tirto.id - Presiden Joko Widodo resmi melantik menteri Kabinet Indonesia Maju untuk membantu dia dan Ma'ruf Amin menjalankan pemerintahan 2019-2024. Dari 38 orang yang ditunjuk Jokowi, tiga di antaranya merupakan ketua umum partai, yakni: Prabowo Subianto (Gerindra), Airlangga Hartarto (Golkar), dan Suharso Manuarfa (PPP).
Prabowo menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Airlangga ditempatkan sebagai Menteri Koordinator Perekonomian menggantikan Darmin Nasution, dan Suharso menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.
Ketua 2 Pusat Kajian Antikorupsi dan Kebijakan Pidana (CACCP) Iqbal Felisiano menilai tidak ada yang salah ketika ketua umum parpol menjadi menteri. Namun, Iqbal khawatir ketua umum partai bisa bersikap koruptif daripada kader partai.
"Kalau melihat dari prestasi beberapa menteri sebelumnya yang berasal dari ketua partai ini memang ada permasalahan yang cukup mendasar ya. Yang paling kuat adalah indikasi ada trading of influence yang mungkin bisa terjadi pada saat mereka menjadi ketua partai sekaligus menjadi menteri di kabinet," kata Iqbal kepada reporter Tirto, Rabu.
Iqbal mengatakan, ketua umum partai lebih rentan korup karena punya kewenangan besar sebagai pemimpin parpol. Di sisi lain, ketua partai memiliki tanggungan agar partai tetap berjalan. Para ketua partai bisa mendagangkan pengaruhnya demi kepentingan partai.
"Kalau anggota melepas atribut partainya mungkin dia akan lebih objektif dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sehingga yang dipentingkan adalah tugas berjalan dengan baik, prosesnya juga dijalankan sesuai prosedur, tapi kalau ketua partai ada kecenderungan dia akan berpikir untuk masalah-masalah kemaslahatan partai juga," kata Iqbal.
Dalam catatan Tirto, tidak sedikit ketua umum partai terjerat korupsi. Sebut saja eks Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, eks Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq, eks Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto, eks Ketua Umum PPP Suryadharman Ali, eks Ketua Umum PPP Romahurmuzy, serta eks Plt. Ketua Umum Partai Golkar Idrus Marham.
Selain nama yang sudah jadi pesakitan KPK, adapula beberapa ketua umum partai yang diduga terlibat kasus, seperti eks Ketua Umum PAN Hatta Radjasa yang disebut korupsi kereta hibah Jepang, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dalam kasus dugaan suap pembahasan anggaran untuk dana optimalisai Direktorat Jenderal Pembinaan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi (P2KT) saat masih menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tahun 2012.
Airlangga Hartarto juga diseret-seret dalam kasus suap terkait kerja sama pembangunan PLTU Riau-1. Eni Maulani Saragih saat menjadi saksi dalam sidang dengan terdakwa pemegang saham PT Blackgold Natural Resources Johannes B Kotjo menyebut nama Airlangga.
Dalam persidangan itu, Eni mengaku pernah ada pertemuan di rumah Airlangga yang dihadiri oleh dirinya, Johannes Kotjo, mantan Sekjen Golkar Idrus Marham, dan Ketua Fraksi Golkar di DPR Melchias Marcus Mekeng.
Namun, dari nama-nama para ketua umum di pusaran kasus korupsi itu, tapi hanya Suryadharma Ali yang terjerat kasus saat jadi ketua umum merangkap menteri. Ia terjerat kasus korupsi dana haji. Suryadharma divonis bersalah dan dihukum 10 tahun penjara karena merugikan negara hingga di atas Rp27 miliar lebih.
Di era Jokowi sendiri, setidaknya dua ketua umum pendukung pemerintah terjerat korupsi, yakni Setya Novanto dan Romahurmuzy. Setya Novanto terjerat kasus e-KTP yang terjadi sebelum menjadi ketua umum, tapi diproses hukum saat menjadi ketum partai dan ketua DPR RI.
Sementara Romahurmuzy menjadi terdakwa dalam kasus suap jual-beli jabatan di Kementerian Agama. Ia ditetapkan sebagai tersangka dan diproses hukum karena menjual pengaruh dengan meminta menteri dari PPP Lukman Hakim agar meloloskan orang yang ia inginkan menjadi pejabat di Kemenag.
Iqbal mengatakan, memang tidak semua ketua umum partai terlibat kasus korupsi ketika menjabat sebagai menteri. Akan tetapi, kata dia, ketum partai berpotensi kuat untuk menggunakan pengaruhnya untuk kepentingan parpol.
Ia mencontohkan menteri berlatar belakang ketua umum partai bisa menyalahgunakan kekuasaan dengan menunjuk pemenang tender berlatar belakang partainya sendiri. “Selain itu potensi suap dan lain sebagainya masih ada,” kata Iqbal.
Iqbal memandang, satu-satunya cara untuk mencegah para ketua umum partai agar tidak korup dengan menguatkan pengawasan. Tanpa pengawasan ketat, kata dia, para ketua umum partai bisa menyalahgunakan wewenang demi kepentingan partai.
Pesan Jokowi: “Jangan Korupsi”
Presiden Jokowi tampaknya sudah mengantisipasi potensi korupsi di Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024. Meski tidak spesifik, Jokowi menyelipkan pesan agar menteri yang dipilih tidak korupsi.
“Pertama, jangan korupsi,” tegas Jokowi usai membacakan nama kabinetnya di Istana Negara, Jakarta Pusat, Rabu (23/10/2019).
Jokowi juga mengajak agar para menteri membangun sistem antikorupsi sehingga tidak ada kasus korupsi di kementerian.
Selain itu, Jokowi juga tidak menyoalkan posisi menteri yang diisi oleh ketua umum. Mantan Wali Kota Solo itu, menteri berlatar belakang ketua umum maupun bukan tidak masalah. Ia yakin para ketua umum partai bisa membagi tugas, meski diberi amanah sebagai menteri.
“Saya melihat yang paling penting adalah bisa membagi waktu dan ternyata juga tidak ada masalah. Dari pengalaman itulah kami memutuskan bahwa baik ketua partai maupun yang ada di struktur partai bisa merangkap," kata Jokowi.
Salah satu menteri yang juga ketua umum partai, Suharso Monoarfa memastikan dirinya tidak akan korupsi. Ia akan memegang amanah Jokowi untuk tidak korup.
“Oh ya tentu itu [tidak korup]. Harus tidak boleh ada lagi," kata Suharso singkat di Istana Negara usai pelantikan, Rabu (23/10/2019).
Sementara Airlangga mengatakan akan menjaga integritas untuk tidak korupsi. Ia memastikan amanah Jokowi tentang tidak korup dijalankan dengan baik.
“Itu harus dijalankan,” kata Airlangga di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu.
Airlangga menegaskan, dirinya tidak akan mengalami conflict of interest saat menjadi menteri dan ketua partai. Ia mengingatkan kalau presiden tidak menyoalkan statusnya sebagai ketua umum partai dan menteri.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz