tirto.id - Seturut data World Health Organization (WHO), per tanggal 1 April 2020 pukul 12.30 WIB jumlah kasus COVID-19 di seluruh dunia yang terkonfirmasi mencapai 754.948 orang. Virus corona sudah menjangkiti 203 negara dan menewaskan 36.571 jiwa.
Hari-hari ini AS dan Italia adalah dua negara yang paling terpukul. WHO mencatat pasien COVID-19 di AS mencapai 140.640 dengan jumlah pasien meninggal 2.398 jiwa, sementara di Italia terdapat 101.739 pasien positif dengan jumlah kematian terbanyak di dunia yaitu 11.591 jiwa. Lalu ada Spanyol di urutan selanjutnya dengan 85.195 kasus terkonfirmasi dan 7.340 orang dilaporkan meninggal. Setelah wabah di Cina mereda, kini Eropa dan AS jadi episentrum baru pandemi COVID-19.
Sementara itu, per 1 April 2020 pukul 12.30, jumlah pasien positif COVID-19 di Indonesia telah menyentuh angka 1.528 kasus dengan jumlah orang meninggal sebanyak 136 jiwa (9 persen). Kabar baiknya, ada 81 orang dinyatakan sembuh.
Sebagai pembanding, pada Jumat pekan lalu hingga pukul 12.00, jumlah pasien positif mencapai 1.046, meninggal 87, dan sembuh 46. Angka kematian di indonesia lebih dari 8 persen atau jauh lebih tinggi dari rata-rata global 4 persen.
Sampai saat ini Provinsi DKI Jakarta masih menjadi penyumbang kasus positif COVID-19 terbanyak di Indonesia. Berdasarkan laman resmi corona.jakarta.go.id per 1 April 2020 pukul 12.30, jumlah kasus positif di ibu kota mencapai 794 pasien. Dari jumlah tersebut, 51 pasien sembuh dan 87 meninggal dunia.
Statistik kasus COVID-19 di Indonesia sampai saat ini masih bersifat dinamis. Seturut perhitungan Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi (P2MS) Institut Teknologi Bandung (ITB) puncak epidemi diperkirakan berlangsung pada pekan kedua hingga ketiga April. Di saat itu, diperkirakan bakal ada 600-an kasus positif baru setiap harinya.
Sementara akhir dari gelombang epidemi ini diperkirakan sekitar awal Juni. Namun hasil perhitungan itu bisa saja bergeser berdasarkan data-data terbaru yang masuk nantinya.
Meski klimaks dari gelombang pandemi ini dapat diperhitungkan, tapi virus SARS-CoV-2 jelas tidak serta merta menghilang saat itu juga. Setelah penularan bisa ditekan dan berbagai kebijakan pembatasan sosial dicabut, bisa jadi gelombang korona kedua akan meledak. Maka itu tantangan yang paling dekat adalah bagaimana menekan laju penularan virus corona baru ini.
Salah satu solusi yang kini sedang diusahakan adalah pembuatan vaksin COVID-19 oleh beberapa kelompok riset di beberapa negara.
Vaksin Konvensional
Vaksinasi sebetulnya adalah praktik kuno. Seribu tahun lampau orang Cina menggunakan teknik medis serupa vaksinasi untuk membangun kekebalan tubuh terhadap penyakit cacar. Mereka melakukannya dengan cara menghirup bubuk yang terbuat dari keropeng bekas cacar. Bisa juga dengan menorehkan nanah dari seorang penderita cacar ke orang sehat melalui sayatan kecil.
Mereka yang terpapar itu akan menunjukkan gejala cacar juga, tapi lebih ringan. Setelah pulih kembali biasanya mereka jadi resisten terhadap infeksi berikutnya. Dunia medis kini menyebut praktik ini sebagai inokulasi.
“Inokulasi dipraktikkan di Asia dan sebagian Afrika. Teknik itu mencapai Eropa dan Amerika melalui kisah-kisah dan pengalaman pelancong pada 1700-an yang menyebutnya sebagai variolasi (variolation), seturut sebutan cacar dalam bahasa Latin—variola,” tulis laman Science Museum UK.
Teknik inokulasi kuno ini lalu disaintifikasi oleh Dokter Edward Jenner dari Inggris pada 1796. Hasil eksperimennya terkait teknik ini ia dituangkan dalam makalah yang dikirim kepada Royal Society dan diterbitkan pada 1798. Dia jugalah yang menyebut teknik ini sebagai vaksinasi (vaccination) yang terilhami dari sebutan sapi dalam bahasa Latin, vacca.
Setelah melalui pengujian dan perdebatan para ahli medis, vaksinasi lantas diakui sebagai metode yang mangkus untuk menangkal serangan cacar. Lalu, pada 1853, vaksinasi menjadi praktik standar untuk program eradikasi cacar. Namun sejauh itu Dokter Jenner dan saintis umumnya belum sampai pada pemahaman bagaimana vaksinasi bekerja atau lebih lanjut menemukan musabab utama suatu penyakit.
Pemahaman akan kedua hal itu baru terang oleh riset ilmuwan Perancis Louis Pasteur pada 1880-an. Melalui Teori Kuman, Pasteur menyebut bahwa suatu penyakit bisa jadi disebabkan oleh mikroba yang menginfeksi manusia. Dia lantas menguji teorinya itu ketika menyelidiki biang epidemi antraks yang menghantam Perancis pada 1879.
Pasteur berhasil mengidentifikasi bakteri yang diyakini jadi penyebab antraks. Seturut Encyclopedia Britannica Pasteur lantas bereksperimen menerapkan metode vaksinasi seperti yang dikembangkan Dokter Jenner pada antraks. Caranya dengan melemahkan kemampuan replikasi kuman antraks itu. Hasilnya, kuman tidak bisa menyebabkan penyakit tapi cukup untuk memicu Sel B Memori membangun sistem kekebalan tubuh dan membuat antibodi jika terjadi infeksi ulang.
Inilah metode pembuatan vaksin pertama yang dikenal dunia. Maka itu tak heran jika di dunia sains medis dikenal adagium, “Edward Jenner adalah penemu vaksinasi dan Louis Pasteur menemukan vaksinnya.”
“Keuntungan metode ini adalah satu atau dua dosis vaksin saja bisa memberikan kekebalan yang bertahan seumur hidup. Sementara kekurangan vaksin ini adalah tidak bisa diberikan kepada orang dengan sistem imun yang lemah—seperti penderita kanker atau AIDS,” terang Dokter Paul A. Offit dari Children’s Hospital of Philadelphia.
Selain antraks, vaksin untuk untuk campak, gondong, rotavirus (penyebab diare pada balita), polio, cacar, dan influenza juga dibuat dengan cara ini.
Cara kedua untuk membuat vaksin juga diperkenalkan Pasteur ketika ia meneliti penyakit rabies pada 1882. Penyakit ini disebabkan oleh virus dan saat itu wawasan tentangnya masih sangat terbatas. Virus bukan mikroba hidup dan terlalu kecil untuk diamati mikroskop laboratorium biasa.
Karena itu Pasteur mencoba mengembangkan metode baru untuk membuat vaksinnya. Eksperimen Pasteur kali ini menghasilkan suatu virus yang dinetralkan atau dinonaktifkan dengan suatu bahan kimia, alih-alih sekadar dilemahkan. Hasilnya sama bagusnya dengan vaksin model pertama. Selain rabies, vaksin polio dan hepatitis A juga dibuat dengan cara ini. Vaksin dari virus atau bakteri nonaktif lebih aman bagi orang dengan imunitas rendah. Hanya saja diperlukan dosis yang lebih banyak agar vaksin ini efektif.
Selain kedua metode tersebut cara lain untuk membuat vaksin adalah dengan memanfaatkan bagian tertentu dari virus atau bakteri. Vaksin hepatitis B, misalnya, dibuat dari protein yang menjadi selubung inti virusnya. Atau juga vaksin difteri, tetanus, dan pertusis yang dibuat dari protein beracun alias toksin bakteri yang dinetralkan dengan bahan kimia tertentu.
Lalu bagaimana dengan vaksin COVID-19 yang kini sedang diteliti?
Prospek Vaksin mRNA untuk COVID-19
SARS-CoV-19 adalah virus yang benar-benar asing dengan virulensi yang tinggi. Sejak diidentifikasi pada Desember 2019, dalam tiga bulan ini ia telah menjangkiti ratusan ribu orang di seluruh dunia. Para saintis dipaksa bergerak cepat menciptakan vaksin sebelum virus ini jadi lebih fatal dan makin tidak terkontrol.
Maka itu vaksin SARS-CoV-19 yang kini sedang dikembangkan dibuat dengan metode yang lebih baru lagi: teknik messenger ribonucleic acid alias mRNA.
Secara sederhana, mRNA adalah molekul RNA buatan yang berisi kode antigen spesifik suatu penyakit. Ketika RNA buatan itu diinokulasikan ke tubuh, maka sel-sel sistem imun akan menggunakan kode itu untuk membuat antigen sendiri. Jadi vaksin mRNA ini sama sekali tidak melibatkan bakteri atau virus asli yang dilemahkan atau pun dinonaktifkan sebagaimana vaksin konvensional.
Studi terhadap potensi vaksin mRNA ini mulai diperkenalkan sekira 1989. Setahun kemudian telah terbit laporan pertama tentang keberhasilan penggunaan mRNA pada tikus. Beberapa vaksin mRNA untuk virus influenza, zika, dan rabies telah pula diuji coba kepada hewan di laboratorium.
Dalam ranah eksperimental, vaksin mRNA diklaim aman karena tidak menggunakan unsur-unsur infeksius. Proses pembuatannya pun lebih cepat, dapat distandardisasi, dan diskalakan sehingga bisa jadi solusi cepat ketika muncul epidemi penyakit baru.
“Riset bidang vaksin mRNA telah berkembang sangat pesat. Sejumlah besar data praklinis telah terakumulasi selama beberapa tahun terakhir, dan beberapa uji klinis manusia telah dimulai. [...] Data menunjukkan bahwa vaksin mRNA memiliki potensi bagi pengembangan vaksin untuk penyakit menular dan kanker,” tulis Norbert Pardi, Michael J. Hogan, Frederick W. Porter, dan Drew Weissman dalam “mRNA Vaccines: A New Era in Vaccinology” yang terbit di Nature Reviews Drug Discovery (2018).
Kini Amerika Serikat dan Cina dikabarkan tengah berlomba mengembangkan vaksin SARS-CoV-2 dengan teknik mRNA ini. Di Amerika Serikat, vaksin covid-19 dikembangkan oleh US National Institutes of Health (NIH) dan perusahaan bioteknologi Moderna Inc. Seturut rilisan kantor berita Associated Press (AP), saintis Amerika bahkan telah melakukan percobaan inokulasi ke manusia beberapa minggu lalu.
Sementara itu di Cina vaksin mRNA dikembangkan oleh Chinese Centre for Disease Control and Prevention bekerja sama dengan Universitas Tongji dan lembaga Stermina di Shanghai. Pada pertengahan April ini, usai melewati fase uji ke hewan, vaksin buatan tiga lembaga ini diperkirakan siap memasuki fase uji klinis.
South China Morning Post melaporkan bahwa vaksin itu adalah salah satu dari sembilan kandidat vaksin yang disiapkan beberapa lembaga riset kesehatan di Cina. Delapan kandidat vaksin lainnya masih dalam tahap menyelesaikan fase praklinis dan siap memasuki tahapan uji klinis juga pada pertengahan April.
Lain itu Jerman dan Israel juga dikabarkan sedang melakukan hal yang sama. Negara-negara ini mengarahkan penelitian mereka untuk sesegera mungkin menciptakan vaksin SARS-CoV-2 yang dapat diproduksi secara massal. Itu terdengar laiknya kabar bahagia, tapi sebenarnya masih ada tantangan eksperimental yang mesti dilampaui.
Para saintis masih harus memastikan vaksin mRNA ini tidak memicu efek samping yang berbahaya. Vaksin ini diketahui sangat tidak stabil dan mudah rusak, karena itu metode pengemasan dan penyimpanannya juga masih perlu diperhitungkan. Jadi, sampai vaksin itu benar-benar mangkus menangkal infeksi SARS-CoV-2, solusi terbaik yang bisa kita usahakan adalah tetap jaga jarak fisik, pakai masker ke manapun pergi, dan rajin cuci tangan.
Editor: Ivan Aulia Ahsan