tirto.id - Pada mulanya, internet adalah teknologi yang memungkinkan manusia untuk berjejaring dengan manusia lain tanpa hambatan jarak atau waktu. Kini, internet tak lagi menjadi sebuah teknologi komunikasi antar manusia, tapi ia menjadi ladang bisnis yang bisa menguntungkan.
Melalui penelitian yang dilakukan Global Connectivity Index (GCI) 2016, diketahui bahwa Indonesia termasuk negara dengan angka rata-rata konektivitas nasional yang terus membaik. Tahun ini Indonesia menempati peringkat 41, naik dua tingkat dari tahun lalu. Perbaikan peringkat ini terjadi setelah koneksi Internet transmisi data kecepatan tinggi (broadband) diluncurkan sehingga mempengaruhi pengembangan pusat data.
Secara umum, laporan GCI mengungkapkan bahwa konektivitas global meningkat sebesar 5 persen pada 2015. GCI mengukur perkembangan investasi dan penyebaran TIK untuk mewujudkan digitalisasi ekonomi di 50 negara berdasarkan 40 indikator, yang di antaranya meliputi ketersediaan, permintaan, pengalaman, dan potensi dari lima enabler teknologi, yaitu broadband, pusat data, cloud, big data, dan IoT.
Hasil dari penelitian ini juga menunjukkan investasi dalam infrastruktur digital berkaitan erat dengan pendapatan domestik bruto. Ini karena infrastruktur digital meningkatkan dinamika ekonomi, efisiensi, dan produktivitas. Pemerintah Indonesia semakin serius menggunakan TIK untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menerapkan solusi mobile yang dapat menambah penyerapan teknologi oleh masyarakat dan organisasi.
Pada 2007, Indonesia menargetkan sekitar 50 persen "melek" internet pada 2015 dari asumsi penduduk sekitar 257 juta jiwa. Saat itu, Indonesia sudah menandatangani deklarasi WSIS (World Summit on Information Society) di Jenewa tahun 2003 dan 2005 di Tunisia. Salah satu komitmen dari deklarasi, yaitu 50 persen penduduk dunia (termasuk Indonesia) tahun 2005 harus sudah memiliki akses informasi, salah satunya internet.
Secara umum peringkat melek internet di Indonesia lumayan baik. Tetapi jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Filipina, dan Brunei, Indonesia masih kalah. Ini disebabkan oleh infrastruktur internet yang belum merata. Di beberapa daerah di Indonesia, akses internet masih menjadi barang mewah.
Meski demikian, selama lima tahun terakhir perkembangan standar literasi media dan melek internet di Indonesia makin membaik. Salah satu indikatornya adalah waktu yang dihabiskan untuk mengakses internet setiap harinya. Waktu yang dihabiskan oleh masyarakat Indonesia untuk mengakses internet melalui laptop per harinya adalah 4,7 jam. Ini lebih tinggi daripada Malaysia (4,6 jam), Vietnam(4,6 jam), Meksiko(4,4 jam), Australia(3,6 jam), dan Kanada (3,8 jam). Selain itu penggunaan perangkat ponsel untuk mengakses internet juga tinggi. Waktu yang dihabiskan oleh masyarakat Indonesia untuk mengakses internet melalui mobile per harinya adalah 3,5 jam.
Lalu untuk apa saja internet digunakan? Dari riset yang dilakukan oleh Global Web Index pada 2014 – 2015 menunjukkan, waktu yang dihabiskan oleh masyarakat Indonesia untuk mengakses media sosial per harinya adalah 2,9 jam per hari. Ini lebih rendah daripada Filipina (3,7 jam), Brazil (3,3 jam), Argentina (3,2 jam), Malaysia (3 jam), dan Thailand (3 jam). Selain untuk media sosial, internet di Indonesia digunakan untuk ecommerce seperti browsing web toko-toko online. Ini menarik karena penetrasi pasar e-commerce di Indonesia adalah 27 persen.
Menurut penelitian GCI, penggunaan mobile broadband mengalami pertumbuhan cukup tinggi berkat semakin bertambahnya jumlah perusahaan telekomunikasi. Hal ini membuat pemerintah dapat menggalakkan penggunaan komputasi awan untuk usaha kecil dan menengah serta membuat TIK mentransformasi bisnis serta e-commerce. Penelitian itu juga menyebutkan Indonesia memiliki posisi pertumbuhan pendapatan domestik bruto yang kuat untuk beberapa tahun ke depan.
Riset GCI menyebutkan potensi besar Indonesia dalam pengembangan industri berbasis digital. GCI menyebut transaksi berbasis internet yang terjadi di Indonesia pada 2014 senilai 12 miliar dolar dan meningkat menjadi 20 miliar dolar pada 2015. Dengan angka semacam ini, pemerintah Indonesia serius mengembangkan sektor teknologi digital khususnya e-commerce.
Juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informasi Ismail Cawidu mengatakan, pasar e-commerce Indonesia memiliki pertumbuhan 50 persen per tahun. "Indonesia akan menjadi pasar e-commerce terbesar di Asia Tenggara pada 2020," katanya pada The Sunday Times
Diperkirakan pada 2030 kelas menengah di Indonesia akan mencapai 90 juta orang. Pasar ini tentu menggiurkan bagi pengusaha yang menjual produk barang dan jasa konsumtif. Boston Consulting Group menyebut bahwa kelas menengah di Indonesia merupakan penggemar promosi dan menyukai diskon. Lebih dari 60 persen kelas menengah mengaku menyukai diskon dan mencari promosi untuk kesenengan pribadi. Dalam hal ini bisa dalam bentu barang dan jasa seperti tiket pesawat atau pakaian.
Beberapa web di Indonesia yang berbasis e-commerce menunjukan lalu lintas pengunjung yang sangat tinggi. Berdasarkan situs peringkat SimiliarWeb beberapa situs di Indonesia menembus lebih dari satu juta pengunjung. Kaskus misalnya, situs yang menduduki peringkat #13 di Indonesia versi SimiliarWeb ini mendapatkan pengunjung lebih dari 20,4 juta pengunjung pada Agustus 2015, sementara OLX mendapatkan 14,10 juta pengunjung pada Agustus 2015, situs jual beli Lazada ada pada peringat 7 nasional dengan kunjungan 48,3 juta pengunjung pada waktu yang sama.
E-commerce di Indonesia bukannya tanpa masalah. Riset dari McKinsey menyebut konsumen di Indonesia merupakan brand loyal, artinya mereka hanya membeli dan mengkonsumsi produk yang telah dikenal dan jarang sekali berganti merek. Ini yang membuat pengusaha baru atau merek baru agak sulit berkembang. Persoalan lainnya adalah infrastruktur internet yang belum merata. Ada pula masalah pembayaran kartu kredit yang masih belum terintegrasi dengan baik, sehingga pembeli masih mesti bertransaksi via ATM.
Meski demikian pasar e-commerce di Indonesia masih bisa dikembangkan untuk mendapatkan konsumen yang lebih luas. Dengan memberikan harga termurah, atau ilusi tentang diskon yang besar, akan membuat para konsumen di Indonesia jadi tergiur dan akan membelanjakan uang mereka dengan lebih banyak. Pada 2015 untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, pembeli toko online di Indonesia membelanjakan uang mereka lebih banyak untuk kebutuhan pakaian dan sepatu daripada barang elektronik. Forbes memperkirakan tren ini akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang. Hal ini didasarkan dari riset dari Euromonitor International.
Susan Cunningham, kontributor Forbes untuk Asia Tenggara menyebut, Indonesia pada 2014 membelanjakan lebih dari 247 juta dolar atau sekitar Rp3,2 triliun untuk belanja ponsel, televisi, komputer dan gawai secara online. Sementara 151 miliar dolar atau sekitar Rp 1,9 triliun dibelanjakan untuk kebutuhan pakaian dan sepatu. Euromonitor memperkirakan, pada tahun ini angka belanja itu akan berubah. Diperkirakan Rp3,803 triliun akan dibelanjakan untuk pakaian dan sepatu, sementara Rp3,447 triliun untuk kebutuhan elektronik yang dibelanjakan secara online.
Jumlah pembeli secara online terus meningkat. Pada 2014 Indonesia memiliki 4,6 juta pembeli secara online, 2015 mencapai 5,9 juta pembeli. SingPost memperikirakan Indonesia akan mencapai 8,7 juta pembeli pada 2016 ini. Sebanyak 20 persen pembeli online masih akan mengakses situs belanja online konvensional seperti Lazada atau Zalora, sementara 26,4 persen lainnya akan mencari dan belanja via Facebook, Instagram atau Twitter. Sementara 26,6 persen sisanya masih akah memanfaatkan forum online seperti kaskus atau OLX, sisanya akan belanja melalui BBM, Whatsapp, atau line.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti