Menuju konten utama

Pukat UGM: KPK Perlu Ajukan PK dalam Perkara Syafruddin

Pengajuan peninjauan kembali perkara Syafruddin perlu dilakukan karena putusan etik hakim adhoc Mahkamah Agung Syamsul Rakan Chaniago menyatakan ada pertemuan antara kuasa hukum Syafruddin dengan Syamsul.

Pukat UGM: KPK Perlu Ajukan PK dalam Perkara Syafruddin
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung meninggalkan Rutan Kelas 1 Jakarta Timur Cabang Rutan KPK, Jakarta, Selasa (9/7/2019). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/wsj.

tirto.id - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM Zaenur Rohman berpendapat, KPK perlu mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan kasasi yang membebaskan terdakwa kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) Syafruddin Arsyad Tumenggung.

Pengajuan PK penting dilakukan sebagai respons putusan etik Mahkamah Agung Syamsul Rakan Chaniago. Sebab, pertemuan Syamsul dengan Ahmad Yani berpotensi memengaruhi putusan perkara Syafruddin.

"Karena itu, demi hukum, KPK pikirkan untuk PK," ujarnya kepada Tirto, Minggu (29/9/2019).

Mahkamah Agung sebelumnya memvonis hakim adhoc Mahkamah Agung Syamsul Rakan Chaniago dengan hukuman non-palu selama 6 bulan. Syamsul terbukti bersalah secara etik karena tidak menghapus namanya di kantor advokat dan bertemu dengan Ahmad Yani, pengacara terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung.

Pertemuan antara Syamsul dan Ahmad dilakukan sebelum vonis Syafruddin. Syamsul yang merupakan hakim anggota dalam perkara tersebut, kemudian berpendapat Syafruddin tidak bisa dipidana karena kasus mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu masuk ranah perdata.

Zaenur paham Mahkamah Konstitusi (MK) sudah melarang Jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali. Sebagai informasi, MK pernah memutus uji materi Pasal 263 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada 2016 silam.

Dalam putusan tersebut, hakim berpendapat jaksa tidak bisa mengajukan peninjauan kembali. Namun, Zaenur beranggapan, PK harus dilakukan demi kepastian hukum.

"Dalam kondisi seperti adanya pelanggaran etik oleh Hakim, maka demi hukum Jaksa perlu mempertimbangkan untuk PK," ujarnya.

Syafruddin sebelumnya merupakan terdakwa kasus korupsi SKL BLBI. KPK mendakwa Syafruddin telah merugikan negara Rp4,58 triliun. Kerugian itu terkait dengan penerbitan SKL untuk pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim.

Perbuatan Syafruddin disebut menghilangkan hak tagih terhadap Sjamsul. Penerbitan SKL tersebut membuat pemerintah cuma menerima Rp220 miliar dari total penerimaan negara yang seharusnya mencapai Rp4,8 triliun.

Hakim pengadilan tingkat pertama mengabulkan dakwaan KPK. Hakim memvonis Syafruddin bersalah dan menghukum mantan Kepala BPPN itu 12 tahun penjara. Syafruddin kemudian mengajukan banding, tetapi hakim banding malah memperberat hukumannya 15 tahun penjara.

Syafruddin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada 9 Juli 2019, Mahkamah Agung memutuskan Syafruddin bebas. Namun, putusan disampaikan tidak bulat. Ketiga hakim mempunyai pandangan berbeda dalam memutus perkara Syafruddin.

Hakim Ketua, Salman Luthan menilai perbuatan Syafruddin termasuk pidana, hakim anggota I Syamsul Rakan Chaniago menilai perdata, sedangkan hakim anggota II Mohamad Askin menilai perbuatannya pidana dan perkaranya termasuk hukum administrasi. Para hakim sepakat menyatakan bersalah kepada Syafruddin. Akan tetapi Mahkamah Agung melepas Syafruddin setelah dua hakim memandang bukan perkara pidana.

Baca juga artikel terkait KORUPSI BLBI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Andrian Pratama Taher