tirto.id - Dalam pidatonya yang disampaikan saat menghadiri peringatan Hari Disabilitas Internasional di Hotel Grand Sahid Jakarta, Prabowo Subianto menuding media massa telah berupaya memanipulasi demokrasi. Ia mencontohkan, salah satunya, soal pemberitaan Reuni Akbar 212.
“Hebatnya, media-media dengan nama besar dan katakanlah dirinya objektif, padahal justru mereka bagian dari usaha memanipulasi demokrasi. Kita bicara yang benar, ya, benar, yang salah, ya, salah. Mereka mau katakan yang 11 juta [tapi] hanya 15 ribu. Bahkan, ada yang bilang kalau lebih dari 1.000. Minta apa itu terserah dia,” papar Prabowo.
Tak cuma mengutuk media, Prabowo juga menolak menjawab pertanyaan wartawan usai acara selesai. Sembari berlalu, Prabowo kembali menekankan bahwa kebebasan pers harus memberitakan apa adanya.
“Ya tapi redaksi kamu bilang enggak ada orang di situ, hanya beberapa puluh ribu. Itu, kan, tidak objektif. Nggak boleh, dong,” katanya.
Meniru Trump?
Tuduhan “memanipulasi demokrasi” yang dilayangkan Prabowo juga pernah keluar dari mulut Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, tak lama usai menang Pilpres 2016.
Kemenangan Trump meninggalkan cacat. Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS menduga Rusia melakukan campur tangan untuk menggembosi dukungan terhadap calon presiden dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, dengan berbagai cara, salah satunya meretas email tim kampanye Hillary.
Setelah kemenangan Trump, dugaan yang kelak berbuah penyelidikan Senat ini lantas diberitakan besar-besaran oleh media-media di AS, mulai dari The New York Times, ABC, hingga CNN.
Mengetahui pemberitaan tersebut, Trump langsung geram. Tanpa pikir panjang, ia menuding lima media (The New York Times, NBC, ABC, CBS, dan CNN) sebagai media abal-abal yang sesat.
“Media BERITA PALSU (@nytimes, @NBCNews, @ABC, @CBS, @CNN) bukan musuhku, mereka musuh masyarakat Amerika!” kicau Trump pada Februari 2017.
Sehari berselang, Trump lagi-lagi menyerang media arus utama di AS. Ia bahkan mengimbau masyarakat untuk tidak percaya terhadap setiap pemberitaan media-media utama di AS.
“Jangan percaya media utama (berita palsu). Gedung Putih berjalan SANGAT BAIK. Aku diwarisi kekacauan dan sedang dalam proses memperbaikinya,” katanya.
Tak cuma di cuitan saja, kebencian Trump terhadap media diperlihatkan pula lewat tindakan. Dalam sebuah konferensi pers di Gedung Putih pada 2017, Trump ‘mengusir’ wartawan CNN, Jim Acosta.
Kala itu, Acosta ingin meminta konfirmasi kepada Trump soal laporan keterlibatan Rusia dalam pilpres AS yang dibikin CNN dan BuzzFeed. Temuan terbaru BuzzFeed menyebut Michael Cohen, pengacara Trump, pernah menjalin kontak dengan pejabat Rusia di Praha pada musim panas 2016.
Washington Post mengabarkan, Acosta berkali-kali berupaya meminta kesempatan bertanya dalam sesi tanya jawab. Akan tetapi, Trump menolaknya sembari menyebut CNN, tempat Acosta bekerja, adalah “organisasi yang sangat buruk” serta “media berita palsu.”
Nahasnya, tak cuma ditolak, akses Acosta ke Gedung Putih juga dicabut.
Pencabutan akses media ke Gedung Putih membikin CNN menuntut pemerintahan Trump ke pengadilan. Hasilnya tokcer: CNN Menang dan pemerintah mesti mengembalikan akses Acosta. Namun, pemerintahan Trump tak ambil pusing. Mereka bahkan membuat aturan baru yang keblinger: menolak akses wartawan yang mengajukan “pertanyaan sulit”.
Sikap Gedung Putih adalah sinyalemen bahaya bagi kebebasan pers. Apalagi, mencabut izin wartawan ke Gedung Putih tidak menimbulkan masalah konstitusional karena Amandemen Pertama tak mengatur ketentuan ini.
Tuduhan-tuduhan Trump terhadap media perlahan mengubah pandangan publik. Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan Statista pada Maret 2018, sekitar 35 persen responden AS lebih percaya Trump daripada CNN yang hanya dipercaya 18 persen responden.
Berbuah Kekerasan
Retorika kebencian Trump disinyalir telah meningkatkan tekanan pada media dan awak jurnalis. Sejauh ini, mengutip BBC, Trump menggunakan istilah “berita palsu” sebanyak 281 kali di Twitter.
Juli lalu, pendukung Trump di Florida menghina dan menghardik wartawan yang sedang meliput rapat kepresidenan. Pemandangan ini direkam lagi-lagi oleh Jim Acosta. Enam bulan sebelumnya, seorang pria juga ditangkap akibat melayangkan ancaman kepada karyawan CNN lewat telepon.
