tirto.id - Bayangkan Anda memiliki memori soal fantasi seksual, tapitidak bisa membuat Andaterangsang. Begitulah gambaran reaksi tubuh Anda ketika menerima antiandrogen, jenis obat yang diberikan untuk menghambat aktivitas hormon seksual. Selain untuk keperluan medis biasa, jenis obat ini juga diberikan untuk hukuman kebiri kimia.
Dalam artikel “What It’s Like to Be Chemically Castrated” yang terbit di laman The Cut, jurnalis Alexa Tsoulismengisahkan pengalaman seorang pria berusia 62 tahun dari Massachusetts, Amerika Serikat, yang menerima suntikan Lupron. Lupron atau leuprorelin atau leuprolida merupakan hormon buatan untuk pengobatan kanker prostat, endometriosis, kanker payudara, fibroid uterin, dan pubertas awal.
Lupron termasuk golongan zat yang digunakan untuk kebiri kimia karena punya efek samping menekan libido. Ia diberikan kepada seseorang lewat injeksi ke bagian otot atau dalam kulit, seperti pada pantat atau perut.
“Saat disuntikkan ke pantat, saya terkejut karena bahan kimianya terasa menyengat perlahan. Sakit,” ungkap pria itu.Dia memutuskan menerima injeksi lupron untuk menekan hasrat seksual karena ketagihan “main”dengan pekerja seks. Pria itu mengaku telah melakukannya lebih dari 50 kali dalam delapan tahun.
Dia memutuskan injeksi lupron secara sadar karena ingin mempertahankan hubungan rumah tangganya. Untuk itu, sang istri mensyaratkan terapi hormonal. Setelah dua kali injeksi, pria itu menyadari hasrat seksualnya berkurang. Meski begitu, dia masih bisa ereksi sampai beberapa bulan kemudian.
Setelah seluruh proses terapi hormonal selesai, pria itu masih punya ketertarikan fisik pada perempuan, memiliki fantasi, dan memori seksual. Namun, penisnya tak bisa ereksi.
Sekitar dua tahun lalu, pengalaman serupa juga pernah saya rasakan saat mendapat injeksi lupron untuk terapi endometriosis. Setiap bulan, selama setengah tahun, saya harus menerima terapi hormonal guna menekan perkembangan kista endometriosis.
Hanya saja, saya menerima lima kali injeksi lupron di bagian perut dekat pusar. Baru sisanya di daerah pantat. Saat diinjeksi rasanya sama persis seperti cerita pria dari Massachusetts itu. Saya bisa merasakan perih yang menjalar di bagian bawah kulit karena pelan-pelan zat tersebut masuk ke dalam tubuh.
Sekitar 15-30 menit kemudian, area yang diinjeksi akan terasa pegal dan sakit saat disentuh. Rasa tak nyaman itu lalu menjalar ke bagian punggung.
“Selama terapi akan ada penurunan libido dan vagina jadi lebih kering. Dibikin jadi menopause dini-lah intinya,” begitu dokter kandungan saya menjelaskan kala itu.
Untuk mengurangi efek osteoporosis akibat injeksi lupron, dokter meresepkan vitamin D dan kalsium. Gejala lain yang saya rasakan pascaterapi meliputi depresi ringan, hot flushes, dan berhenti menstruasi.
Sementara itu, menurut studiLee Joo Yong dan Cho Kang Su dari Yonsei University College of Medicine yang terbit di Journal of Korean Medical Science (2013) kebiri kimia memiliki efek jangka panjang lain berupa gangguan kardiovaskular, metabolisme glukosa, lipid, infertilitas, dan anemia.
Kebiri Kimia atau Kebiri Bedah?
Praktik pengebirian pada manusia punya sejarah panjang dan buruk. Buku berjudul Castration and Culture in the Middle Ages(2013) mengungkap, Kekaisaran Romawi sudah biasa mempekerjakan budak-budak yang dikebiri sejak abad pertama sebelum masehi.
Pada abad ke-19 di Amerika, seorang dokter bernama Harry Sharp mengebiri hampir 200 narapidana agar tak mengulangi tindak kejahatannya. Upaya kebiri kimia pertama dengan manipulasi hormonal dilakukan di tahun 1944, ketika diethylstilbestrol diresepkan untuk menurunkan kadar testosteron.
Kebiri bedah yang dilakukan dengan operasi invasif pengangkatan sebagian testis secara permanen untuk menghentikan produksi hormon seksual. Prosedur ini masuk dalam kategori mutilasi karena memotong atau menghilangkan anggota tubuh yang penting.
Sementara kebiri kimia dilakukan dengan cara memasukkan zat tertentu ke tubuh untuk memanipulasi hormon seksual. Manusia memiliki kumpulan hormon yang disebut androgen, dengan testosteron sebagai hormon paling aktif dan dominan.
Pada pria hormon ini diproduksi di testis, sementara pada perempuan terdapat di ovarium. Normalnya, pria memiliki jumlah testosteron lebih banyak. Androgen punya tugas menjaga tulang dan organ reproduksi, termasuk mengatur libido dan siklus menstruasi.
