tirto.id - Wasekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan Ade Irfan Pulungan menyatakan bahwa internal partainya menolak wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode dalam pembahasan amandemen terbatas UUD 1945.
Menurut Ade Irfan penambahan periode jabatan itu justru akan berpotensi melahirkan sistem oligarki dan pemerintahan yang korup. Mengingat, semakin seseorang menikmati candu kekuasaan, maka potensi bersikap otoriter akan semakin terbuka.
Hal itu diungkapkan Ade dalam diskusi bertema 'Membaca Arah Amandemen UUD 1945' di Hotel Ibis, Jakarta Pusat, Sabtu (30/11/2019).
"Oligarki atau kekuasaan yang dari kerajaan, dinasti-dinasti lah kita sudah melihat contoh dalam kepemimpinan di daerah. Selesai yang bersangkutan, digantikan istrinya, digantikan anaknya. Masa di situ situ saja? Itu yang membuat adanya penyimpangan makanya kekuasaan itu lebih mendekati ke korupsi," katanya.
Sebagai orang yang pernah berada di dalam Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Ade melihat masa jabatan presiden sudah cukup hanya dua periode. Salah satu alasannya adalah perlunya regenerasi kepemimpinan dalam iklim demokrasi di Indonesia.
"Cukup lah dua periode biar ada regenerasi, saya yakin dan percaya itu, dari 260 juta rakyat Indonesia masa tidak ada sih? Masa hanya orang-orang di situ saja yang harus kita pilih?," tutur Ade.
Dalam kesempatan yang sama, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Nasir Djamil juga menolak jika amandemen UUD 45 dibawa ke arah adanya penambahan masa jabatan presiden.
"Kami menolak dua hal. Menolak tiga periode dan presiden dipilih MPR," kata Nasir.
Menurut anggota Komisi III DPR itu, bila nantinya masa jabatan presiden bertambah dan dipilih MPR maka akan mengaburkan sistem presidensial. Baginya, wacana masa jabatan presiden tiga periode tersebut hanya sebuah tes untuk melihat reaksi publik.
"Ini test the water sebenarnya. Sah-sah saja orang sampaikan pendapat dan pikiran. Tapi orang akan berpikir siapa di balik ini, siapa yang ingin tiga periode dan kembali ke MPR. [Wacana ini] tidak penting dan tidak mendesak," pungkas Nasir.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Irwan Syambudi