tirto.id - “Agar berkembang sempurna, sebaiknya usaha mikro perlu diberi beking poder dan ditutup dengan kain selama beberapa menit,” kicau @nurhadi_aldo, akun resmi pasangan calon presiden nomor urut 10.
Nurhadi-Aldo, tentu saja bukanlah paslon resmi yang ikut bertempur memperebutkan kursi presiden. Mereka hanya paslon guyonan yang memanfaatkan media sosial untuk ikut meramaikan pesta demokrasi di tahun ini. Selama debat calon presiden berlangsung, akun Nurhadi-Aldo aktif memberikan tanggapan, khususnya dengan balutan tagar #KaloNurhadiBerdebat.
Di luar guyonan-guyonan yang dilontarkan Nurhadi-Aldo, jagat maya riuh dengan berbagai kicauan politik dari pendukung Joko Widodo-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga. Mesin analisis media sosial Drone Emprit menyebutkan bahwa hingga debat berakhir, yakni pukul 10.20 WIB, tercatat ada 272.010 mention di berbagai platform internet yang merujuk pada kedua paslon. Mention paling banyak berasal dari Twitter dan muncul dengan tagar seperti #Debat01Jokowi untuk pendukung Jokowi dan #RakyatSudahMuak untuk pendukung Prabowo.
Jika ditelaah, mention di media sosial “dimenangkan” oleh pasangan 02, Prabowo-Sandiaga. Paslon tersebut memperoleh 140.755 mention, sementara 01, Joko Widodo-Ma’ruf kalah dengan 131.255 mention. Sayangnya, Ismail Fahmi, Analis Media Sosial yang sekaligus pendiri Drone Emprit, menyatakan kemenangan mention kubu pendukung Prabowo-Sandiaga memiliki cela karena banyak yang hanya menjual sentimen negatif.
“Kalau dilihat dari peta (analisis), 02 keteteran (menghadapi serangan akun-akun pendukung Joko Widodo-Ma’ruf),” sebut Ismail.
Dalam pertarungan di Twitter, kubu Prabowo sebenarnya unggul di sesi-sesi awal debat berlangsung. Hingga sesi ke-3, terdapat 30,6 ribu mention pada Prabowo-Sandiaga, mengungguli mention pada Joko Widodo-Ma'ruf yang hanya berada di angka 12,7 ribu. Nada sumbang yang tertuju pada Prabowo pun terhitung kecil.
“Awalnya 50-50 (soal pertarungan di Twitter) dari jam 8 sampai 9,” terang Ismail.
Menurut Ismail, kegagalan kubu Jokowi unggul di Twitter pada awal-awal debat berlangsung terjadi karena “tim (media sosial Jokowi-Ma'ruf) tidak menyatu, (mereka) sepertinya bergerak sendiri-sendiri." Sementara kubu Prabowo, sebut Ismail, “lebih kompak.”
Kubu Jokowi sendiri memiliki tiga cluster atau kelompok di media sosial. Sementara kubu Prabowo hanya memiliki satu kelompok.
Namun, selepas sesi ke-3 usai, kubu Jokowi di media sosial langsung all-out menyerang kubu Prabowo. Ketiga kelompok pendukung Jokowi kemudian saling mengamplifikasi. Ketika satu kelompok memainkan kicauan/tagar/mention yang mendukung Jokowi atau memojokkan Prabowo, kelompok lainnya membalas, hingga kubu Jokowi bisa mengejar ketertinggalan dari kubu Prabowo di dunia maya.
“Aku lihat strategi 01 banyak menyerang PS (Prabowo Subianto). Terus dari jaringan (media sosial pendukung Jokowi) menyebar. Klusternya 02 terkonsentrasi sangat kuat. 01 nyebar. 01 pasukannya banyak dan tersebar. Saling mengamplifikasi. Beda dengan hari-hari biasa yang mereka punya agenda-agenda sendiri. Ini kekuatan all-out,” tegas Ismail.
Yang unik, dalam riuh pertarungan 01 vs 02, bot atau robot yang biasanya meramaikan percakapan di Twitter melempem malam ini. Hanya real-user, atau pasukan media sosial yang dimotori manusia asli yang aktif. Ismail, menyebut bahwa ini terjadi karena durasi debat yang terhitung pendek. “Enggak cukup waktu (bagi masing-masing kubu) memprogram (bot untuk bertarung opini di media sosial). Akhirnya, manusia yang asli harus all-out.”
Durasi yang pendek inipun menyederhanakan tagar yang digunakan. “Mereka fokus di satu-dua hashtag. Enggak bisa mereka (menciptakan banyak tagar) di waktu pendek.” terlalu banyak tagar bisa membuat kedua kubu kebingungan dan tidak bisa bersatu mengalahkan satu sama lain.
Pentingnya Memenangkan Pertarungan di Media Sosial
Dalam artikel di jurnal Journalism Practice (Vol. 6, 2012) berjudul “Twitter Links Between Politicans and Journalists” Peter Vermeij menyebut bahwa ada dua perspektif fungsi media sosial. Pertama ialah media sosial sebagai penyebar informasi dan kedua sebagai pembentuk hubungan. Facebook ialah media sosial dengan perspektif kedua, sementara Twitter merupakan media sosial dengan perspektif pertama.
Menariknya, informasi yang muncul di Twitter tak hanya diam di platform itu saja. Salah satu buktinya, sebut Vermeij, setengah dari trending topic Twitter menjadi headline CNN.
Nicholas A. Diakopoulos dalam “Characterizing Debate Performance via Aggregated Twitter Sentiment" (2010) berpendapat ada 4 sentimen yang dapat dihasilkan oleh netizen di Twitter menanggapi jalannya debat: negatif, positif, campuran/netral, dan lainnya. “Lainnya” merujuk pada tidak adanya data spesifik yang bisa dijaring dalam penelitian yang dilakukan Diakopoulos.
Sementara itu, Joshua Hawthorne dalam tulisannya di jurnal Social Science Computer Review, “Live-Tweeting a Presidential Primary Debate: Exploring New Political Conversations,” mengungkapkan bahwa komentar-komentar yang dilancarkan netizen di Twitter selama debat memberikan dampak yang besar. Terutama dalam melihat bagaimana pemirsa memahami jalannya debat.
Dalam tulisan berjudul "I Know Who You Supported in the UK 2010 General Election" (2012) Antoine Boutet mengamati keriuhan warganet di Twitter dalam peristiwa elektoral, khususnya pemilu Inggris. Secara sederhana, Boutet mengidentifikasi tweet dan retweet yang mengacu pada partai politik peserta pemilu, dalam hal ini Partai Buruh, Partai Konservatif, dan Partai Liberal Demokrat.
Penelitian atas 10.000 tweet itu menghasilkan, grafik tweet yang berafiliasi dengan Partai Konservatif dan Partai Liberal cukup tinggi meninggalkan Partai Liberal Demokrat. Sebagaimana diberitakan BBCkemudian, Partai Konservatif memenangkan pemilihan umum di tahun 2010 itu.
Artinya, memenangkan Twitter sama dengan memenangkan opini. Ini dipertegas oleh John Parmelee, penulis Politics and the Twitter Revolution (2011). Dalam wawancaranya dengan Guardian, Parmelee mengatakan bahwa pada dasarnya politikus menggunakan Twitter untuk mempengaruhi orang lain. "Twitter seperti semesta mini berisi orang. Tapi orang-orang itulah yang mampu menentukan agenda berita. Ini seperti mempraktikkan lobi.”
Dengan menggunakan Twitter, suatu kubu tak perlu memengaruhi banyak orang. Hanya segelintir orang dan orang itu lalu memberi pengaruh ke kelompok yang lebih besar. Dalam momen pemilihan presiden, hal semacam ini tentu saja penting.
Editor: Windu Jusuf