Menuju konten utama
Newsplus

Potong Anggaran Pendidikan Tinggi, Krisis SDM Menghantui

Efisiensi terhadap anggaran beasiswa ADIK, berpotensi menurunkan akses pendidikan tinggi bagi penduduk dari wilayah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T).

Potong Anggaran Pendidikan Tinggi, Krisis SDM Menghantui
Ilustrasi catatan kuliah. (FOTO/iStockphoto)

tirto.id - Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan meminta agar Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) melakukan efisiensi hingga 25 persen dari total pagu Tahun Anggaran 2025 yang sebesar Rp56,6 triliun. Adapun, kementerian yang dipimpin Satryo Soemantri Brodjonegoro ini harus melakukan penghematan senilai Rp14,3 triliun.

Dalam pos-pos belanja Kementerian, DJA di antaranya melakukan efisiensi terhadap belanja bantuan sosial yang dalam hal ini diberikan dalam bentuk beasiswa. Adapun, efisiensi yang seharusnya dilakukan adalah sebesar 9 persen, yaitu sebesar Rp1,43 triliun dari total pagu Rp15,43 triliun.

Jika dirinci, anggaran Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) disunat 9 persen dengan nilai sebesar Rp1,31 triliun; Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) dikurangi 10 persen, mencapai Rp19,47 miliar; dan beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK) mengalami pengurangan 10 persen atau Rp21,37 miliar, dari pagu yang sebelumnya Rp213,73 miliar. Kemudian, ada pula beasiswa Kemitraan Negara Berkembang (KNB) yang harus diefisiensi hingga 25 persen senilai Rp21,34 miliar, dari pagu yang sebelumnya Rp85,35 miliar; serta beasiswa dosen dan tenaga pendidik (tendik) di dalam dan luar negeri mengalami pengurangan 25 persen atau Rp59,20 miliar, dari pagu awal Rp236,80 miliar.

Meski begitu, Satryo, dalam rapat kerja bersama Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengusulkan agar Kementerian Keuangan tak menyentuh dana beasiswa. Sebab, dana beasiswa masuk dalam anggaran belanja bansos.

“Sehingga, untuk komponen ini, gaji, tunjangan, beasiswa, itu pagu yang kami usulkan yaitu sebesar Rp31,645 triliun,” paparnya, sembari menjelaskan bahwa selain beasiswa, dia juga mengusulkan tak ada pengurangan pada anggaran gaji dan tunjangan pegawai serta tunjangan dosen non-pegawai negeri sipil (PNS), dikutip YouTube TVR Parlemen, Kamis (13/2/2025).

Selain beasiswa, DJA juga meminta Kemendiktisaintek melakukan efisiensi sebesar 50 persen pada dana Bantuan Pendanaan Perguruan Tinggi Badan Hukum (BPPTNBH), yang merupakan dana bantuan langsung untuk perguruan tinggi badan hukum, dari yang dianggarkan dengan pagu Rp2,37 triliun menjadi hanya Rp1,19 triliun. Pun, dengan dana Program Revitalisasi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang diminta efisiensi 50 persen sebesar Rp428,14 miliar dari alokasi awal Rp856,29 miliar; dana Pusat Unggulan Antar Perguruan Tinggi (PUAPT) dari Rp250 miliar menjadi Rp125 miliar atau terkena pemangkasan sebesar 50 persen; serta anggaran Bantuan Kelembagaan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang diharapkan ada efisiensi hingga 50 persen dari pagu Rp365,31 miliar menjadi Rp182,66 miliar.

Namun, karena efisiensi besar-besaran terhadap pos belanja tersebut berpotensi mengakibatkan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di PTN, Satryo mengusulkan efisiensi pada pos BPPTNBH dibatasi sebesar 30 persen. Sehingga, dana yang dipotong dari program ini hanya senilai Rp711,06 miliar. Sedangkan untuk belanja Program Revitalisasi PTN, PUAPT dan Bantuan Kelembagaan PTS, ia mengharap tak ada efisiensi sama sekali.

“Kalau mereka kena efisiensi, ada kemungkinan perguruan tinggi akan mencari dana untuk pengembangan. Dan kalau nggak ada opsi lain, terpaksa menaikkan uang kuliah,” jelasnya.

Meski Satryo mengusulkan agar tak ada efisiensi terhadap pos-pos belanja bantuan sosial dan bantuan untuk perguruan tinggi, namun rencana efisiensi oleh DJA membuat masyarakat geram. Bagaimana tidak, efisiensi yang dirancang Kementerian Keuangan berpotensi kuat untuk menaikkan UKT yang saat ini sudah mahal.

Selain itu, dalam paparan Kemendiktisaintek yang beredar luas di media sosial, efisiensi dapat berimbas pada tidak dapat dibayarkannya KIP-K okepada 663.821 mahasiswa penerima manfaat, dari total 844.174 mahasiswa. Sehingga, efisiensi beasiswa KIP-K ini juga berpotensi membuat 663.821 anak berhenti kuliah.

Soal BPI, efisiensi terhadap dana beasiswa ini akan membuat sebanyak 12 dari 33 orang penerima (awardee) yang saat ini tengah menempuh pendidikan S3 di luar negeri terlantar, karena biaya hidupnya tak dibayarkan oleh pemerintah. Parahnya, tidak akan ada pembukaan beasiswa BPI untuk tahun anggaran 2025.

Sedangkan untuk efisiensi terhadap anggaran beasiswa ADIK, juga akan berpotensi menurunkan akses pendidikan tinggi bagi penduduk dari wilayah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T). Padahal, di tahun ini, beasiswa ADIK ditarget menyasar 27.522 mahasiswa yang berasal dari daerah 3T.

Irham Anshari (36), salah satu awardee BPI mengungkapkan, saat ini, pihaknya dan juga para penerima beasiswa lainnya cemas menanti putusan pemerintah terhadap dana beasiswa BPI. Bagaimana tidak, banyak dari mahasiswa Indonesia yang kini berada di luar negeri menggantungkan hidupnya pada bantuan pemerintah tersebut.

“Sejauh ini sih teknisnya belum ada dampak materialnya. Cuma kita ikutin berita, harapannya sih dari teman-teman juga agar tidak terganggu oleh kecemasan. Jadi, bisa fokus studi,” kata dia, saat dihubungi Tirto, Kamis (13/2/2025).

Dengan belum adanya pernyataan resmi dari BPI yang dalam hal ini dikelola oleh Kemendiktisaintek, mahasiswa S3 di King’s College London tersebut yakin, tidak akan ada masalah pada anggaran BPI. Dus, para penerima BPI yang kebanyakan dosen yang tengah melaksanakan tugas belajar di luar negeri dapat bernapas lega.

“Karena masih dirapatkan (oleh pemerintah), kita sedang menunggu. Semoga nggak ada kabar buruk,” imbuh mahasiswa yang kini tengah menempuh tahun kedua untuk studi film itu.

Kendati begitu, dia mengaku, sejak pergantian pemimpin dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Presiden Prabowo Subianto, ada beberapa perubahan yang signifikan dirasakan. Salah satunya terkait perubahan waktu pelaporan pengajuan tunjangan keluarga alias family allowance yang harus rampung pada Desember.

Adapun, perubahan waktu pengajuan ini merupakan imbas dari perubahan nomenklatur Kementerian yang sebelumnya bernama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjadi Kemendiktisaintek. Pada nomenklatur baru ini, pemerintah lantas mengubah bahwa dana untuk tunjangan keluarga bagi penerima BPI berasal dari APBN. Dengan aturan anyar ini, jika penerima BPI terlambat melapor, tunjangan keluarga tak akan cair.

“Kalau soal beasiswa ini sering ada keluhan telat, dan lain-lain, saya nggak ingin untuk mengulang problem ini lagi. Harapannya Dikti (Pendidikan Tinggi) semakin tegas, sehingga awardee nggak diganggu sampai dia lulus,” sambung Irham yang juga pengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.

Lain halnya dengan Irham, Fitriana (18), khawatir jika efisiensi anggaran Kemendiktisaintek dapat berimbas pada kuliahnya yang baru berjalan selama kurang dari setahun. Sebab, kuliahnya dibiayai oleh bantuan KIP-K.

Sebagai mahasiswa yang dapat memasuki pintu Vokasi Universitas Negeri Semarang (Unnes) melalui Seleksi Mandiri, tanpa KIP, orangtuanya harus merogoh kocek hingga Rp6,5 juta per semester untuk membayar UKT.

“Itu berat banget, karena yang kerja cuma Umi. Abi kerja, tapi cuma serabutan. Penghasilannya nggak seberapa banget,” kata dia, kepada Tirto, Kamis (13/2/2025).

Dengan KIP-K, setidaknya orang tua Fitriana hanya perlu membayar uang indekos yang harus dibayar setiap semester, dengan besaran Rp550 ribu per bulan. Inipun belum uang buku maupun praktikum dan laporan yang juga masih bisa diusahakan oleh kedua orangtuanya.

“Jadi, ketika dapet KIP-K, itu Umi, Abi nggak perlu pusing lagi sama biaya UKT. Jadi, ringan banget lah. Tapi, kalau KIP-K dikurangin atau dicabut, nggak tau nanti jadinya kayak apa,” keluh mahasiswa asal Purworejo, Jawa Tengah itu.

Sementara itu, Ketua Aliansi Dosen ASN Kemdiktisaintek Seluruh Indonesia (ADAKSI), Anggun Gunawan, menilai, pemangkasan beasiswa pendidikan tinggi seperti BPI dan KIP-K merupakan bentuk ketidakjelasan pemerintahan Prabowo dalam membangun tenaga pendidik di Indonesia. Hal ini pun berbanding terbalik dengan mimpi rezim Prabowo yang ingin menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul lewat pembangunan SMA Garuda.

Sebagai informasi, anggaran pembangunan sekolah unggulan SMA Garuda juga tak luput dari efisiensi oleh DJA. Dengan pemangkasan anggaran yang direncanakan sebesar 60 persen atau sebesar Rp1,2 triliun, dari pagu sebelumnya sebesar Rp2 triliun.

“Mimpi rezim prabowo ingin menghasilkan SDM unggulan lewat SMA Garuda, yang nantinya akan dijadikan dosen lewat kuliah di kampus-kampus terbaik dunia. Tapi, dosen yang sudah mengabdi dan studi lanjut malah (berpotensi) ditelantarkan. Ada ketidaksinkronan narasi,” kata Gunawan, saat dihubungi Tirto, Kamis (13/2/2025).

Efisiensi pada dana BPI, jelas berpotensi membuat para penerima BPI yang hanya mengandalkan dana beasiswa sebagai biaya hidup terkatung-katung di perantauan. Selain itu, kuota penerima BPI untuk tahun-tahun mendatang juga berpotensi disunat atau bahkan ditiadakan karena kekurangan anggaran.

Padahal, jika ingin mendasarkan pengajaran menggunakan riset, membutuhkan periset-periset bersertifikat yang dalam hal ini bisa didapat jika periset tersebut telah merampungkan studi PhD-nya.

“Mimpi untuk menciptakan SDM unggul terancam gagal karena ketidakjelasan program pengembangan pendidik perguruan tinggi,” tegas dia.

Alih-alih memotong anggaran beasiswa, akan lebih baik jika efisiensi dilakukan pada anggaran yang berbau seremonial, perjalanan dinas, studi banding, hingga fullboard alias paket kegiatan rapat yang diselenggarakan di luar universitas dalam waktu sehari penuh dan menginap. Anggaran yang masuk dalam Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dan BPPTNBH ini cukup besar, namun tidak diserap dengan maksimal dan sering digunakan untuk kegiatan yang kurang penting.

Setelah dilakukan efisiensi oleh DJA, anggaran BOPTN tercatat masih sebesar Rp3 triliun dan Rp1,19 triliun untuk BPPTNBH. “Pengeluaran mubazir di kampus itu nggak pernah dievaluasi. Padahal nilainya besar. Bisa digunakan untuk riset, beasiswa dosen dan tukin (tunjangan kinerja) dosen,” ujar Gunawan.

Jika benar Prabowo ingin menciptakan SDM unggul, seharusnya yang terlebih dulu dilakukan adalah memperbaiki sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Menurut Gunawan, sebenarnya Indonesia tidak kekurangan orang pintar, karena telah banyak orang yang menempuh pendidikan hingga tingkat tertinggi di universitas-universitas terbaik di dunia. Sayangnya, buruknya sistem pendidikan dan pengupahan di Tanah Air membuat mereka memilih untuk mengadu nasib di luar negeri.

“Jadi percuma bikin sekolah unggulan, kalau gaji dosen nggak kompetitif. Gaji dosen kecil, dosen PNS cuma dibayar Rp2,3 juta per bulan. Kerja di perusahaan internasional bisa dapat ratusan juta per bulan. Anak-anak Indonesia yang kuliah S1 di kampus top dunia banyak, tapi mereka jadi brain drain karena ekosistem di Indonesia nggak nyaman,” terang Gunawan.

Terpisah, Dosen Ekonomi Pembangunan di Universitas Mulawarman, Agus Junaidi, menegaskan bahwa pemerintah tak boleh menyunat anggaran beasiswa pendidikan tinggi. Apalagi, jika efisiensi anggaran ini hanya digunakan untuk menutup kebutuhan pembiayaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Memang program politis ini memiliki tujuan mulia, yakni untuk meningkatkan gizi anak-anak dan menekan kasus stunting. Namun, karena kebijakan ini bersikap trade-off alias mengorbankan hal lain, jelas akan menimbulkan dampak negatif pada aspek yang lain tersebut.

“Kalau saya menangkapnya, pemerintah tetap ada keberpihakan terhadap pendidikan tetapi dalam rangka untuk memenuhi janji politik populis yang penagihannya oleh masyarakat sangat short run, maka harus dengan mengorbankan keberpihakan tersebut. Padahal efektivitas MBG di dalam meng-upgrade kualitas SDM belum bisa dipastikan juga hasilnya,” jelas Agus, kepada Tirto, Kamis (13/2/2025).

Untuk meningkatkan gizi anak dan menekan stunting, yang pada akhirnya juga memiliki tujuan akhir menciptakan SDM unggul, pemerintah dapat melaksanakan MBG dan juga tetap menyediakan bagi putra-putri bangsa secara bersamaan, tanpa menegasikan salah satunya. Dalam hal ini, efisiensi seharusnya dilakukan pada pos-pos yang memiliki elastisitas dampak rendah terhadap pemangkasan anggaran.

Pos-pos anggaran tersebut di antaranya, anggaran perjalanan dinas, kendaraan para pejabat, baju dinas para pejabat atau ASN, studi banding, maupun kegiatan kedinasan yang dilaksanakan di hotel-hotel berbintang atau tempat-tempat berbayar lainnya.

“Pos yang memiliki elastisitas dampak tinggi dari pemangkasan, maka tidak boleh dilakukan pemangkasan atau dilakukan pemangkasan yang tidak terlalu besar,” tegas Agus.

Sementara itu, kepada Tirto, Sekretaris Jenderal Kemendiktisaintek, Togar M. Simatupang, menegaskan bahwa anggaran beasiswa dikecualikan dari efisiensi. Hal ini pun telah disepakati pula oleh Komisi X DPR RI. Dengan pos-pos belanja yang mendapatkan persetujuan untuk dilakukan efisiensi telah selaras dengan Inpres 1/2025.

Tidak hanya itu, untuk mempertahankan agar anggaran pendidikan tak tersunat efisiensi terlalu dalam, Kemendiktisaintek masih akan membuka ruang efisiensi, baik melalui perubahan tata kerja yang lebih sederhana, lebih hemat, optimalisasi, dan pemanfaatan teknologi, sampai pada berbagi sumber, berbagi luaran, dan lain sebagainya.

“Isu BPI sedang berproses atau implementasi. Program yang sedang berjalan (ongoing) tetap dilaksanakan tidak ada interupsi,” kata Togar, melalui pesan singkat, Kamis (13/2/2025).

Baca juga artikel terkait PENDIDIKAN atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Farida Susanty