Menuju konten utama

Profil Wilayah Kabupaten PPU & Sejarah Ibu Kota Baru RI di Kaltim

Sejarah Kabupaten Penajem Paser Utara (PPU) di Kalimantan Timur, salah satu calon ibu kota baru RI, bermula dari Kerajaan Sadurengas.

Profil Wilayah Kabupaten PPU & Sejarah Ibu Kota Baru RI di Kaltim
Kantor Bupati Penajam Paser Utara. foto/wikipedia/ Arief Rahman Saan (Ezagren)

tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan lokasi resmi calon ibu kota baru RI pengganti Jakarta pada Senin (26/8/2019), yakni Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Dua wilayah di Provinsi Kalimantan Timur ini punya sejarah panjang, sejak zaman kerajaan hingga menjadi bagian dari NKRI.

Kutai Kartanegara barangkali terdengar lebih familiar ketimbang Penajam Paser Utara. Ya, karena PPU terbilang kabupaten baru yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Paser. Kabupaten Penajam Paser Utara diresmikan pada 10 April 2002.

Kabupaten PPU berjarak 117 kilometer dari Samarinda dan 66,3 kilometer dari Balikpapan, dua kota tersibuk di Provinsi Kalimantan Timur. Diperlukan waktu sekitar 2,5 jam dari PPU ke Balikpapan dengan menggunakan transportasi darat dan laut mengingat kedua wilayah ini dibatasi teluk.

Dikutip dari Buku Putih Sanitasi Kabupaten Penajam Paser Utara (2013), luas wilayah Kabupaten PPU adalah 3.333,065 km2 dengan 3.060,82 km2 di antaranya berupa perairan. Setidaknya 25.996 hektare atau 8 persen dari wilayah Kabupaten PPU adalah pesisir.

Pantai-pantai di wilayah Kabupaten PPU kerap menjadi tujuan favorit para wisatawan asing maupun lokal, apalagi pada saat musim liburan. Diberitakan Antara, Pantai Corong dan Pantai Tanjung Jumlai merupakan destinasi wisata menarik yang selalu ramai dikunjungi.

Masa Kerajaan & Kolonial

Sejarah lahirnya Kabupaten Penajam Paser Utara terkait dengan kerajaan yang pernah menguasai wilayah ini. Dikutip dari laman resmi Humas Kabupaten Paser, pada 1516 Masehi, di kawasan ini berdiri kerajaan bernama Sadurengas.

Sedangkan menurut Budaya dan Sejarah Kerajaan Paser karya M. Irfan Iqbal (2001), kerajaan ini diperkirakan berdiri pada 630 Masehi, dipimpin oleh seorang ratu bernama Putri Petung. Jika mengacu buku ini, maka Kerajaan Sadurengas kala itu belum menjadi kerajaan Islam atau kesultanan.

Wilayah kekuasaan Kerajaan Sadurengas, yang nantinya dikenal dengan nama Kesultanan Paser, meliputi Kabupaten Paser yang ada sekarang, Kabupaten Penajam Paser Utara, Balikpapan, bahkan hingga sebagian wilayah di Kalimantan Selatan.

Pada 1523 Masehi, datang Abu Mansyur Indra Jaya dari Kesultanan Demak yang bermaksud menyebarkan syiar Islam di Kalimantan, termasuk Borneo bagian timur. Abu Mansyur kemudian menikahi Putri Petung yang sebelumnya menganut kepercayaan lokal.

Putri Petung akhirnya jadi mualaf, dan Sadurengas pun berubah menjadi kerajaan bercorak Islam. Nantinya, Kerajaan Sadurengas lebih dikenal dengan nama Kesultanan Paser (Kesultanan Pasir). Nama kerajaan ini tercatat dalam Kitab Negarakertagama dan disebut termasuk wilayah taklukan Kerajaan Majapahit.

Kesultanan Paser bertahan lama, termasuk ketika Nusantara dijajah Belanda dan berkali-kali melakukan perlawanan kendati akhirnya takluk. Kesultanan Paser juga pernah menjadi bagian dari Kesultanan Banjar yang berpusat di Banjarmasin, ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan sekarang.

Menurut perjanjian Belanda dengan Kesultanan Banjar, wilayah Paser merupakan salah satu bekas negara dependensi (negara bagian) di dalam konsep "Negara Banjar Raya”, demikian dikutip dari Sejarah Nasional Indonesia: Nusantara pada Abad ke-18 dan ke-19 (1992) yang disusun Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto.

Pemerintahan Kesultanan Paser berakhir pada era Pangeran Mangku Jaya Kesuma atau Sultan Ibrahim Khaliluddin pada 1906. Namun, rakyat Paser terus berjuang melawan Belanda hingga 1918 sebelum dikuasai rezim kolonial sepenuhnya sampai masa pendudukan Jepang (1942-1945).

Pasca-Merdeka & Pemekaran

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, wilayah Paser menjadi bagian dari NKRI dan semula, berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959, Kabupaten Pasir atau Paser masuk dalam wilayah administratif Provinsi Kalimantan Selatan.

Sejak 1961, wilayah ini bergabung dengan Provinsi Kalimantan Timur. Wilayah Penajam Paser Utara masih termasuk bagian dari Kabupaten Paser hingga tahun 2002. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2002 melahirkan kabupaten baru yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Paser, yakni Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU).

Riset Aquari Mustikawati bertajuk “Cerita Rakyat Masyarakat Penajam Paser Utara: Fakta Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara dan Kesultanan Paser Penajam Paser Utara” (2016), diunduh dari Researchgate, mengungkapkan warga asli wilayah Kabupaten PPU adalah masyarakat Suku Paser.

Mengingat wilayah kabupaten ini sebagian berada di pesisir yang berhadapan dengan Selat Makassar dan Pulau Sulawesi, maka banyak pendatang dari provinsi seberang yang kemudian menetap hingga turun-temurun.

Tak hanya dari Sulawesi, orang-orang dari Jawa, Nusa Tenggara, Sumatera, dan berbagai wilayah juga berdatangan ke Penajam Paser Utara. Dari banyak kebudayaan ini terjadi akulturasi yang membuat masyarakat di wilayah ini menjadi warga yang terbuka dan ramah terhadap pendatang.

Penduduk asli Penajam Paser Utara hidup berdampingan dengan warga pendatang. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 menyebutkan, Kabupaten PPU dihuni 168.012 jiwa, yang kemungkinan besar akan bertambah drastis saat wilayah ini dijadikan sebagai ibu kota RI mulai 2024 mendatang.

Baca juga artikel terkait PEMINDAHAN IBU KOTA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya & Yonada Nancy

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Yonada Nancy
Penulis: Iswara N Raditya & Yonada Nancy
Editor: Abdul Aziz