tirto.id - Di Jakarta, sampai bulan Februari, polisi telah beberapa kali membongkar praktik prostitusi yang melibatkan anak--belum berusia 18 tahun. Benang merah dari semuanya adalah transaksi dilakukan di tempat tertutup atau privat: apartemen.
Pada Rabu (5/2/2020) lalu, misalnya, Polres Metro Jakarta Utara membongkar praktik prostitusi anak di Apartemen Gading Nias Residence, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Ada sembilan anak berusia 14 sampai 16 tahun diamankan. Selain pekerja seks, mereka juga dipekerjakan sebagai pemandu lagu.
Satu pekan sebelumnya, Polres Metro Jakarta Selatan menemukan pula praktik serupa di Kalibata City setelah orangtua korban lapor ke Polres Depok karena anaknya hilang. Polisi mengatakan korban kerap disiksa jika tak mau mengikuti perintah muncikari.
Polisi mengatakan pelaku mengiming-imingi korban pekerjaan dengan penghasilan yang besar.
Kasus serupa di tempat yang sama juga pernah terjadi pada Agustus 2018. Hal ini terungkap berkat informasi warga. Lima pekerja seks usianya masih anak-anak, mereka mengaku sudah lebih dari dua tahun dipekerjakan di tempat itu.
Terus Berulang
Pemerintah daerah sebenarnya tidak tinggal diam. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, misalnya, menyatakan perang terhadap prostitusi di Kalibata City dua tahun lalu.
Saat itu ia usul agar "wajah dan nama tamu difoto-dicatat." Jika ada yang ketahuan menggunakan jasa prostitusi, foto mereka akan diumumkan agar menimbulkan efek jera.
Faktanya, kasus serupa terulang. Pemprov, terbukti, belum berhasil.
Bagi pengajar Sosiologi dari UI Imam Prasodjo, praktik seperti ini hanya dapat terulang di komunitas atau wilayah yang kontrol sosialnya lemah. Apartemen termasuk di antaranya. "Jika komunitas kekerabatan itu melonggar sehingga tidak ada kontrol sosial yang ketat, maka praktik itu dimungkinkan," kata Imam kepada reporter Tirto, Selasa (11/2/2020) lalu.
Prostitusi di apartemen semakin sulit diendus karena kemajuan teknologi. Seorang hidung belang bisa dengan mudah mencari jasa prostitusi hanya dengan menggunakan ponsel pintar.
Bagi Imam, idealnya di apartemen juga ada kontrol sosial dari warga. Masalahnya, "membangun membangun komunitas di sana sulit karena tidak ada kriteria sosial dan budaya." Maksudnya, penghuni apartemen berasal dari berbagai status sosial, ekonomi, dan latar belakang budaya yang berbeda-beda.
Pada akhirnya, kata Imam, apartemen bisa menjadi tempat yang mengerikan terutama bagi anak.
Namun upaya untuk memberantas praktik prostitusi anak di apartemen tetap tetap dilakukan. Dosen kriminologi dari UI, Josias Simon, mengatakan pengelola apartemen bisa berbuat lebih. "Kesadaran mereka untuk mengawasi rendah, sehingga itu dimanfaatkan pelaku dan jaringan untuk beraksi," katanya.
Penegak hukum juga harus tegas, kata Simon, dengan cara menghukum pelaku sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra juga mengatakan hal serupa. Agar pengelola apartemen serius membantu menangani masalah ini, katanya, pemerintah bisa mengancam untuk tidak lagi memberikan izin operasi.
"Mekanisme ini bisa dikembangkan oleh penguasa atau pemerintah daerah," kata Jasra.
Jasra mengatakan KPAI akan mengundang pengelola apartemen dan pemerintah guna membahas masalah ini. "Jika dibiarkan, anak-anak akan jadi korban utama," katanya menegaskan.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri