tirto.id - "Kami melakukan peremajaan pengurus dan tercermin di pengurus harian DPP partai sekarang ini 40 persen lebih itu usianya di bawah 40 tahun. Dan ada green action untuk anak muda."
Begitulah kutipan dari Ketua Majelis Pertimbangan Dewan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Muhammad Romahurmuziy ketika kami temui pada Jumat, 5 Mei 2023 ketika membicarakan soal PPP dan anak muda.
Usai berbincang soal kesibukannya menjelang Pemilu 2024, Gus Rommy, sapaan akrabnya, mulai menjawab pertanyaan kami seputar strategi PPP menggaet pemilih muda terutama Gen Z. Berdasarkan survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS), misalnya, proporsi pemilih muda dalam kelompok usia 17-39 tahun diprediksi mencapai 60 persen.
Gus Rommy, sapaan akrabnya, mengakui 30 persen lumbung suara partai berlambang Kabah itu merupakan pemilih yang sudah ada segmentasinya. Jumlah itu dinilai membuat parpol di bawah komando Plt Ketum Muhammad Mardiono itu bertahan hingga saat ini.
“Ceruk kami PPP yang 30 persen itu segmented, udah pasti gitu. Dari waktu ke waktu yang membuat PPP bertahan, ya pemilih 30 persen ini. Pemilih ideologis, sepanjang PPP masih asas Islam, lambangnya Kabah, ini adalah partai orang tua gua, partai kakek gua,” kata Rommy di tengah wawancara khusus (wansus) dengan Tirto di kediamannya, Condet, Jakarta Timur, Jumat (5/5/2023).
Wawancara khusus tim Redaksi Tirto, Fransiskus Adryanto Pratama, Fahreza Rizky dan Andhika Krisnuwardhana dengan Gus Rommy membahas seputar pemilih muda Gen Z dan milenial serta isu politik terkini.
Berikut petikan wawancara kami dengan Muhammad Romahurmuziy yang berlangsung sekitar satu jam lebih terkait pemilih muda dan Pemilu 2024.
Berdasarkan survei CSIS bahwa pemilih muda di Pemilu 2024 mendatang mendekati 60 persen. Bagaimana strategi PPP menggaet pemilih muda?
Pertama, melakukan peremajaan pengurus dan itu tercermin di pengurus harian karena DPP partai sekarang ini 40 persen lebih itu usianya di bawah 40 tahun. Bahkan 50 persen itu di bawah 40 tahun. Itu memang secara sadar dipilih karena tentu ketika mereka jadi pengurus, dia akan ajak teman-temannya, tetapi kalau di tingkat DPP itu usia kolonial semua, gimana mau menggaet milenial.
Bahkan ada edaran DPP partai itu membatasi maksimum usia kepengurusan, misalnya, untuk pengurus wilayah, itu selain pengurus harian dan sekretaris dibatasi usianya 50 tahun. Untuk pengurus cabang selain ketua dan sekretaris dibatasi pada usia 40 tahun. Untuk anak cabang di tingkat kecamatan, selain ketua dan sekretaris dibatasi usia maksimum 40 tahun.
Jadi, itu peremajaan memang dipaksa dirancang. Peremajaan harus dilakukan meskipun eksperimentasi menggunakan pendekatan umur meski kadang tidak selalu tepat. Sebab, kemudian justru karena dia muda tidak bisa mengajak orang tua bertahan di PPP. Itu juga menjadi persoalan sendiri, tapi itu kita lakukan.
Kedua, tentu strategi menggaet caleg muda hari ini. Kita beberapa waktu lalu, kan, menunjukkan green action sayap partai yang bukan hanya sekedar dalam arti green action, peduli lingkungan, tetapi juga memang dilakukan anak muda secara khusus dengan mengadakan gerakan-gerakan penanaman pohon-pohon langka, misalnya, di daerah yang kita luncurkan beberapa waktu yang lalu.
Kemudian, menyasar kampanye dengan dukungan kaum difabel oleh anak muda dan berbagai aksi sosial yang lain. Ini sayap green action memang kita buat khusus, untuk anak-anak istilahnya milenial yang memang akan menghuni mayoritas demografi pemilih kita.
Bagaimana cara PPP menyasar pemilih milenial tanpa gimik, artinya partai bekerja sesuai harapan pemilih muda?
Dari segala survei terkonfirmasi memang tidak ada kecenderungan pemilih muda memilih anak muda. Jadi, itu bukan sebuah kesebangunan, tidak kemudian karena kalian itu muda kemudian yang saya pilih juga harus muda.
Sebab, matang dan tidaknya seorang pemimpin tidak ditentukan oleh usianya. Kemampuan apalagi, itu lebih tidak ditentukan usianya. Sebab, survei dan juga temuan kita di lapangan pemilih muda itu tidak selalu memilih anak muda, maka secara khusus program-program yang tadi sudah saya sebutkan untuk menggaet milenial pun jujur saja memang meskipun bersambut, tetapi kurang.
Karena itu tadi, pemilih pemula itu sebenarnya atau pemilih muda sebenarnya preferensinya tidak jauh berbeda dengan yang tua. Caleg hebat untuk orang muda itu sama saja caleg hebat untuk orang tua, tetapi kita menyadari bahwa di beberapa daerah misalnya, kepala daerah dan keluarganya itu karena daerahnya itu relatif remote, jauh dari kota itu memiliki pengaruh tersendiri yang sifatnya kharismatik.
Pemilih muda itu Generasi Z dan milenial, mereka tertarik pada isu kesejahteraan sosial, penciptaan lapangan kerja dan kebebasan sipil. Bagaimana PPP melihat ke arah sana dan bukti konkret program apa yang sudah dilakukan PPP?
Isu-isu yang tadi disampaikan, sama menariknya untuk orang tua. Jadi, tidak ada kemudian anak muda tertarik penciptaan lapangan kerja, orang tua enggak, anak muda tertarik mengurangi kesenjangan sosial dengan menekan rasio orang tua enggak. Sama.
Jadi namanya enggak ada pemilahan khusus antara program untuk anak muda maupun program orang tua dari sisi advokasi kebijakan. Sehingga memang pada sisi advokasi kebijakan, pendekatan dilakukan PPP tidak berbasis demografi tua muda, tetapi berbasis sektor.
PPP memiliki konstituen khusus di sektor keagamaan, maka PPP melakukan endorsement kebijakan untuk pembangunan keagamaan. Ketika kami kemarin, misalnya, mendukung Mas Ganjar Pranowo, itu dengan titipan politik amar makruf nahi mungkar, itu bahasa umum yang kita gunakan, tapi kalau kita aplikasikan salah satunya adalah pembangunan sektor agama.
Kalau kita bicara tentang sektor agama itu tidak meninjau tua dan muda. Contoh, kita minta supaya para guru honorer di madrasah seluruh Indonesia diberikan insentif lebih. Misalnya, diberi pengangkatan untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN) yang usia pengabdiannya di atas lima tahun.
Jangan hanya sekadar honor sertifikasi guru saja yang berhenti total ketika pensiun. Kan sama-sama mengajar struktur antara sekolah di bawah Kemendikbud dengan madrasah yang di bawah Kemenag. Itu kan, 180 derajat, di bawah Kemendikbud 30 persen institusi milik negara, 70 persen institusi milik negara, 30 persen milik swasta. Sementara di Kemendikbud negara hanya 10 persen, 90 persen itu swasta. Dan swasta itu, swasta miskin.
Pondok-pondok pesantren yang iuran bulannya Rp300 ribu seperti pondok saya sendiri. Makan dua kali loh. Itu mungkin uang jajan kalian 6 hari aja, atau tiga hari jangan-jangan, tetapi pondok saya di Yogyakarta Rp300 ribu, makan dua kali sehari sama madrasahnya. Jadi, itu semua adalah jariyah dari orang-orang yang memiliki kepedulian di sektor pendidikan.
Ini butuh kehadiran negara, dari situ kami berjuang dan itu yang ketika kemudian hari ini, misalnya Mas Ganjar memiliki waktu untuk berinisiasi seperti kader PPP itu kita tekankan betul. Sehingga kemudian sektor keagamaan Jawa Tengah lompat dua kali lipat. Itu sentuhan PPP, begitu pun hari ini dan itulah kemudian dalam beberapa periode agama menjadi bagian dari portfolionya bagian dari kami, hanya kebetulan sekarang tidak.
Isu pemberantasan korupsi menjadi salah satu isu yang diperhatikan pemilih muda, apa saja program konkret PPP terkait hal ini?
Yang paling utama kalau kita bicara terkait pemberantasan korupsi, pertama, memperbaiki sistem politik. Karena sistem politik kita hari ini memaksa terutama untuk kepala daerah, dua hari yang lalu podcast-nya Komisioner KPK Nurul Gufron itu mengonfirmasi apa yang saya sampaikan dan beberapa hari ini cukup viral bahwa 99 persen istilah saya, tentu tidak kemudian berarti 99 persen kali 519 wali kota ini korup, aplikasinya, kan, tidak begitu.
Itu kan, political gimic, bahasa saja. Artinya, mayoritas kepala daerah kita perlu dan itu konfirmasi, kan, lebih dari separuh dari kabupaten kota itu wali kotanya, dalam rentang waktu sejak reformasi 1998, pernah terkena persoalan hukum. Kalau kemudian lebih dari separuh kabupaten, atau katakanlah separuh atau bahkan 25 persen saja, sudah pernah bermasalah hukum, masalah itu sistemnya, bukan orangnya.
Artinya, bahwa kampanye itu besar sekali, kalau besar menjadi tidak masuk akal dia kembali dari mana, sehingga perubahan yang pertama kita lakukan adalah perubahan sistem politik dan ini harus niat dari seluruh pemangku kepentingan.
Sebenarnya PPP sudah menginisiasi itu ketika menjelang Pemilu 2014 kita mengubah UU Pemilu kepala daerah agar dipilih oleh DPRD. Orang menyebutnya korupsi pindah ke dewan, loh, pemberantasan korupsi tidak serta merta kemudian tidur, bangun besok, kemudian sudah tidak korupsi sama sekali, di seluruh dunia juga enggak begitu.
Pemberantasan korupsi itu kita tidur, besok berkurang 1 persen. Tidur lagi sebulan berkurang 10 persen, kan, harus bertahap. Nah, salah satunya mengubah sistem politik.
Kedua, tentu kampanye. Kampanye untuk tadi, ketika kita bicara pemilukada di samping sistemnya kita berkampanye untuk menyampaikan bahwa tolong pilih berbasis pada program bukan berbasis pada NPWP. Meskipun masyarakat kita hobi ke situ, tetapi, kan, pendidikan harus berasal dari, tentu kampanye-kampanye sosial yang dilakukan dan istilahnya ketika misalnya, pembentukan atau penciptaan duta-duta antikorupsi.
Saya berharap penganugerahan-penganugerahan anticorruption awards kepada kepala daerah dan pejabat-pejabat publik itu sekadar lip service. Indikator-indikator itu semua bisa diaplikasi, dibuat, ini menurut saya harus dibuat indikator berbeda. Sebab, terbukti indikator-indikator itu yang semula dipakai untuk pameran kabupaten ini atau provinsi ini antikorupsi, enggak juga.
Buktinya indikator yang digunakan selama ini tidak valid. Ini saya sarankan kepada pemerintah lakukan perubahan, kemana, mari kita rumuskan. Indikator yang digunakan selama ini misal audit APBD kami selama sekian tahun wajar tanpa pengecualian (WTP), jadi ini bersih, tidak ada masalah, ternyata ini tidak cukup misalnya, kan harus ada indikator lain.
Karakter pemimpin politik nasional yang disukai pemilih muda saat ini sudah mulai mengalami pergeseran. Kalau dulu merakyat dan sederhana sekarang jujur dan antikorupsi, terus pemimpin yang bisa melakukan perubahan di saat krisis, dan inovasi, bagaimana PPP merespons ini?
Saya kira preferensi itu sama saja dari dulu. Yang merakyat, sederhana, jujur, antikorupsi. Almarhum Gus Dur tahun 1999 ketika memilih Prof Dr Zuhal menjadi Menristek yang beliau adalah alumni sastra Arab, itu kan, revolusioner betul itu, bisa-bisanya sastra Arab jadi Menristek gitu. Alasannya cuma dua, satu guru, tahu apa yang harus dilakukan. Jadi, gelar itu relevan, artinya itu sebenarnya sebuah joke (candaan) dari Gus Dur, meskipun itu joke serius bahwa karakter yang ditentukan seorang pemimpin dari dulu enggak hanya sekadar merakyat dan sederhana, tetapi memang jujur dan antikorupsi.
Itu menjadi bagian dan itu juga yang kemudian membuat PPP memilih Mas Ganjar bahwa rekam jejak beliau selama 10 tahun terakhir memimpin Jawa Tengah beliau waktu itu slogannya baik pilkada pertama maupun pilkada kedua itu kan, mboten korupsi lan mboten ngapusi (tidak korupsi dan tidak bohong). Sebab, konsistensi beliau kepada slogan itu yang tercermin dalam hidupnya membuat kita jatuh hati, sehingga kemudian kita menjatuhkan pilihan ke Mas Ganjar.
Karena di atas semua model kampanye apa pun di atas medium sosialisasi apa pun itu contoh terbaik itu adalah contoh yang dilakukan oleh seorang pemimpin. Itu yang paling efektif, mau apa pun kencangkan ikat pinggang, jangan korupsi, kalau pemimpinnya begitu, ya, percaya kan, sekadar hanya menjadi lip service saja.
Bagaimana PPP melihat keberadaan pemilih muda, apakah mereka hanya menjadi objek semata atau subjek yang harus dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan politik baik di DPR maupun partai?
Hari ini, netizen itu kan, maha benar dengan segala ocehannya, dengan segala tekanan jarinya. Tentu PPP tidak akan pernah meletakkan mereka sebagai objek. Sebab, kenyataannya kemauan netizen itu menggerakkan perubahan dan kita tahu dalam kasus Sambo, tahu dalam banyak kasus yang gitu ya itu digerakkan oleh netizen.
Karena itu, bagi PPP merespons keaktifan mereka dalam berpolitik kami lakukan dalam bentuk tentu, pembangunan media sosial menjadi saluran penerimaan informasi dan itu kita buka dalam semua saluran, apakah itu Instagram, Facebook, dan Twitter.
Animo pemilih muda untuk aktif dalam politik seperti mencalonkan diri dalam pemilu legislatif dan kepala daerah lumayan baik, hampir 15 persen, menurut survei CSIS. Namun, belum tersedia mekanisme politik di internal partai yang memungkinkan mereka untuk partisipasi aktif. Bagaimana PPP melihat hal ini terkait kuota khusus untuk anak muda?
Saya melihat memang, pertama, perlu ditampilkan lebih banyak pemimpin-pemimpin muda dan saya kira Pak Jokowi cukup memelopori misalnya, Menteri Pemuda dan Olahraga paling muda dalam sejarah. Ini menurut saya adalah contoh konkret, supaya anak muda juga melihat.
Kedua, misalnya, staf khusus beliau yang anak-anak muda. Nah, hal itu juga dilakukan oleh PPP seperti yang saya katakan, oh enggak ada ceritanya di DPP partai itu jajaran ketua itu ada usia 30-an.
Enggak ada ceritanya di jajaran wakil sekjen partai itu anak muda usia 30-an, tetapi kami lakukan itu, sehingga harapannya dengan banyak menampilkan mereka dalam berbagai kegiatan yang nuansanya anak muda itu mereka kawan-kawan mengajak juga, itulah yang paling efektif kami instruksikan ke jajaran sampai ke tingkat paling bawah.
Sekarang pemilih muda gali informasi seputar politik dari medsos, apakah PPP memanfaatkan medsos guna menarik pemilih muda?
Pasti, kan bisa lihat performa medsos PPP dibandingkan parpol lain tidak buruk-buruk amat, kami belum nomor satu di TikTok. Selain itu, kan, ada lima besar, dibandingkan perolehan peringkat PPP di 9, di medsos kami lumayan.
Ada strategi khusus di medsos?
Konten. Karena kan kalau kita bicara social media content is the king. Tetapi distribution is the king. Selalu dalam setiap agenda ketua umum kunjungan pengurus ke daerah itu mengagendakan influencer yang rata-rata anak muda.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Maya Saputri