Serangan kepada media dan wartawan rupanya tak hanya muncul di AS. Di Eropa, seperti dicatat Reporters Without Border—NGO asal Paris yang konsen dengan isu-isu kebebasan pers—dalam laporan berjudul “RSF Index 2018: Journalists Are Murdered in Europe as Well,” tokoh-tokoh politik dan pejabat pemerintah di Eropa tak ragu menyerang wartawan secara verbal, melontarkan kata-kata penuh kebencian dan bernada merendahkan sehingga menciptakan iklim yang buruk bagi kerja-kerja jurnalisme.
Perdana Menteri Slovakia Robert Fico, misalnya, menyebut wartawan "pelacur dekil anti-Slovakia". Dalam sebuah konferensi pers, Presiden Ceko, Milos Zeman, menyamakan wartawan dengan "seonggok tahi". Lalu, Perdana Menteri Serbia, Aleksandar Vucic, menggunakan media pro-pemerintah untuk mengintimidasi wartawan yang dituduhnya sebagai “pengkhianat” dan “mata-mata asing.” Di Albania, Perdana Menteri Edi Rama menyerang jurnalis dengan sebutan “bodoh,” “racun,” “penipu,” dan “musuh publik.”
Retorika kebencian yang ditujukan kepada media dan jurnalis di Eropa terjadi seturut dengan bangkitnya kelompok populis sayap kanan di sana, demikian menurut laporan berjudul “Far-Right Nationalism and Populism in Europe: Assaults on Press Freedom” yang disusun para peneliti Media Governance and Industries Research Lab University of Vienna (2017).
Laporan tersebut disusun berdasarkan pengamatan di 12 negara Eropa seperti Austria, Bosnia-Herzegovina, Bulgaria, sampai Serbia, dalam kurun waktu 2012-2016.
Di Bulgaria, misalnya, kebangkitan populisme sayap kanan turut berbanding terbalik dengan tingkat keamanan jurnalis. Mereka tak lagi bisa leluasa meliput kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat korup maupun organisasi kejahatan. Kepemilikan media pun cuma dikuasai oleh Ataka, partai ultra-nasionalis yang kini berkuasa.
Sedangkan di Polandia, wartawan juga dirisak oleh partai penguasa, Prawo i Sprawiedliwość (PiS). Walaupun tidak ada catatan kekerasan fisik, wartawan sering dihadapkan pada proses pemidanaan akibat liputan-liputan yang dianggap mencemarkan nama baik partai maupun pemerintahan. Contohnya bisa dilihat tatkala pemerintah mengancam penjara Tomasz Piatek setelah ia menunjukkan hubungan gelap Menteri Pertahanan Polandia dengan organisasi kejahatan di Rusia.
Kerja-kerja jurnalisme tidak ditempuh dengan cara asal-asalan. Reportase, verifikasi, konfirmasi, dan riset adalah prosedur standar jurnalisme. Tak heran, ketika kerja-kerja tersebut dianggap hanya menghasilkan berita palsu oleh Trump, media-media AS pun mulai melawan.
The Boston Globe, misalnya, mengeluarkan editorial berjudul “Jurnalis Bukanlah Musuh” yang mengatakan bahwa pers yang bebas telah menjadi fondasi kehidupan demokrasi di AS selama lebih dari 200 tahun. Di media sosial, The Boston Globe merilis kampanye dengan tagar #EnemyOfNone ("bukan musuh siapa-siapa"). Tak lupa, mereka juga mengajak media lainnya untuk mengambil sikap yang sama.
Inisiatif The Boston Globe ditanggapi secara positif. The New York Times, contohnya, mengeluarkan editorial bertajuk "Press yang Bebas Membutuhkan Anda" serta mengatakan bahwa apa yang dilakukan Trump “berbahaya bagi demokrasi.”
Secara keseluruhan ada sekitar lebih dari 300 media nasional di AS—dan beberapa media luar AS seperti The Guardian—yang turut dalam aksi solidaritas melawan serangan Trump.
Dalam “Trump’s War on ‘Fake News’ Could Actually Make the Mainstream Media Stronger” (2018) yang dipublikasikan di Brookings Institute, Jonathan Rauch mengatakan media-media arus utama AS terkenal emoh kerjasama. Mereka sangat kompetitif, sekalipun menginduk pada satu perusahaan yang sama. Ambisi untuk menjadi nomor satu, dari sisi bisnis maupun konten, merupakan tujuan utama media-media di AS.
Namun, tambah Rauch, serangan Trump terhadap media-media arus utama di AS mengubah konstelasi itu. Munculnya aksi solidaritas yang berawal dari editorial The Boston Globe memperlihatkan bagaimana media-media AS memfokuskan diri pada sesosok musuh berwujud ancaman kebebasan. Sebuah ancaman yang dianggap berbahaya bagi sistem demokrasi dan melampaui perselisihan politik pada umumnya.
Akankah media-media di Indonesia mengambil sikap yang sama?
Editor: Windu Jusuf