tirto.id - Ribut-ribut soal Prabowo Subianto dan pers yang dianggapnya telah “memanipulasi demokrasi” ini nyatanya juga pernah terjadi di Amerika Serikat, tepatnya saat kampanye Pilpres 2016 yang melibatkan Donald Trump dan Hillary Clinton.
Masa kampanye Pilpres AS 2016 berlangsung panas. Pasalnya, muncul dugaan kuat Trump dibantu Rusia untuk menggembosi dukungan terhadap Hillary. Salah satunya dengan meretas email tim kampanye istri mantan Presiden Bill Clinton itu.
Dugaan itu lantas dijadikan pemberitaan oleh media-media AS. Mereka menghajar Trump dengan tuduhan melakukan kecurangan. Trump pun tak terima dan balik menyerang. Ia, tanpa pikir panjang, menyebut media-media macam The New York Times, NBC, ABC, CBS, hingga CNN sebagai media abal-abal yang sesat. Tak lupa, Trump juga mengimbau masyarakat untuk tidak percaya terhadap setiap pemberitaan media-media utama di AS.
Pernyataan Trump kemudian dirayakan para pendukungnya. Mereka beramai-ramai menyerang media arus utama AS yang dinilai tak pernah akurat memberitakan Trump. Contohnya seperti yang dilakukan Richard Spencer, pentolan National Institute Policy (NPI), lembaga think tank ultra-kanan AS.
Dalam pidato penutupan pertemuan tahunan NPI yang diadakan di Washington pada akhir 2016, Spencer mengumumkan dukungan terhadap Trump dan membanggakan betapa unggulnya ras kulit putih. Tak ketinggalan, Spencer ikut mendiskreditkan media AS dengan ungkapan “lügenpresse," di samping memakai slogan-slogan Nazi seperti "Hail Victory!" ("Hidup Kemenangan!") yang diterjemahkan langsung dari versi Jerman, "Sieg Heil".
Istilah lügenpresse sendiri berasal dari Jerman yang berarti “media pembohong”. Ungkapan ini punya kedekatan historis dengan Nazi dan Hitler dan digunakan sebagai alat propaganda untuk mendiskreditkan lawan-lawan politik. Dari Jerman, pada 2016 silam, lügenpresse melintasi samudera dan mendarat di pawai-pawai pro-Trump untuk merisak media-media AS yang dianggap menyudutkan sang junjungan.
Disuburkan Nazi
Victor Klemperer adalah seorang ahli bahasa-bahasa Roman yang hidup dalam empat periode politik Jerman: zaman Otto von Bismarck, era Weimar, Nazi, dan periode kekuasaan Stalinis di Jerman Timur. Ketekunannya menelisik propaganda Nazi menghasilkan sebuah kajian penting tentang bahasa dan politik.
Dalam Lingua Tertii Imperii: Language of the Third Reich (1947) ia mengemukakan bagaimana Nazisme menyelinap ke sendi-sendi kehidupan masyarakat lewat pilihan kata yang digeser dari maknanya yang terdahulu dan kalimat yang diulang terus-menerus. Kata-kata dalam propaganda Nazi serupa racun mengerikan, termasuk lügenpresse.
Sejarah mencatat, istilah lügenpresse sebetulnya muncul jauh sebelum Nazi berkuasa di Jerman. Pada 1918, misalnya, Kementerian Pertahanan Jerman merilis buku The Lügenpresse of Our Enemies. Istilah lügenpresse dalam buku ini diciptakan Reinhold Anton empat tahun sebelumnya. Saat itu, lügenpresse sendiri mengacu pada propaganda musuh—negara asing—dalam Perang Dunia I.
Sekitar satu dekade kemudian, sebagaimana diwartakan Washington Post, istilah lügenpresse berubah menjadi slogan propaganda Nazi yang diekspresikan untuk membangkitkan sentimen kebencian terhadap orang-orang Yahudi, komunis, dan siapa pun yang dianggap melawan rezim Hitler. Konsep lügenpresse sejalan dengan ideologi Fasis Jerman yang menempatkan ras kulit putih ("Arya") sebagai bangsa terunggul di dunia.
Penggunaan lügenpresse kian masif selepas Hitler menunjuk Joseph Goebbels sebagai Menteri Penerangan. Dalam beberapa kesempatan pidato, terlebih menjelang Perang Dunia II, Goebbels makin sering menggunakan retorika lügenpresse.
Dengan retorika tersebut, Goebbels ingin menyingkirkan media-media yang getol menyerang Nazi. Di awal kekuasaan Hitler, ia menyingkirkan baik orang Yahudi maupun orang kiri dari pers Jerman yang selama ini dianggap menghalangi propaganda Nazi.
Konsekuensinya pun tak main-main. Tuduhan lügenpresse kerap dilontarkan untuk media-media yang memberitakan persekusi terhadap musuh-musuh rezim. Retorika lügenpresse berperan besar dalam terbunuhnya jutaan manusia di kamp-kamp konsentrasi.
Usai fasis Jerman kolaps pada 1945, lügenpresse tidak serta merta lenyap dari kamus politik. Sebelum Tembok Berlin dirobohkan, istilah lügenpresse jamak ditemui dalam retorika pejabat partai komunis di Jerman Timur, khususnya saat mereka mengutuk negeri-negeri Blok Barat.
Pada 2014, panel ahli bahasa Jerman memilih lügenpresse sebagai “non-word” (kata tanpa arti). Menurut Nina Janich, profesor linguistik Universitas Darmstadt, pemilihan “lügenpresse” didasari faktor bahwa istilah ini “terkontaminasi Nazi”.
Dipakai untuk Menyerang Imigran dan Muslim
Lügenpresse kembali muncul pada 2014, kali ini dari corong propaganda Patriotische Europäer gegen die Islamisierung des Abendlandes (Pegida), kelompok anti-muslim di Jerman. Istilah itu dipakai untuk menyerang media yang mereka anggap tidak secara proporsional memberitakan tentang pengungsi dari wilayah ISIS dan perang berkepanjangan.
Selain anti-muslim, Pegida juga anti-imigran. Hal ini dibuktikan kala mereka melangsungkan demonstrasi besar-besaran di Dresden yang dihadiri sekitar 25 ribu orang, terang Reuters. Mereka memenuhi jalanan kota sembari meneriakkan yel-yel, “Berhentilah berbohong dan tutup mulutmu, media!”
Pegida menuding imigran hanya membawa kesusahan, menambah angka kriminalitas, merebut jatah pekerjaan orang-orang lokal. Ormas ini juga menyebarkan fitnah bahwa imigran dari negeri-negeri berpenduduk muslim bermaksud mengislamkan Jerman.
Aksi Pegida ternyata menghasilkan dampak yang cukup besar. Jajak pendapat dari majalah Jerman Der Spiegel menyebutkan 40 persen orang Jerman percaya bahwa media seperti Spiegel, Süddeutsche Zeitung, hingga Badische Neueste Nachrichten tidak kredibel dan jurnalis-jurnalisnya tidak lagi mampu bersikap independen. Adapun survei Allensbach Institute menyatakan hanya seperempat masyarakat Jerman yang percaya media bisa memberitakan keberadaan pengungsi secara proporsional.
Dalam laporan berjudul “Germans Lose Faith in the Fourth Estate” (2016), redaksi Spiegel menyebut dua macam bentuk ketidakpercayaan publik Jerman kepada media. Pertama, ketidakpercayaan yang membikin orang-orang menyerang awak jurnalis, baik secara fisik maupun verbal, sampai-sampai menginginkan agar jurnalisme lenyap. Kedua, ketidakpercayaan yang mendorong masyarakat untuk kritis atau curiga terhadap media.
Masalahnya, jelas Spiegel, batas antara keduanya tidak begitu jelas. Kedua bentuk ketidakpercayaan tersebut sama-sama dibakar dengan rasa amarah yang lantas jadi benci sebelum akhirnya berujung aksi-aksi kekerasan. Walhasil, kerja-kerja jurnalisme di Jerman diliputi ketakutan.
Ketidakpercayaan tersebut juga terbentuk dari anggapan bahwa media dan jurnalis sulit menjaga jarak dari politisi, baik yang berada di parlemen atau di pemerintahan. Pandangan ini muncul selepas Angela Merkel mengundang jurnalis dari sejumlah media besar ke kantornya. Dalam pertemuan itu, Merkel menyarankan bagaimana media harus melaporkan soal krisis pengungsi. Saran Merkel: dampak negatif dari kebijakan pengungsi di Jerman tak perlu diberitakan.
Sebagian besar responden survei Spiegel menunjukkan sikap anti-elite, terlepas dari beragamnya pandangan politik mereka. Pertemuan Merkel dan wartawan dari media-media besar semakin menebalkan anggapan masyarakat bahwa mereka “tidak terwakili”.
Imbasnya, masyarakat Jerman mulai beralih ke internet yang kerap diyakini sebagai “media alternatif”. Ruang daring menjadi tempat bertemunya opini dari berbagai lapis sosial.
Di satu sisi, keberlimpahan informasi yang disediakan internet mendorong masyarakat Jerman untuk lebih banyak belajar dan berdiskusi. Di sisi lain, internet membuat orang kehilangan perspektif, sehingga sebagian masyarakat Jerman jadi lebih fanatik dan gampang curiga.
“Pembaca menuntut pemberitaan mengenai suatu peristiwa dengan cepat dan cepat,” kata Brigitte Fehrle, kepala editor surat kabar Berliner Zeitung. “Ketika mereka ingin kebenaran dalam waktu cepat, itu tidak masuk akal. Sebagai jurnalis, kami harus berpegang pada fakta. Tidak ada pilihan lain.”
Editor: Windu Jusuf