Menuju konten utama

Pro-Kontra Soal Cara Pemerintah Menertibkan Laku ASN di Medsos

Penerbitan 8 aturan terkait penggunaan media sosial untuk Aparatur Sipil Negara dianggap membungkam kebebasan berpendapat.

Pro-Kontra Soal Cara Pemerintah Menertibkan Laku ASN di Medsos
Sejumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Ciamis antre tes urine narkoba di Aula Setda Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Senin (11/9/2017). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/ama/17

tirto.id - Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) menerbitkan aturan bagi aparatur sipil negara (ASN) dalam bersosial media. Aturan ini akan membatasi pegawai negeri sipil untuk tidak berkomentar atau bertindak macam-macam di sosial media.

Kemunculan aturan yang dituangkan dalam Surat Edaran Nomor 137/2018 tentang Penyebarluasan Informasi Melalui Media Sosial bagi ASN dikritik Wakil Ketua Komisi II DPR Mardani Ali Sera yang menilai kebijakan tersebut terlalu mengekang.

Politikus PKS ini mencontohkan frasa dalam surat itu yang menyebutkan agar unggahan ASN di media sosial tidak memicu permusuhan individu dan harus menjaga integritas. Masalahnya, kata Mardani, tafsir atas frasa ‘permusuhan individu’ dan ‘integritas’ sangatlah lentur, dan pada sisi lain setiap orang berhak menyatakan pendapatnya.

“ASN sama seperti warga lainnya, punya kebebasan berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat. Justru ketika hak itu dibatasi, ASN berpeluang jadi alat kekuasaan,” kata Mardani kepada Tirto, Kamis (24/5/2018).

Mardani berpandangan pemerintah seharusnya tidak perlu khawatir berlebihan dan mengatur bawahannya dengan rasa takut. Yang justru harus dikhawatirkan pemerintah adalah ketika ASN tak berani mengatakan salah pada suatu kebijakan yang salah lantaran sudah tak punya integritas.

“Hak ASN bersuara, bahkan memberi masukan dan kritik pada pemerintah. Yang tidak boleh itu bergabung dengan partai politik. Kami justru ingin ASN yang punya integritas. Berani mengatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu salah,” ucap Mardani.

Aturan yang Tak Perlu

Pendapat senada dengan Mardani dikatakan Koordinator Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) di Indonesia, Damar Juniarto, yang mengatakan pemerintah bertingkah berlebihan dalam mengatur aparaturnya.

Damar mengatakan yang dibutuhkan saat ini adalah panduan etis dalam menyampaikan pendapat di media sosial. Panduan ini menjadi kode etik bagi ASN untuk bijak bersosial media. “[Sehingga] Kalau dia tetap mem-posting ujaran kebencian maka prosesnya akan proses hukum,” ucap Damar.

Terkait 8 aturan yang diterbitkan Kemenpan RB, Damar mengatakan, aturan tersebut memberi beban berlebih buat ASN karena mereka kini sedang coba dikontrol pemerintah supaya satu suara. Terlebih beberapa hari sebelum SE Kemenpan ini terbit, Badan Kepegawaian Nasional (BKN) sudah lebih dulu menerbitkan enam aturan terkait hate speech dan hoaks.

Dalam aturan BKN, ASN bahkan tidak boleh memberi komentar ataupun memberikan tanda like pada sebuah unggahan yang bisa memicu provokasi atau semacamnya. ASN juga dilarang menyampaikan pendapat baik lisan ataupun tertulis di media sosial yang bermuatan ujaran kebencian pada pemerintah.

“Ini bukan cuma hal politik yang diatur dalam pemberitahuan ini tapi sudah merambah pada hal berpendapat juga,” kata Damar.

Damar balik menilai dua aturan yang ada cenderung mengarah pada sistem otoritarian. Meski sejauh ini belum, tendensi ke arah itu sudah mulai tampak saat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mendata akun media sosial milik bawahannya berdasarkan surat instruksi Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM nomor 4261/03/SJN.0/2018.

Pendataan tersebut itu membuat aktivitas ASN bisa dibatasi, padahal banyak informasi menarik dan mungkin temuan menarik dari akun-akun milik ASN itu sendiri soal pekerjaan di bidang mereka.

“Dampak lain misalnya akan muncul rasa takut di kalangan ASN untuk mengeluarkan pendapat secara demokratis. Jadi yang diinginkan hanya yang jelek-jelek [terbungkam]. Whistle blower akan kena juga,” katanya.

Infografik CI Syarat bermedsos Bagi PNS

ASN Memang Tidak Bebas

Terpisah, pakar hukum tata negara Refly Harun justru memaklumi ada aturan ini. Ia bilang ASN memang harus mematuhi aturan yang dibuat pemerintah. Menurutnya, menjadi ASN memang harus terikat dengan beberapa aturan dan tidak bisa bebas, termasuk juga soal berpendapat di media sosial.

“Kalau misalnya ingin jadi orang yang bebas, ya jangan jadi ASN,” kata mantan Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara ini. “Saya enggak bebas mengemukakan pendapat. Karena saya ingin bebas mengeluarkan pendapat saya keluar dari Mensesneg.”

Refly menduga terbitnya aturan ini karena perundangan yang ada tidak mengingatkan ASN soal hukuman administrasi apabila mereka terlibat dalam perkara pidana UU ITE atau lainnya.

Ia juga menegaskan aturan ini justru ingin mengingatkan kritik boleh dilakukan tapi tidak di media sosial. “Untuk ASN, kalau dia ada masalah-masalah ya disampaikan lewat jalurnya karena dia bukan pengamat, dia terikat dengan jabatan.”

Sementara menurut Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, surat yang dikeluarkan Menpan RB dan BKN harusnya tidak harus ditaati karena hanya bersifat imbauan dan tidak ada aturan perundang-undangan yang menegaskan kebakuan aturan itu.

“Sifatnya hanya pengingat, karena kalau membatasi itu melanggar kebebasan berpendapat. Seharusnya dibedakan antara etik dan hukum.”

Karo Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik KemenPAN RB, Herman Suryatman, masih belum memberikan konfirmasi ketika dihubungi Tirto. Dalam keterangan resminya, Herman sempat menyampaikan 8 poin dalam surat edaran yang harus diperhatikan ASN sebelum mengunggah sesuatu di media sosial.

“Pak Menpan sudah menandatangani Surat Edaran Nomor 137 Tahun 2018 tentang Penyebarluasan Informasi Melalui Media Sosial Bagi ASN. Ada delapan hal yang harus diperhatikan ASN dalam penyebarluasan informasi melalui media sosial.”

Baca juga artikel terkait APARATUR SIPIL NEGARA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Mufti Sholih & Maulida Sri Handayani