saat ini pemerintah masih berupaya menegosiasikan dengan Freeport Indonesia. Menurut Luhut, pemerintah masih bersikukuh pada tiga poin utama yakni divestasi 51 persen, pembangunan smelter, dan aturan pajak.
Pemerintah merancang dengan pembagian 51:49 itu ke depan Freeport akan dikelola secara joint management dengan Indonesia sebagai pemimpin. Luhut mencontohkan misalnya Direktur Operasi yang memimpin Freeport, tapi wakilnya dari Indonesia. Direktur Keuangan yang memimpin Indonesia. CEO-nya juga Indonesia. “Kira-kira seperti itulah perusahaan yang profesional," kata Luhut.
Untuk urusan pajak, Luhut mengaku pemerintah tengah membahas aturan itu. "Kalau dia (Freeport) mau 'nail down' (tetap), 42 persen dia bayar pajak 'all the way', ya bayarlah itu. Padahal kan pajak kita cenderung menurun. Ini sekarang sedang dibahas," jelas Luhut.
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, memperpanjang pelaksanaan ekspor konsentrat dengan sejumlah syarat, yakni pemegang KK harus beralih operasi menjadi perusahaan IUP (izin usaha pertambangan) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) serta membuat pernyataan kesediaan membangun smelter dalam jangka waktu 5 tahun. Syarat lain adalah kewajiban divestasi hingga 51 persen.
Pemerintah menyodorkan perubahan status PT FI dari sebelumnya kontrak karya (KK) menjadi IUPK agar bisa tetap melanjutkan operasi di Indonesia.
Sementara itu, Freeport bersikeras tidak dapat melepaskan hak-hak hukum yang diberikan dalam KK 1991.
Lantaran tidak ingin beralih status menjadi IUPK dan bersikukuh mempertahankan status KK, Freeport hingga saat ini menghentikan aktivitas produksi sehingga menyebabkan relatif banyak karyawan yang dirumahkan dan diberhentikan.
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH