Menuju konten utama

Publik Tak Butuh Polisi Baik yang Hanya Ada di Layar Kaca

Reality show soal polisi tidak benar-benar merepresentasikan kenyataan. Mereka hanya mewakili kenyataan yang menguntungkan aparat.

Publik Tak Butuh Polisi Baik yang Hanya Ada di Layar Kaca
Personel Polisi Lalu Lintas menghadang sepeda motor yang melintasi Jalan Layang Non-Tol (JLNT) Kampung Melayu-Tanah Abang di kawasan Casablanca, Jakarta, Selasa (6/3/18). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/kye/18.

tirto.id - Di dunia kuliner, ada istilah celebrity chef untuk menyebut mereka yang tidak lagi hanya pandai memasak tapi juga menggali popularitas di muka publik. Orang-orang itu antara lain Gordon Ramsay dan Juna Rorimpandey. Jika di institusi kepolisian ada sebutan serupa, maka yang akan mendapat panggilan itu tak lain adalah Aiptu Jakaria dan Aipda Monang Parlindungan Ambarita. Keduanya jauh lebih populer di media sosial dibanding penegak hukum lain.

Jakaria atau dikenal sebagai Jacklyn Choppers adalah anggota Banit 9 Unit 2 Subdit 4 Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Dia punya saluran Youtube sendiri dan ada 545 ribu akun yang tertarik dengan kegiatannya. Selain itu, Jacklyn juga menjadi tokoh penting di acara 'JATANRAS' yang ditayangkan NET TV. Sedangkan Ambarita merupakan anggota dari Banit 51 unit Dalmas Sat Sabhara yang biasa memimpin Tim Raimas Backbone Polres Metro Jakarta Timur. Dia menjadi tersohor setelah tampil dalam reality show 'The Police' di Trans7. Tim Raimas Backbone juga punya saluran Youtube mandiri yang per Kamis (21/10/2021) punya lebih dari 1,4 juta pengikut.

Acara reality show semacam ini dapat dilacak asal usulnya di Amerika Serikat. Pada 1988, serikat buruh pekerja kreatif di film dan televisi, Writers Guild of America, East (WGAE) dan Writers Guild of America, West (WGAW), mogok kerja. Mereka menuntut aturan pembagian hasil lebih adil bagi siapa pun yang naskah dan hasil kerjanya ditayangkan ulang–termasuk di luar negeri. Aksi ini tidak berlangsung satu atau dua hari, tapi sampai 153 hari atau lima bulan, dari Maret sampai Agustus, menjadikannya mogok kerja terlama sepanjang sejarah pekerja kreatif di AS–bahkan mungkin di dunia.

Tentu saja perusahaan televisi dan film kelabakan. David Letterman, pembawa acara 'The Late Show' yang tayang harian, harus memutar otak. “Kami tidak punya apa-apa untuk dikerjakan,” kata Letterman. “Tidak ada penulis naskah di sini.” Di depan penonton yang hadir di studio, Letterman kemudian mencukur rambutnya sendiri selama 55 menit ke depan.

Stasiun televisi CBS kemudian membuat program baru yakni '48 Hours'. Naskahnya tentu minim karena serial ini menguak tentang kasus-kasus kriminal yang terjadi. Semacam serial dokumenter karena dikerjakan oleh jurnalis.

Stasiun televisi Fox juga berburu bantuan. Mereka kemudian menemukan John Langley dan Malcolm Barbour yang membuat dokumenter tentang perdagangan narkotika 'Cocaine Blues' pada 1983. Langley dan Barbour kemudian menawarkan konsep serupa yang bintangnya adalah polisi sedang membekuk pelaku kejahatan. Langley menyebutnya sebagai raw reality. Fox setuju. “Beli empat [episode] acara itu,” kata Rupert Murdoch, pendiri Fox.

Acara yang diberi judul 'COPS' akhirnya tayang pada Maret 1989. Jutaan orang menontonnya selama berminggu-minggu. Fox mungkin tidak sadar bahwa salah satu momen depresi terbesar dalam dunia pertelevisian justru menuntun pada salah satu acara paling fenomenal dalam sejarah perusahaan.

“Jika Anda ingin tayangan yang memacu adrenalin, lupakan tentang tontonan misteri rumit yang dianggap sebagai thriller. Acara ini membawamu ke cerita nyata para polisi yang keberaniannya jarang kita lihat dan dengar,” kata Langley soal 'COPS'.

'COPS' sekarang sudah memasuki musim ke-33 dan tidak pernah berhenti lebih dari satu tahun sejak pertama kali dibeli oleh Fox. Total serialnya mencapai 1.109 episode.

Inilah awal kejayaan reality show tentang polisi.

Membangun Citra Polisi

Larisnya 'COPS' berjalan beriringan dengan kritik yang menyertainya. Acara itu dianggap mengglorifikasi kerja-kerja kasar polisi dan membentuk citra palsu polisi di mata masyarakat.

Aaron Doyle dalam buku Arresting Images: Crime and Policing in Front of the Television Camera (2017) menyatakan klaim raw reality dan reality show dalam acara-cara seperti itu meragukan. Sebagai acara televisi, tentu ada proses penyuntingan sebelum gambar dan suara yang direkam sampai ke mata dan telinga penonton. Doyle mengutip langsung Langley yang menyatakan sang produser sengaja mengambil bagian yang bisa mengikat penonton pada tayangan tersebut.

“Ungkapan ‘realitas fiksi’ menyampaikan poin cukup jelas bahwa COPS adalah realitas yang dikonstruksi dengan adanya bias, bukan benar-benar rekaman alami,” catat Doyle.

Apa yang dilakukan polisi di depan kamera, meski dikemas sealami mungkin, tetap saja menunjukkan sisi baik belaka. Pada kenyataannya, realitas tetap cacat, misalnya soal kesuksesan menangkap pelaku kejahatan. The Guardian menganalisa 846 episode dari 'COPS' dan mengumpulkan lebih dari 68 ribu data. Segala kejahatan dikategorikan, mulai dari kekerasan, narkotika, hingga pekerja seks. Data tersebut kemudian dibandingkan dengan catatan biro investigasi FBI.

Ada sekitar empat kali lipat jumlah kejahatan dengan kekerasan di tayangan 'COPS' daripada kenyataan, dan tiga kali lipat jumlah penangkapan pelaku kejahatan narkotika. Berdasarkan statistik tersebut, polisi dalam 'COPS' “sangat bagus dalam melakukan pekerjaannya.”

Singkatnya, simpul The Guardian, “dunia yang dikemas dalam 'COPS' tidak sesuai dengan dunia nyata.”

Langley sebenarnya telah membenarkan soal itu. Dalam sebuah wawancara dia mengenang bagaimana awal pembuatan serial ini. Dia memilih satu daerah di Florida bernama Broward karena dia pernah datang ke sana untuk mengambil gambar dan terutama mengenal kepala polisi daerah tersebut, Nick Navarro. Langley meminta izin kepada Navarro untuk merekam kerja-kerjanya untuk acara televisi. Langley memang menawarkan pengambilan gambar secara transparan, tapi, jika tidak suka, maka Navarro bisa memutuskan menghapusnya. Yang terpenting bagi Langley waktu itu adalah dia bisa mendapat akses.

“Kami tidak ingin menjelekkan polisi atau melakukan apa pun yang bisa mengacaukan satuanmu. Itu adalah satu-satunya cara kami menjalankan tayangan ini,” kata Langley.

Selain hanya menayangkan baik polisi, ada beberapa masalah lain dalam 'COPS', misalnya rasisme dan pelanggaran privasi.

The Marshall Project, salah satu lembaga ­jurnalisme nonprofit, menemukan lebih banyak orang kulit hitam yang menjadi pelaku dibandingkan orang kulit putih. “Citra yang dibangun berkali-kali adalah polisi kulit putih orang baik; orang kulit hitam penjahatnya,” catat John J. O' Connor, kontributor The New York Times.

Sementara soal pelanggaran privasi adalah tentang kesediaan para terduga pelaku kejahatan yang ditangkap tampil di televisi. Ada di antara mereka yang tidak setuju wajahnya tampil. Sebagian lagi menandatangani persetujuan tapi dalam tekanan: dikelilingi polisi dan diborgol, atau kadang masih dalam pengaruh obat-obatan.

Danel Ward adalah salah satunya. Dia dan pacarnya ditangkap di Gwinnet, Georgia pada 2013. Keduanya diperiksa dan dites positif menggunakan kokain. Waktu diminta untuk menandatangani persetujuan 'COPS' menampilkan wajahnya, Ward dalam situasi diborgol. Dalam kondisi itu, petugas juga menyatakan “mengonsumsi kokain atau tidak” mukanya tetap akan dipamerkan di televisi.

Selain itu, alat yang digunakan untuk mengidentifikasi Ward positif atau tidak sempat dikritik karena tidak akurat. Selain itu, petugas perlu dua kali melakukan tes sebelum akhirnya Ward dinyatakan positif. Berbulan-bulan kemudian, Ward terbukti negatif tapi dia telanjur jadi bahan tontonan masyarakat.

Contoh lain adalah David. Ia ditangkap karena narkotika. Dia menandatangani persetujuan wajahnya tayang di televisi saat keluar dari rumah sakit. David tidak mengingatnya sama sekali, tapi tanda tangannya sudah ada di kertas itu. David yang juga dalam percobaan bunuh diri itu seharusnya diberikan waktu enam jam agar mentalnya benar-benar pulih, tapi tanda tangan dilakukan hanya tiga jam setelah penangkapan. Polisi dan 'COPS' tidak peduli.

Selain 'COPS', AS punya suguhan lain yang serupa bernama 'LivePD' yang tayang sejak 2016. Di Indonesia, tayangan ini seperti 'Net 86' atau 'The Police'. Sama seperti 'COPS', tayangan ini juga bermasalah.

Suatu hari pada 2019, Javier Ambler, orang kulit hitam berumur 40 tahun, dianggap melanggar peraturan lalu lintas. Dia diberhentikan di wilayah Austin, Texas setelah pengejaran sekitar 20 menit. Ketika ditangkap, Ambler dibekuk dengan menggunakan senjata kejut. Saat terjerembap di tanah, Ambler mengaku punya riwayat gagal jantung dan tidak bisa bernapas. Polisi tidak peduli. Mereka tetap fokus memborgol Ambler dan menyetrumnya sekali lagi. Jari Ambler, menurut petugas, patah saat penangkapan. Setelah Ambler tidak memberikan respons, polisi mematikan kamera.

Petugas dinyatakan “tidak melakukan kesalahan apa pun” oleh kepolisian setempat. Tapi pada 2021, keadilan akhirnya muncul. Petugas yang terlibat divonis bersalah dan kepala kepolisian setempat juga dianggap terlibat dalam kejahatan menghapus barang bukti pada 2020. Rekaman yang seharusnya muncul di 'LivePD' itu tidak ditayangkan. Stasiun A&E Network menyebut rekaman telah mereka hancurkan.

“Produser televisi mana pun akan mengatakan mereka tidak akan melakukan apa pun yang bisa merusak hubungannya dengan subjek acaranya karena mereka membutuhkan akses. Mereka tidak bisa mengemas tayangan tanpa ada kooperasi dari kepolisian dan polisi tidak akan bekerja sama kecuali televisi menunjukkan sisi baik tindakan mereka,” kata Dan Taberski, pendiri siniar Running From Cops, yang memublikasikan penangkapan 'COPS' dari sudut pandang korban.

Kasus Indonesia

Di Indonesia, 'Net 86' dan 'The Police' adalah dua reality show polisi yang paling populer. Riset-riset serupa seperti yang terjadi di AS juga muncul di sini. Salah satunya dilakukan Ahmad Raihan dan Pambudi Handoyo dari Universitas Negeri Surabaya. Mereka memilih polantas sebagai subjek riset karena divisi inilah wajah terdepan kepolisian sekaligus yang paling sering membuat citra Polri anjlok.

“Polantas sebagai etalase citra dari Polri yang seharusnya mampu memberikan citra yang baik di mata masyarakat namun pada nyatanya citra polisi lalu lintas jauh sangat buruk... Polisi lalu lintas selalu diidentikkan dengan suap atau sogok, bahkan saking identiknya menyuap oknum polisi lalu lintas sudah seakan menjadi hal yang wajar di masyarakat, terutama saat proses tilang,” catat Raihan dan Handoyo dalam artikel berjudul “Representasi Citra Polisi Lalu Lintas dalam Acara 86 NET” (2017).

Menurut Raihan dan Handoyo, 'Net 86' melakukan pembingkaian. Polantas dikemas sebagai sosok yang ramah, humanis, peduli pada masyarakat, hanya menjalankan tugas, serta peduli pada hukum dan keamanan. Semua itu tujuan utamanya adalah “berusaha mengubah pandangan masyarakat terhadap polisi utamanya polisi lalu lintas.”

“Salah satu yang paling sering ditampilkan adalah representasi sisi humanis petugas seperti menampilkan bagaimana petugas ketika menindak selalu tersenyum... serta ketika diamati dari setiap penindakan selalu ada obrolan basa basi dari petugas yang menanyakan seputar kehidupan pelanggar,” catat keduanya.

Remotivi juga melakukan riset serupa. Mereka menyoroti bagaimana Polri justru menjadikan hukum dan tilang sebagai ajang cari duit belaka, bukan soal penertiban agar berkendara aman dan nyaman. Misalnya, mengapa ketika ada jalan layang yang tak boleh dilalui motor polisi lebih suka ada di pintu keluar dibanding pintu masuk? Mereka memilih melakukan tilang daripada mencegah pemotor melanggar aturan. Atau jika ada lampu motor yang mati–dengan berbagai alasan, termasuk lupa dinyalakan–mengapa polisi tidak sekadar menegur agar lampu motor dinyalakan?

“Bukankah apabila tujuan mereka adalah memoles citra yang baik, maka akan lebih efektif jika polisi menampilkan bahwa warga negara ini sebagai orang-orang yang tertib: jika tidak pakai helm langsung dibelikan helm, jika ban bocor langsung ditolong, jika kehabisan bensin maka langsung dibelikan, kemudian disiarkan ke seluruh penjuru republik? Ternyata memang bukan itu logika yang digunakan oleh polisi,” ungkap penulis Remotivi Irfan R. Darajat.

'Net 86' atau 'The Police' juga membuat anggota Polri yang merupakan penegak hukum beralih jadi polisi moral. Sudah terlalu sering episode yang menggambarkan bagaimana polisi memberikan petuah-petuah moral kepada muda mudi yang sekadar menghabiskan malam di pinggir jalan.

Sebaliknya, aspek hukum justru kerap kali diabaikan oleh petugas. Misalnya yang ramai baru-baru ini, yaitu bagaimana Bripka Monang Parlindungan Ambarita memaksa melongok gawai sipil. Orang itu benar-benar tidak melakukan kejahatan dan tidak ada indikasi demikian. Ambarita malah menasihati orang tersebut soal wewenang kepolisian tentang pencegahan kejahatan–yang juga keliru.

Ada juga kejadian ketika Ambarita memeriksa identitas hingga gawai remaja yang sedang menonton kecelakaan malam-malam. Tidak ada indikasi kejahatan apa pun. Mereka hanya keluar malam, menongkrong, lalu menyaksikan kecelakaan. Tindakan tersebut dijustifikasi dengan banyaknya tawuran antarpelajar.

Faktanya tidak ditemukan apa-apa dari kelompok remaja tersebut. Tapi Ambarita kemudian memberikan ceramah dengan insinuasi bahwa mereka akan melakukan kejahatan. “Tahu kalian kan saya tangkap orang minggu kemarin?” kata Ambarita. Baru remaja-remaja itu mau menjawab, Ambarita memotong, “Nah, dengerin. Enggak usah pura-pura bingung. […] Jangan kalian lakukan yang terus kalian lakukan.”

Remaja sial itu hanya bisa menunduk dan mangut-mangut. Pernyataan mereka tidak didengar sedikit pun. Ambarita memang bukan sekali saja bermonolog tanpa mau mendengar keterangan dari pihak yang dia tangkap.

Seperti judulnya, pertunjukan ini adalah The Police. Polisi adalah kuncinya, Masyarakat direpresentasikan sebagai penjahat tak penting untuk didengar suaranya seperti juga di acara reality show semacam 'COPS' dan 'LivePD'.

Tahun ini, sebelum Kapolri Listyo Sigit Prabowo menegaskan polisi tidak anti kritik, dia sempat mengeluarkan surat telegram (ST) yang berisi instruksi kepada kehumasan dalam berinteraksi dengan media. Salah satu poinnya adalah “media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis.” Betul bahwa telegram ini dimaksudkan untuk lingkup internal, tapi tidak ada jaminan bahwa imbauan ini tidak akan berpengaruh pada apa yang disampaikan Polri kepada media.

Ini terkait dengan masalah transparansi dan akuntabilitas, apalagi pada media dan jurnalis yang acara atau peliputannya bergantung pada hubungan baik dengan Polri.

“Di Indonesia, buahnya adalah program-program seperti '86' (serupa: 'Jatanras', 'The Police'), tontonan yang mensensasionalisasikan kerja polisi sambil membingkai mereka secara dangkal sebagai pahlawan moral, bukan sebagai pelayan publik yang harus menjamin hak-hak sipil,” catat Firman Imanuddin dalam artikel Polisi dan Media: Mendorong Transparansi atau Memoles Citra? (2021) untuk Remotivi.

Infografik film sang polisi

Infografik film sang polisi. tirto.id/Quita

Acara-acara seperti 'Net 86' atau 'The Police', pada akhirnya, adalah sarana pembentukan citra positif Polri belaka–tidak berbeda dengan reality show leluhur mereka di AS sana. Jika pun ada keburukan yang tersorot, tentu itu bukan kesengajaan.

Kita memang butuh Polri yang bekerja menjaga keamanan. Tapi kita tidak butuh acara yang sudah diatur sedemikian rupa hanya menonjolkan sisi positif Polri sekaligus menutupi berbagai praktik menyeleweng yang benar-benar terjadi.

Sepanjang 2020, Ombudsman menerima laporan soal substansi hukum, HAM, politik, keamanan, dan pertahanan sebanyak 1.120 laporan. 699 laporan di antaranya adalah soal Polri. Sedangkan Propam Polri mencatat ada 6.409 pelanggaran dari anggota. Jumlah ini meningkat 54% dibanding tahun sebelumnya.

Angka-angka pelanggaran ini yang 'Net 86' dan 'The Police' tidak mungkin visualisasikan kepada publik.

Baca juga artikel terkait REALITY SHOW atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino