tirto.id - Pengamat politik Rocky Gerung menilai dengan adanya presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wapres justru membuat masyarakat kehilangan hak politiknya.
"Peraturan ini justru mengebiri hak masyarakat dalam berpolitik. Pertama, hak untuk mendaftarkan diri sebagai presiden, dan yang kedua, hak untuk memilih presiden secara bebas sesuai keinginan, bukannya dengan pilihan yang sudah ditentukan dan dibatasi!" katanya kepada awak pers, Selasa (30/7/2018) sore, di daerah Menteng, Jakarta Pusat.
Aturan tentang presidential threshold ini tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Peraturan tersebut membikin pencalonan presiden direduksi seminimal mungkin, yang akhirnya hanya terdapat dua calon saja.
Beberapa waktu lalu beberapa pegiat aktivis demokrasi, akademisi, hingga mantan Ketua KPK ramai-ramai mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold).
Jika gugatan tersebut berhasil dikabulkan, otomatis siapa pun berhak mencalonkan diri sebagai presiden. Para penggugat menilai hal tersebut bisa menjadi langkah politik praktis yang lebih demokratis.
Banyak pihak yang memberikan respons negatif mengenai himpunan masyarakat yang mencoba menggugat presidential threshold, bahkan sampai menyebut mereka sebagai barisan sakit hati.
"Kita tidak sedang sakit hati, kita sakit karena sejumlah irasionalitas telanjang depan mata yang jelas," balas Rocky.
Pria yang pernah mengajar di jurusan Filsafat Universitas Indonesia tersebut menilai dengan adanya presidential threshold justru membuat ruang kompetisi dalam demokrasi elektoral menjadi mati. Hal tersebut dikarenakan arena kompetisi politik hanya diisi oleh orang yang sama selama bertahun-tahun.
"Analoginya, kapitalisme itu baik untuk berkompetisi, namun jika ada kroni di dalamnya, kompetisi itu akan berhenti. Kompetisi tidak boleh diberhentikan oleh kroni. Dan presidential threshold yang membuat kroni berkembang," tutupnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai aturan soal presidential threshold berpotensi pencalonan hanya akan dikuasai oleh segelintir elit parpol.
Pasalnya, menurut Titi, rekrutmen anggota atau kader politik oleh partai politik masih sangat elitis, sentralistis, tertutup, dan eksklusif. Padahal keterbukaan kepada publik dan khalayak luas dinilai sangat perlu untuk membangun kader partai yang berkualitas.
"Presidential threshold membuat politik elektoral Indonesia tak berjalan dengan baik. Sangat berbahaya. Ini justru menjauhkan kita dari amanat reformasi," katanya kepada awak pers, Selasa (31/7/2018) sore.
Titi mengatakan capres-cawapres hanya bisa diusung oleh parpol menjadi satu dari enam titik bahayanya presidential threshold yang terus membuat pemilu Indonesia menjadi stagnan. Aturan soal ambang batas pencalonan presiden membuat pasangan capres-cawapres harus mendapatkan dukungan dari partai atau gabungan partai yang memiliki 20 persen kursi di DPR.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri