Menuju konten utama

Pornografi di Nepal Diblokir karena Hukum Gagal Adili Pemerkosa

Perkosaan adalah masalah besar bagi masyarakat Nepal. Tumpulnya hukum dan budaya patriarki jadi pelanggengnya.

Pornografi di Nepal Diblokir karena Hukum Gagal Adili Pemerkosa
Ilustrasi sensor internet. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Juli lalu, Nirmala Panta (13 tahun) ditemukan tewas setelah diperkosa di Kanchapur, Nepal. Beberapa bulan kemudian, gadis berusia 10 tahun diperkosa dan dihabisi nyawanya oleh lima orang laki-laki. Dua tahun sebelumnya, Puji Saha (6 tahun) tak tertolong kendati perawatan intensif sudah dilakukan. Saha masuk rumah sakit usai diperkosa.

Rentetan perkosaan tersebut seketika bikin publik Nepal gempar dan memicu protes besar. Publik menuntut polisi mengusut tuntas kasus-kasus tersebut. Tuntutan publik direspons dengan kebijakan sarat kontroversi: memblokir konten pornografi.

Diwartakan Al Jazeera, kebijakan ini dirilis pemerintah Nepal pada Jum’at (5/10). “Akses mudah ke konten porno lewat internet telah memengaruhi nilai sosial dan mendorong kekerasan seksual,” demikian pernyataan resmi pemerintah. Ada sekitar lebih dari 24 ribu “situs porno” yang bakal diblokir pemerintah.

Telah Mengakar

Mengutip South China Morning Post, selama tiga tahun belakangan jumlah kasus perkosaan di Nepal meningkat tajam, dari 1.093 kasus menjadi 1.677 kasus pada 2017. Sebanyak 60 persen korbannya adalah gadis di bawah usia 16 tahun.

Perkosaan dan kekerasan seksual di Nepal adalah problem akut. Jejaknya sudah ada sebelum kasus Nirmala, tepatnya saat negeri Himalaya itu dilanda perang sipil antara tentara pemerintah dan gerilyawan komunis selama satu dekade.

Dalam laporan berjudul “Silenced and Forgotten: Survivors of Nepal’s Conflict-Era Sexual Violence” (2014), Human Rights Watch menyatakan konflik tersebut merenggut lebih dari 13 ribu jiwa dan menyebabkan setidaknya 1.300 orang hilang. Hingga perjanjian damai diteken pada 2006, militer Nepal dan Partai Komunis bertanggungjawab atas pelanggaran berat HAM, termasuk kekerasan seksual.

Laporan HRW menyebutkan, militer dan kelompok komunis sama-sama punya andil dalam melancarkan serangan fisik, verbal, dan seksual terhadap para anak-anak dan perempuan dewasa. Militer memerkosa perempuan gerilyawan komunis yang ditangkap, menyasar kerabat mereka, atau siapapun yang diyakini sebagai pendukung Partai Komunis karena menyediakan logistik dan tempat berlindung. Sebaliknya, kelompok komunis memerkosa perempuan yang menolak tunduk pada partai.

Perkosaan, catat HRW, dilakukan oleh pelaku tunggal dan bergerombol. Tak cuma memperkosa, para pelaku juga terkadang memaksa korban melakukan masturbasi, seks oral, anal, dan yang paling miris: memasukkan benda-benda asing seperti bubuk garam dan cabai ke organ vital korban. Usai diperkosa, korban diancam agar tidak buka mulut.

Rekha, misalnya, sebelum diperkosa kombatan komunis pada 2003, dipukuli habis-habisan sampai kulit dari dahi dan kepalanya terlepas. Sementara Gayatri, anak di bawah umur, diperkosa militer hingga organ vitalnya mengalami pendarahan.

Peristiwa tragis tersebut meninggalkan trauma mendalam bagi para korban. Situasi jauh bertambah buruk tatkala para korban tidak memperoleh layanan pengobatan medis hingga trauma healing yang dibutuhkan. Stigma dari masyarakat dan pekerja kesehatan kian memperkeruh nasib para korban perkosaan di Nepal.

Pada 2013, pemerintah Nepal, sesuai instruksi Mahkamah Agung, membentuk Komisi Penyelidikan Orang Hilang, Kebenaran, dan Rekonsiliasi. Tujuannya: mengusut tuntas pelanggaran HAM berat yang terjadi selama Perang Sipil. Pintu untuk mencari keadilan terbuka lebar.

Namun, upaya tersebut tak kunjung mendatangkan hasil yang signifikan. Pelaku masih bebas berkeliaran. Para korban juga tetap hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan trauma.

Mengambinghitamkan Pornografi

Perkara blokir konten porno di Nepal telah membuat suara masyarakat terbelah. Arun Budhathoki dalam “Nepal Looks to a Porn Ban to Stem Violence Against Women” yang terbit di The Diplomat pada Oktober 2018 menjelaskan, sebagian pihak yang mendukung kebijakan ini beralasan bahwa konten porno memberikan efek buruk bagi psikologi orang banyak sehingga mendorong munculnya perilaku seksis dan kekerasan seksual.

Di lain sisi, mereka yang tak sepakat berpandangan blokir cuma jadi kedok pemerintah untuk membatasi kebebasan di era internet. Proses blokir yang tidak dilakukan transparan—termasuk mendefinisikan bagaimana sebuah konten bisa dianggap memuat hal-hal porno—justru membikin masyarakat lebih beringas lagi dalam mencari sumber yang lain.

Lewat editorial bertajuk “Republic of Rape,”Nepali Times mengatakan ganjalan utama yang menyebabkan kasus perkosaan terus terjadi di Nepal adalah ketiadaan payung hukum yang tegas. Sejauh ini, undang-undang yang ditujukan untuk memutus mata rantai kekerasan seksual terhadap perempuan baru digodok di parlemen dan belum menunjukkan tanda-tanda bakal diloloskan.

Selain itu, pemerintah Nepal juga nampak tidak keras dalam mengambil tindakan untuk menghukum para pelaku. Tak jarang, pelaku perkosaan dijatuhi vonis yang ringan dan masalah perkosaan diselesaikan secara "kekeluargaan". Menurut polisi, cara "kekeluargaan" ditempuh agar “tidak menimbulkan keributan yang luas di masyarakat.”

Pemerintah dan aparat juga seringkali menyalahkan korban dan mengabaikan trauma berat yang mereka derita. Soal ini bisa dilihat ketika polisi melayangkan pertanyaan yang menyudutkan kepada korban dalam proses penyelidikan.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah edukasi mengenai kekerasan seksual. Ketiadaan penyuluhan tentang isu kekerasan seksual di Nepal menyebabkan cap buruk gampang melekat pada korban. Selama ini, di Nepal dan banyak negara lain termasuk Indonesia, korban perkosaan kerap dipandang miring, selain juga dianggap bersalah atas kasus yang menimpa mereka (misalnya, anggapan bahwa perempuan berpakaian seksi sehingga diperkosa). Akibatnya, korban terkucilkan. Proses penyembuhan secara psikologis maupun medis pun tidak terlaksana dengan baik.

Beberapa tahun terakhir, India dikenal sebagai "Ibukota Perkosaan Dunia" akibat tingginya kasus perkosaan di negeri tersebut. Data Biro Kejahatan Nasional (NCRB) menyebutkan, tiap enam jam, seorang perempuan India diperkosa. Pornografi, lagi-lagi, diduga sebagai faktor pendorong perkosaan. Pornografi dinilai merendahkan perempuan, yang sering menjadi korban perkosaan. Tapi, benarkah pornografi secara langsung memicu perkosaan?

Saresh Bada Math dkk dalam "Sexual Crime in India: Is It Influenced by Pornography" (2014) yang dipublikasikan Indian Journal Psychology Medicine menerangkan bahwa tidak ditemukan hubungan positif antara pornografi dan maraknya kasus perkosaan. Pornografi berperan sekadar menjadi media pelepas birahi (dengan masturbasi usai menonton), mengingat pembicaraan terbuka tentang seks masih dianggap "tabu" di India. Ketika mereka sudah melepaskan hasratnya lewat masturbasi, maka kemungkinan untuk bertindak agresif pun berkurang. Argumen bahwa pornografi adalah penyebab utama perkosaan merupakan jualan media dan politikus.

Infografik Nepal dan Blokir Konten Porno

Indikator lain yang menegaskan bahwa pornografi bukan penyebab maraknya perkosaan (yang umumnya dilakukan oleh laki-laki) adalah fakta bahwa konten porno juga dikonsumsi oleh perempuan. Pada 2006, PornHub membuka statistik pengunjungnya yang menyatakan bahwa 30 persen pengunjung perempuan kanal porno kenamaan itu berasal dari India.

"Jelas tidak ada hubungan antara pornografi dan hal-hal yang sifatnya negatif," ungkap Milton Diamond, direktur Pacific Center for Sex and Society University of Hawaii at Manoa, mengutip Scientific American. "Ini isu moral, bukan isu faktual."

Menutup konten porno hanya menyapu kotoran ke bawah karpet. Kebijakan semacam itu tidak betul-betul menuntaskan gelombang perkosaan hingga ke akar-akarnya, karena perkosaan lahir langgengnya kultur patriarkis di tengah masyarakat.

“Memblokir konten porno hanyalah taktik pengalihan dari pemerintah untuk menyembunyikan ketidakmampuan mereka dalam menuntut para pemerkosa,” jelas Shubha Kayastha dari Internet Society Nepal.

Baca juga artikel terkait KEJAHATAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Hukum
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf