Menuju konten utama

PSI Nilai Petisi Maimon Tolak RUU PKS Tidak Berempati ke Perempuan

PSI menilai petisi "Tolak RUU PKS" buatan Maimon Herawati memuat pendapat yang tidak sesuai dengan fakta. Petisi itu dianggap menghambat upaya melindungi para korban kekerasan seksual. 

PSI Nilai Petisi Maimon Tolak RUU PKS Tidak Berempati ke Perempuan
Gerakan Masyarakat untuk Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (GEMAS SAHKAN RUU PKS) mengadakan aksi damai di depan Istana Negara untuk mendesak DPR agar segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (8/12/18). tirto.id/Bhagavad Sambadha

tirto.id - Juru bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) untuk isu perempuan, Dara Nasution mengkritik keras langkah Maimon Herawati membuat petisi menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

Apalagi, kata Dara, Dosen Unpad itu beberapa kali membuat petisi kontroversial yang menyoal hal-hal tidak perlu. Misalnya, Maimon membuat petisi menolak Iklan Shopee BLACKPINK pada akhir 2018.

"Ibu Maimon butuh hobi baru selain membuat petisi, karena petisi yang dibuat selalu ngawur,” kata Dara kepada reporter Tirto di Jakarta pada Kamis (31/1/2019).

Petisi Maimon di Change.org tercatat sudah ditandatangani 141.000 warganet hingga pukul 18.00 WIB, Kamis sore. Maimon membuat petisi itu dengan alasan RUU PKS memungkinkan aktivitas seksual yang melanggar aturan agama diperbolehkan. Dia mengawali petisinya dengan kalimat, "Awas RUU Pro Zina akan disahkan."

Dara menjelaskan petisi itu tidak layak didukung karena RUU PKS, yang sudah 2 tahun mangkrak di DPR, sedang diperjuangkan mati-matian agar lekas disahkan demi perlindungan terhadap para korban kekerasan seksual, terutama perempuan.

“RUU PKS tidak bisa merujuk pada norma asusila yang diklaim Ibu Maimon. Norma asusila merujuk pada apa? RUU juga tidak bisa didasarkan pada aturan agama tertentu karena dapat menimbulkan diskriminasi," kata dia.

Dara juga menyoroti pendapat Maimon di petisi itu soal kemungkinan RUU PKS menyebabkan para suami dipenjara sebab memaksa berhubungan seksual dengan istri—di bahasa Maimon: dicolek.

Pendapat itu, menurut Dara, mengabaikan kasus pemaksaan hubungan seksual dalam pernikahan yang banyak terjadi. Padahal, dia menilai pemaksaan hubungan seksual, dalam pernikahan atau tidak, tetap patut dianggap sebagai tindakan perkosaan.

"Ia [Maimon] tidak punya empati terhadap sesama perempuan,” kata Dara.

Tudingan Maimon bahwa RUU PKS pro terhadap hubungan seksual sebelum menikah juga dinilai tidak sesuai fakta. Sebab, Dara mencatat, dalam perumusan RUU PKS, Komnas Perempuan justru merekomendasikan agar pemerintah melakukan pencegahan terhadap kekerasan seksual.

Rekomendasi Komnas Perempuan meminta pemerintah melakukan pencegahan lewat pendidikan, perlindungan korban, penuntutan penghukuman seperti rehab dan sanksi sosial, pelaku, dan pemulihan korban.

“Ibu Maimon jangan menebar ketakutan. Justru dengan adanya RUU PKS perempuan Indonesia lebih terlindungi secara fisik dan mental. Moralitas seseorang tidak akan tergerus dengan adanya RUU ini,” kata dia.

Oleh karena itu, Dara mengimbau masyarakat menyikapi ajakan Maimon menandatangani petisi menolak RUU PKS dengan kritis.

"Masyarakat jangan gampang terprovokasi dengan bahasa-bahasa sensasional yang digunakan Ibu Maimon. Cari tahu dulu RUU-nya tentang apa sebelum tanda tangan," ujar Dara.

Baca juga artikel terkait RUU PKS atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Addi M Idhom