“Beberapa penelitian menyebut pelaku kejahatan seksual memiliki lebih banyak hormon androgen dibanding kelompok umum. Tingkat androgen berkorelasi dengan kekerasan dan tingkat keparahan agresi seksual. Namun, hubungan sebab-akibat yang jelas antara kadar testosteron dan gangguan seksual masih belum pasti,” tulis Lee dan Cho dalam laporan studinya.
Obat antiandrogen yang digunakan dalam kebiri kimia menghalangi kelenjar pituitari di otak agar tidak mengirim sinyal produksi testosteron. Sederhananya, ia membuat produksi testosteron terhenti. Zat antiandrogen termasuk leuprorelin, siproteron asetat, dan medroksiprogesteron asetat telah digunakan beberapa negara—di antaranya Amerika, Kanada, dan beberapa negara Eropa—untuk kebiri kimia.
Negara Bagian Alabama, misalnya, memilih medroksiprogesteron asetat sebagai syarat pembebasan pelaku kejahatan seksual pada anak usia di bawah 13 tahun. Sementara itu, di negara seperti Swedia, Prancis, dan Jerman, kebiri kimia diajukan sebagai penawaran dan harus melewati persetujuan pelaku kejahatan seksual.
Kebiri kimia juga menjadi hukuman wajib di Polandia dan Korea Selatan. Lain halnya Jerman dan Republik Ceko yang masih menerapkan kebiri bedah alias pengangkatan testis melalui operasi (orchiectomy).
Efektivitas Kebiri Kimia
Hukuman kebiri kimia di Indonesia telah dilegalkan sejak 2016 lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2016 tentang Perlindungan Anak. Pada 2019, hukuman pertama kebiri kimia dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto kepada pelaku pemerkosaan anak Muh Aris.
Namun, putusan tersebut tidak dieksekusi karena ketiadaan petunjuk teknis. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga menolak menjadi eksekutor karena hukuman ini dianggap melanggar kode etik. Pergulatan tentang kebiri kimia di Indonesia sampai juga pada 7 Desember 2020, ketika Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah Nomor 70/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak.
Pasal 2 ayat 1 PP ini menyatakan, “Segala tindakan kebiri kimia, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi dikenakan terhadap pelaku persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.”
Ada pengecualian hukuman pada Pasal 6, pelaku anak tidak dapat dikenakan tindakan kebiri kimia dan tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Selain dikebiri, identitas pelaku kekerasan seksual berupa nama, foto, nomor induk kependudukan (NIK), tempat-tanggal lahir, domisili terakhir, dan jenis kelamin diumumkan ke publik paling lama tujuh hari kerja setelah selesai menjalani pidana pokok.
Dalam PP juga termaktub pelaksanaan kebiri kimia maksimal berjalan selama 2 tahun. Ya, prosedur kebiri kimia memang tidak permanen. Pascainjeksi hormon dihentikan, maka kondisi tubuh akan berangsur normal. Dalam kasus saya—yang menggunakan lupron sebagai terapi endometriosis, menstruasi kembali datang satu bulan pascainjeksi dihentikan.
Lantas, seberapa efektif kebiri kimia menghukum pelaku kejahatan seksual?
Sebuah studi yang terbit di Journal of Sexual Medicine (2014) memaparkan hasil pengamatan frekuensi pikiran seksual dan masturbasi pada dua kelompok yang diinjeksi leuprolide asetat selama tiga dan enam bulan. Hasilnya, frekuensi pikiran seksual berkurang 71-78 persen. Kemudian, frekuensi masturbasi menurun hingga 74-83 persen.
Sebelumnya, Nikolaus Heim (1981) meneliti 36 pelaku kejahatan seksual yang dikebiri secara sukarela di Jerman Barat. Dia melaporkan bahwa frekuensi senggama, masturbasi, dan pikiran seksual sangat berkurang setelah pengebirian. Namun, 31 persen pelaku masih merasakan dorongan seks dan mampu melakukan hubungan seksual.
“Tampaknya, efek kebiri hanya berpengaruh kuat pada pria berusia antara 46 dan 59 tahun,” demikian tertulis dalam studi Heim.
Laporan penelitian Lee dan Cho juga mendukung studi Heim itu. Kebiri memang mengurangi tingkat residivisme, tapi sangat rendah. Kebiri bedah hanya berpengaruh sekitar 2-5 persen saja. Selain itu, terdapat kelemahan lain terkait beban sosial ekonomi negara.
Satu kasus kebiri kimia dengan injeksi euprolide asetat per tiga bulan membutuhkan biaya mencapai lima juta won atau setara Rp63 juta. Penelitian ini menggarisbawahi adanya faktor psikologis—selain masalah hormonal semata—yang berkontribusi pada kejahatan seksual.
Hormon memang bisa dimanipulasi, tapi pengalaman seksual tetap terekam dalam pikiran. Ada baiknya pemerintah mempertimbangkan sisi itu sebelum menerapkan hukuman, di samping juga fokus untuk menangani pemulihan para korban.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi