tirto.id - Calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto dikenal kerap tak senang dengan pemberitaan media. Saat berpidato dalam acara peringatan Hari Disabilitas Internasional, di Jakarta, Rabu (5/12/2018), ia marah-marah lantaran merasa wartawan dan media tidak objektif dalam memberitakan Reuni 212 yang berlangsung di Monas.
Poin yang membuatnya kesal adalah media tidak menulis jumlah massa sebanyak 11 juta, sebagaimana perhitungannya. (Kami pernah menulis soal jumlah Reuni Akbar 212. Hitung-hitungan kami, memang angka itu bombastis dan tak masuk akal. Baca tulisannya di sini).
Kemarahan Prabowo itu dilatari pengakuannya yang kerap merasa disudutkan oleh media. Dia cukup sering menolak wawancara atau menjawab ketus pertanyaan wartawan. Satu contoh terjadi pada 9 Juli 2014. Kala itu, di kediamannya di Hambalang, Bogor, Prabowo mengusir wartawan Metro TV, Kompas TV, dan Berita Satu.
Sinisme Prabowo lainnya pernah dilontarkannya secara sarkas pada 17 Agustus 2017. Saat itu, selepas mengikuti upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-72 di halaman Kampus Universitas Bung Karno, pria yang hobi berkuda itu mengejek wartawan bergaji kecil dan tak sanggup belanja di mal.
“Kami belain para wartawan. Gaji kalian juga kecil, kan? Kelihatan dari muka kalian. Muka kalian kelihatan enggak belanja di mal. Betul, ya? Jujur, jujur,” kata Prabowo.
Sikap Prabowo yang demikian mendapat sorotan dari banyak pihak. Para peneliti media massa menilai sikap Prabowo tersebut dapat memperkeruh suasana Pemilu 2019 dan menciptakan propaganda antimedia di kalangan masyarakat.
Sebagai tokoh politik besar di Indonesia, Prabowo semestinya dapat bersikap lebih elegan, misalnya mendirikan media massa sendiri.
Pengajar Komunikasi dan Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Bintang Samiaji mengatakan calon presiden memungkinkan membuat media sendiri untuk kepentingan kampanye pencalonannya. Mendirikan media sendiri dinilai dapat mengakomodir suara kampanye sesuai keinginan politiknya.
Langkah seperti itu pernah ditempuh Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu, SBY membuat media sendiri dalam masa kampanye pemilihan presiden untuk periode keduanya (2009-2014), dengan nama Harian Jurnal Nasional atau Jurnas.
"Siapa pun boleh bikin media. Timses boleh bikin media publikasi resmi untuk kampanye pencalonan. Tahun 1999, jelang pemilu banyak [media] yang berafiliasi partai bermunculan," kata Bintang saat dihubungi wartawan Tirto, Jumat (7/12/2018).
Bintang mengambil contoh Tabloid Bangkit dan Amanah yang saat Pemilu 1999 muncul untuk mewakili partai masing-masing.
Namun, Bintang menegaskan perlu dipahami perbedaan antara media partisan--yang memang dibentuk untuk menjadi alat kampanye--dengan media alternatif.
"Sehingga, ketika Prabowo Subianto membuat media, itu tak bisa dikatakan membuat media alternatif karena kekesalannya dengan media mainstream," jelas Bintang.
Media alternatif secara teoritis memihak kepada kepentingan publik dan berdiri secara independen, bukan untuk kepentingan komersial atau corong partai atau kepentingan tertentu.
"Harian Rakyat, onderbouw PKI, bukan media alternatif. Ia media partai. Sama dengan Tabloid Bangkit milik PKB di tahun 1999. Di masa Soeharto, ada Suara Karya yang jadi media resmi Golkar," Bintang menambahkan.
Hal senada diungkapkan peneliti media, Wisnu Prasetya Utomo. Ia mengambil contoh dari Inggris, ketika Partai Buruh membuat media sendiri untuk melawan media mainstream.
"Di Inggris, partai buruhnya yang dipimpin Jeremy Corbyn dan sayap-sayapnya memiliki media sendiri. Di sana elite politik tak perlu media mainstream. Mereka bikin media. Dan itu bisa-bisa saja (diterapkan) di Indonesia," kata Wisnu, yang telah melakukan banyak penelitian tentang media di Inggris beberapa tahun terakhir.
Andalkan Media Sosial
Sebaliknya, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Andre Rosiade justru menganggap mendirikan media sendiri tidak terlalu diperlukan.
Politikus Partai Gerindra itu mengatakan, tim BPN masih meyakini bahwa media arus utama tetap netral dan masih bisa dipercaya.
"Kami enggak perlu media sendiri. Kami masih percaya kok, media di Indonesia sebagai salah satu pilar demokrasi. Kami percaya media Indonesia bisa netral," kata Andre saat dihubungi oleh wartawan Tirto, Minggu pagi (9/12/2018).
Alasan lain mengapa timnya tak memerlukan media sendiri, kata Andre, juga karena adanya media sosial yang dinilai lebih masif saat ini ketimbang pada masa pilpres terdahulu.
"Apalagi, kan, sekarang sudah ada media sosial. Itu lebih mudah," kata Andre singkat.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abul Muamar