tirto.id - Indonesia ternyata pernah memiliki astronot perempuan bernama Pratiwi Sudarmono. Boleh dibilang, Pratiwi adalah astronot wanita pertama Indonesia, bahkan di Asia, dalam sejarah dan turut dalam proyek NASA yang berencana ke luar angkasa pada dekade 1986 silam, walaupun misi itu akhirnya batal.
Nama lengkapnya Pratiwi Pujilestari Sudarmono, dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, pada 31 Juli 1952. Ia adalah anak pertama dari enam bersaudara. Sejak kecil, Pratiwi sudah tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan tata surya, antariksa, dan luar angkasa.
Saat ditanya cita-citanya kala duduk di kelas dua SD, Pratiwi dengan mantap menjawab, ia ingin menjadi bagian dari Indonesian Space Experiment (INSPEX). Setelah lulus SD dan SMP di Bandung, Pratiwi melanjutkan SMA di Jakarta dan menamatkan sekolahnya pada 1970.
Dikutip dari Ensiklopedia Jakarta, Pratiwi mengambil jurusan kedokteran saat kuliah di Universitas Indonesia (UI) hingga akhirnya menerima predikat master pada 1977. Setelah itu, ia menjadi staf pengajar dan peneliti di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UI.
Pratiwi kemudian melanjutkan studi ke Jepang, tepatnya di Research Institutefor Microbial Diseases, Osaka University, dan meraih gelar doktor pada 1984. Ia adalah perempuan Indonesia pertama yang mendapatkan gelar doktor dalam bidang kedokteran dari perguruan tinggi di Jepang.
Cita-cita Hebat Putri Ningrat
Meskipun lahir di tanah Sunda, Pratiwi Sudarmono sejatinya orang Jawa, bahkan ia berasal dari kalangan bangsawan. Kakeknya termasuk golongan ningrat dari Kesultanan Surakarta Hadiningrat.
“Saya orang Jawa, dari kalangan aristokrat. Bahkan dalam keluarga saya sendiri, feodalisme saya rasakan di kehidupan sehari-hari,” ungkap Pratiwi suatu kali, dikutip dari Indonesian Destinies (2009) karya Theodore Friend.
“Jika Anda dari darah biru,” imbuhnya, “Anda bisa duduk di depan pada upacara pernikahan, sementara orang-orang hanya duduk di belakang. Bahkan, di Yogyakarta atau Solo, gelar raden mas masih digunakan di universitas. Anda harus tunduk kepada tingkat yang lebih tinggi dan Anda tidak bisa memecatnya.”
Pratiwi menambahkan, “Saya tidak bisa menjadi profesor walaupun saya memiliki gelar Ph.D., tidak bisa, karena orang yang lebih tua belum memilikinya. Bahkan tanpa pencapaian ilmiah, ia akan mendapatkannya terlebih dulu. Hal-hal semacam ini telah dipraktikkan sejak zaman Belanda.”
“Bagi wanita, lebih buruk lagi, kita harus berjuang dua atau tiga kali lipat untuk mendapatkan penghargaan atas pencapaian kita,” tutupnya.
Sebagai putri Jawa yang konon penuh dengan aturan, Pratiwi Sudarmono akhirnya mampu membuktikan bahwa perempuan juga bisa menjadi apapun selayaknya kaum pria, bahkan untuk keinginan yang barangkali dianggap terlalu tinggi bahkan mustahil.
Mimpi yang Nyaris Tergapai
Pada 1985, pemerintah Indonesia menjalin kerja sama dengan NASA (National Aeronautics and Space Administration), lembaga antariksa milik Amerika Serikat. Kemitraan ini dalam rangka misi Wahana Antariksa atau Space Shuttle yang rencananya bakal dijalankan pada 24 Juni 1986 dengan menggunakan pesawat ulang-alik Columbia.
Misi ini bertujuan membawa tiga satelit komersial, yaitu Skynet 4A, Palapa B3, dan Westar 6S. Palapa B3, sebut Christian Lardier dan Stefan Barensky dalam The Proton Launcher: History and Developments (2018), merupakan satelit milik Indonesia. Pemerintah RI pun merasa perlu melibatkan astronot sendiri.
Terpilihlah Pratiwi Sudamono sebagai wakil Indonesia dalam misi itu. Ia akan berperan sebagai Spesialis Muatan untuk pesawat ulang-alik Columbia. Pratiwi mengalahkan 207 kandidat, termasuk di antaranya 25 wanita. Saat itu, ia masih berprofesi sebagai peneliti di bidang genetika dan mikrobiologi serta mengajar di UI.
Selain Pratiwi, ditunjuk pula Taufik Akbar, seorang insinyur telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Taufik akan mendampingi Pratiwi sekaligus menjadi awak cadangan dalam misi bertajuk STS-61-H yang bakal diluncurkan dari Amerika Serikat tersebut.
Sontak, sosok Pratiwi naik daun. Banyak media, dari dalam maupun luar negeri, memberitakan pencapaian sang Kartini modern ini. Pratiwi menjadi ikon wanita dari Indonesia sebagai calon astronot perempuan pertama Asia yang segera mengangkasa.
Namun, impian Pratiwi dan seluruh rakyat Indonesia seketika buyar. Dikisahkan kembali oleh Colin Burgess dalam buku Shattered Dreams: The Lost and Canceled Space Missions (2019), terjadi insiden beberapa bulan sebelum Satelit Palapa B-3 diberangkatkan dalam misi STS-61-H.
Tanggal 28 Januari 1986, pesawat ulang-alik Challenger milik Amerika Serikat yang hendak menunaikan misi lain, yakni STS-51-L, meledak di udara hanya 73 detik setelah diluncurkan pada ketinggian 15 atau 16 kilometer. Tujuh orang kru menjadi korban.
Tragedi ini sangat memilukan karena disaksikan oleh jutaan orang dari seluruh dunia, termasuk di Indonesia, melalui siaran di televisi. Terlebih, di Amerika Serikat, peluncuran bersejarah ini ditonton langsung oleh anak-anak sekolah.
Ikon Perempuan Asia
Insiden yang menimpa Challenger membuat NASA membatalkan beberapa penerbangan ke luar angkasa selanjutnya, termasuk agenda penerbangan Columbia yang sedianya bakal membawa Pratiwi Sudarmono pada 24 Juni 1986.
Satelit B-3 akhirnya diluncurkan dengan Roket Delta tanpa menyertakan astronot Indonesia. Impian Pratiwi dan bangsa Indonesia yang ingin menyaksikan salah satu putri terbaiknya menembus luar angkasa pun pupus.
Kendati begitu, Pratiwi dan Taufik tetap ke Amerika Serikat seperti yang sudah direncanakan. Mereka menempuh pelatihan spesialis muatan pada Februari hingga Mei 1986 dan sempat melakukan pemotretan dengan atribut astronot walaupun penerbangan ke antariksa batal.
Setelah gagal menjalankan misi ke luar angkasa, Pratiwi balik ke kampus dan kembali menekuni aktivitasnya sebagai ilmuwan serta pengajar. Berbagai pencapaian diraih oleh sosok perempuan tangguh ini.
Sejak 1994 hingga 2000, ia menjabat sebagai Ketua Departemen Mikrobiologi Fakultas Medis Universitas Indonesia. Berikutnya sampai tahun 2002, Pratiwi mengikuti Program Sarjana Fulbright New Century di Amerika Serikat.
Pratiwi Sudarmono diangkat sebagai Guru Besar/Profesor Kehormatan Ilmu Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UI pada Februari 2008. Salah satu ikon wanita perkasa Asia ini pun mengabdikan diri sepenuhnya untuk pendidikan, keilmuan, dan kesehatan.
Penulis: Rachma Dania & Iswara N Raditya
Editor: Abdul Aziz