tirto.id - Pada Minggu, 15 Januari 2023 masyarakat Nepal berduka atas musibah kecelakaan pesawat jenis ATR 72-500 yang mengakibatkan 68 penumpang meninggal dunia, dan 4 orang penumpang lainnya masih dalam proses pencarian.
Pesawat yang dioperasikan oleh maskapai Nepal, Yeti Airlines, jatuh di dekat kota Pokhara, wilayah Nepal Tengah. Pejabat pemerintah setempat menyampaikan bahwa inseden ini merupakan kecelakaan pesawat paling mematikan di Nepal dalam lebih dari 30 tahun, dikutip dari CNN.
Musibah pesawat mematikan sebelumnya tercatat pada Juli dan September tahun 1992 yang menewaskan masing-masing 113 dan 167 korban jiwa.
Industri penerbangan Nepal diketahui telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, akan tetapi menghadapi kendala keamanan karena pelatihan dan pemeliharaan yang tidak memadai. Dilansir dari The Guardian, Uni Eropa bahkan telah melarang semua maskapai penerbangan Nepal dari wilayah udaranya karena masalah keamanan.
Pada Mei 2022 maskapai Nepal Tara Air mengalami kecelakaan dan menewaskan semua penumpangnya yang berjumlah 22 orang. Kemudian pada Maret 2019, sebanyak 55 orang tewas saat pesawat AS-Bangla Airlines jatuh di dekat Kathmandu.
Berdasarkan data pelacak penerbangan yang ditelusuri tim reportase The Guardian, jenis pesawat ATR 72-500 berusia 15 tahun dan dilengkapi transponder tua dengan data yang tidak dapat diandalkan. Sementara itu Aviation Safety Network mencatat bahwa setidaknya pesawat dengan kategori ATR 72 terlibat dalam 11 insiden fatal, sebelum kecelakaan hari Minggu di Nepal.
Industri penerbangan dunia sejatinya tidak pernah lepas dari berita duka atau insiden pesawat jatuh yang melukai penumpangnya. FlightGlobal mencatat pada tahun 2022 terdapat 12 kecelakan fatal yang menyebabkan 229 orang meninggal.
Statista mengungkapkan bahwa jumlah korban tewas akibat perjalanan udara cenderung menunjukkan tren penurunan seiring dengan peningkatan volume lalu lintas penerbangan yang tumbuh 66% sejak tahun 2004.
Faktor Penyebab Kecelakaan Pesawat
Pesawat ATR-72 yang jatuh di Nepal bukanlah jenis pesawat yang memiliki track record buruk. Hal ini mengingat semenjak penerbangan pertamanya di tahun 1988, ATR-71 hanya mencatatkan total 12 insiden kecelakaan yang berakibat fatal dalam kurun waktu 36 tahun.
Hal ini berbeda dengan pesawat rakitan asal Amerika Serikat (AS), yakni Boeing dan Airbus. Berdasarkan penelusuran executiveflyers, pesawat jenis Boeing 737 yang perdana terbang tahun 1967 menjadi pesawat yang paling sering menorehkan catatan hitam. Pesawat jenis ini terlibat pada setidaknya 149 kecelakaan dengan jumlah korban tewas hingga 4.360 jiwa. Selain Boeing 737, ada empat jenis pesawat lainnya yang membukukan jumlah korban tewas yang cukup tinggi.
Meskipun demikian, perlu diingat bahwa kelima jenis pesawat Boeing dan Airbus tersebut juga merupakan pesawat dengan jumlah penjualan terbanyak dan jam terbang yang tinggi. Oleh karena itu, probabilitas kelima pesawat tersebut mengalami kecelakaan juga lebih besar.
Di lain pihak, pesawat keluaran Boeing juga merupakan salah satu pesawat dengan masa pelayanan cukup lama. Sebagai contohnya adalah pesawat Boeing 757 yang merupakan produk keluaran tahun 1982.
Melansir penelusuran JSI, Boeing 757 yang dimiliki oleh maskapai Delta Airlines asal Amerika Serikat. Hingga saat ini, pesawat itu masih beroperasi dengan baik karena didukung oleh pemeliharaan dan pembaharuan teknologi.
Jika mempertimbangkan temuan tersebut, secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa jenis pesawat tidak memengaruhi probabilitas terjadinya kecelakaan. Menurut Plane Crash Info penyebab utama kecelakaan pesawat terbagi dalam lima kategori, yakni kesalahan pilot, mekanik, cuaca, sabotase, dan penyebab lain.
Grafik di atas menunjukkan bahwa kesalahan pilot merupakan penyebab tertinggi kecelakaan pesawat setidaknya dalam 60 tahun terakhir, kemudian diikuti oleh kesalahan mekanik. Alhasil dapat ditarik kesimpulan bahwa maskapai memiliki peran signifikan untuk meminimalisir risiko tersebut. Hal ini dikarenakan pelatihan pilot dan pemeliharaan pesawat merupakan tanggung jawab maskapai.
Kompensasi Kecelakaan Pesawat
Anggota keluarga yang meninggal akibat kecelakaan pesawat tentu tidak dapat digantikan oleh apapun. Meskipun demikian, sebagai bentuk belasungkawa dan simpati kepada keluarga yang berduka, pemerintah dan pihak maskapai penerbangan telah berkomitmen untuk memberikan bantuan ekonomi dengan nominal yang sudah ditentukan.
Salah satu konsultan hukum internasional, Keystone Law, mencoba menganalisis nominal kompensasi atas hilangnya nyawa akibat kecelakaan pesawat. Data yang dianalisis berasal dari kasus klaim penerbangan internasional selama 30 tahun (1992-2021), termasuk data asuransi, data putusan, dan penyelesaian sengketa yang diterbitkan.
Nilai kompensasi atas hilangnya nyawa pada setiap negara bervariasi. Merujuk pada figur di bawah ini, pengadilan AS tercatat memberikan jumlah kompensasi paling tinggi dengan nilai rata-rata sebesar USD5,2 juta atau setara Rp78,52 miliar (asumsi kurs Rp 15.100 per dolar).
Keystone Law mengungkapkan nominal kompensasi di Negeri Paman Sam cukup tinggi karena dipengaruhi oleh akses terhadap keadilan juri, dan budaya yang mengakui kompensasi tak terbatas untuk kehilangan dan trauma emosional.
Sumber: Keystone Law
Sementara itu di negara lain, sebagian besar klaim penerbangan ditangani oleh hakim tanpa juri, dan ada beberapa negara yang memiliki aturan hukum atas kompensasi kematian.
Undang-undang (UU) di Inggris membatasi kompensasi kematian dengan nilai maksimal £15.120 atau setara dengan Rp278,21 juta (asumsi kurs Rp18.400 per poundsterling). Pemberian kompensasi juga harus didasarkan pada ketergantungan finansial yang dapat dibuktikan.
Indonesia memiliki sistem yang serupa dengan Inggris. Di sini, nominal kompensasi akibat kecelakaan pesawat diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Besaran kompensasi yang didapat adalah sebagai berikut:
- Penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat udara diberikan ganti rugi sebesar Rp1,25 miliar per penumpang
- Penumpang yang meninggal dunia pada saat proses meninggalkan ruang tunggu menuju pesawat atau proses turun dari pesawat mendapat santunan senilai Rp500 juta per penumpang
- Penumpang yang mengalami resiko cacat total paling lambat 60 hari sejak kejadian mendapat ganti rugi sebesar Rp1,25 miliar per penumpang
- Penumpang yang mengalami resiko cacat sebagian paling lambat 60 hari sejak kejadian mendapat santunan maksimal Rp150 juta. Misalnya kehilangan satu mata, kompensasi Rp150 juta, Ibu jari tangan kanan Rp125 juta, dll.
- Penumpang yang mengalami luka-luka mendapat uang pertanggungan maksimal Rp200 juta per penumpang.
Editor: Nuran Wibisono