tirto.id - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai aturan soal presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wapres berpotensi hanya akan dikuasai oleh segelintir elit parpol.
Pasalnya, menurut Titi, rekrutmen anggota atau kader politik oleh partai politik masih sangat elitis, sentralistis, tertutup, dan eksklusif. Padahal keterbukaan kepada publik dan khalayak luas dinilai sangat perlu untuk membangun kader partai yang berkualitas.
"Presidential threshold membuat politik elektoral Indonesia tak berjalan dengan baik. Sangat berbahaya. Ini justru menjauhkan kita dari amanat reformasi," katanya kepada awak pers, Selasa (31/7/2018) sore.
Titi mengatakan capres-cawapres hanya bisa diusung oleh parpol menjadi satu dari enam titik bahayanya presidential threshold yang terus membuat pemilu Indonesia menjadi stagnan. Aturan soal ambang batas pencalonan presiden membuat pasangan capres-cawapres harus mendapatkan dukungan dari partai atau gabungan partai yang memiliki 20 persen kursi di DPR.
Kedua, selama ini narasi pencalonan presiden semakin pragmatis. Presiden tak lagi bicara mengenai visi, misi, ideologi, hingga program kerja, melainkan hanya menjadi orientasi figur belaka.
Ketiga, menurut Titi sistem politik elektoral yang terjadi di Indonesia masih sulit dijangkau oleh perempuan. "Perempuan tak pernah diberikan kanal secara khusus dan komprehensif dalam politik elektoral," jelasnya.
Titi melanjutkan, keempat, lanskap politik dan partai politik Indonesia masih dengan mudah membuat masyarakat sebagai konstituen menjadi terpolarisasi.
Kelima, Titi menganalisis presidential threshold membuat angka pengguna hak pilih saat Pilpres jumlahnya lebih sedikit dari Pilkada. Hal ini dikarenakan masyarakat tak punya lagi pilihan yang sesuai dengan hati dan pikirannya dalam memilih saat Pilpres, yang akhirnya berpotensi untuk golput.
Dan terakhir, yang keenam,presidential threshold Indonesia masih melanggengkan politik transaksional yang akhirnya hanya menyalurkan kepentingan pribadi, bukan kepentingan masyarakat luas.
Titi mengatakan segala irasionalitas dan keganjilan-keganjilan di atas dalam menjalankan politik demokrasi ini akan selalu ada, bahkan dirawat, jika presidential threshold masih digunakan.
"Oleh karena itu, presidential threshold harus dihapus demi Indonesia lebih baik," tutupnya.
Aturan soal ambang batas presiden tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Peraturan tersebut mengatur tentang pencalonan presiden yang direduksi seminimal mungkin, hingga akhirnya hanya terdapat dua calon saja.
Beberapa waktu lalu beberapa pegiat aktivis demokrasi, akademisi, hingga mantan Ketua KPK ramai-ramai mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold).
Jika gugatan tersebut berhasil dikabulkan, otomatis siapa pun berhak mencalonkan diri sebagai presiden. Para penggugat menilai hal tersebut bisa menjadi langkah politik praktis yang lebih demokratis.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri