Menuju konten utama

Popkov: Polisi di Siang Hari, Pembunuh Berantai di Malam Hari

Satu kehidupan Mikhail Popkov adalah penegak hukum. Kehidupan lainnya adalah pembunuh berantai.

Popkov: Polisi di Siang Hari, Pembunuh Berantai di Malam Hari
Mikhail Popkov. FOTO/Wikipedia

tirto.id - ((trigger warning))

Polisi akrab dengan kekerasan sudah biasa. Polisi membunuh warga sipil atau penjahat dan menembak sembarangan tentu tak lagi mengejutkan. Namun ada polisi yang ekstrem di Rusia. Ia membunuh sekitar 80-an orang karena menganggap mereka pendosa. Ini membuatnya menjadi pembunuh berantai terburuk sepanjang sejarah Rusia.

Orang menjulukinya werewolf karena kerap mengeksekusi korban pada malam hari. Korban bukan hanya dibunuh, tapi juga dimutilasi. Hal ini ia lakukan antara 1992 sampai 2010. Sebagian terjadi saat ia masih berstatus polisi. Ia baru berhenti pada 1998 dan beralih profesi menjadi satpam.

Namanya Mikhail Popkov. Saat ini dia menginjak usia 58. Ia dijatuhi hukuman seumur hidup pada 2015 (dan dijatuhi hukuman seumur hidup kedua pada 2018). Desakan publik agar Popkov dieksekusi mati tak mungkin dilakukan karena hukuman tersebut dimoratorium.

Popkov lahir di Norilsk saat masih bagian dari Uni Soviet. Ia terlihat seperti orang normal pada umumnya dan itu dibuktikan dengan mendapat pekerjaan sebagai polisi.

Popkov tidak merasa mengalami gangguan jiwa, begitu pula koleganya sesama polisi. Namun ia mengaku menjalani kehidupan ganda: Satu sebagai penegak hukum yang patuh, satu lagi sebagai pembunuh berdarah dingin.

Kejahatan Popkov nyaris terkuak pada Januari 1998. Ketika itu ia memberikan tumpangan bagi perempuan berinisial SM. Ia adalah korban termuda Popkov. Usianya baru 15. Popkov mengajaknya ke tengah hutan kemudian memaksanya melepas pakaian di tengah cuaca dengan suhu di bawah nol derajat Celcius.

SM mendapati dirinya terbaring di rumah sakit keesokan harinya. Jaraknya sekitar 112 kilometer dari tempat ia menumpang.

SM tentu tidak tahu bahwa petugas itu adalah Popkov, tapi dia mengingat dengan jelas mukanya. Maka identifikasi pun mudah dilakukan. Polisi, sayangnya, urung menangkap Popkov. Istri Popkov sengaja berbohong untuk melindungi suaminya karena yakin ia adalah orang baik.

Korban pertama Popkov adalah seorang perempuan muda di Irkutsk, salah satu kota terbesar di wilayah Siberia. Ia diperkosa dan dibunuh hari itu juga.

Popkov baru tertangkap 20 tahun setelah kasus pertama, tepatnya 23 Juni 2012, setelah investigasi terhadap DNA 3.500 polisi yang bertugas di area tempat kejadian perkara. Tiga tahun kemudian ia diputus bersalah karena terbukti membunuh 22 kali dan 2 percobaan pembunuhan. Pada 2017, Popkov mengaku dia membunuh 59 orang lain tapi Pengadilan Negeri Irkutsk hanya memvonisnya bersalah atas 56 pembunuhan tambahan di 2018. Pada 2020, Popkov kembali mengklaim dua korban lain.

Dengan demikian korban Popkov ditaksir setidaknya paling sedikit 78 jiwa dan paling banyak 85--termasuk percobaan pembunuhan.

Penghakiman Jalanan

Kegilaan pembunuh berdarah dingin biasanya dilatarbelakangi oleh kejadian yang dialami di masa lalu. Dalam hal Popkov, itu adalah sakit hati bertubi-tubi terhadap perempuan.

Dalam buku Understanding Sexual Serial Killing (2022), F. M. Toates dan Olga Coschug-Toates menyebutkan awal rentetan sakit hati Popkov adalah ketika ia selesai berdinas di militer. Ketika itu Popkov berniat merengkuh kembali cinta pertamanya, namun kandas karena sudah menikah dengan pria lain.

Masalah juga muncul dari keluarga. Pada suatu hari di rumah Popkov menemukan ibunya selingkuh dengan orang lain sementara si ayah sedang tidur. Beberapa tahun kemudian dia juga tahu bahwa adiknya bergantung hidup kepada laki-laki mana pun yang ditemui.

Krisis kepercayaan terhadap perempuan bertahan sampai dewasa, bahkan setelah menikah. Popkov mengaku tidak percaya kepada istrinya sendiri. Suatu hari di tahun 1992, Popkov yang baru pulang menemukan putrinya bermain sendirian di halaman rumah dalam cuaca yang dingin. Anaknya bilang ibu ingin dia bermain di luar sementara ada pria lain dalam rumah.

Popkov masuk dan memukuli selingkuhan istrinya, kemudian mencekik istrinya sendiri. Beruntung putrinya menghentikan usaha pembunuhan itu.

Belakangan Popkov seperti sudah memaafkan istrinya, tapi dia melampiaskan kekesalan kepada orang lain.

Modus kejahatan Popkov sebetulnya cukup sederhana. Saat patroli, dia akan berhenti di tempat-tempat hiburan malam. Dia kemudian akan menawarkan tumpangan bagi perempuan yang terlihat membutuhkan. Dia tak hanya menawari perempuan yang sedang sendiri, tapi kadang juga berdua.

Calon korban biasanya akan mudah percaya karena [apalagi kalau bukan] atribut polisi yang dipakai Popkov. "Hanya karena si brengsek ini memakai seragam polisi saja makanya T (korban) mau masuk ke dalam mobil," kata seorang keluarga korban, Viktoria Chagaeva.

Di dalam mobil dia melakukan seleksi lewat tanya jawab. Pertanyaan paling dasar adalah: apakah korban sudah menikah? (atau punya kekasih atau semacamnya). Jika jawabannya "ya", maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah korban mau diajak minum sebelum diantar pulang.

Jawaban dari dua pertanyaan ini akan menentukan nasib calon korban.

Jika calon korban menjawab "ya" untuk pertanyaan apakah memiliki relasi romantis dengan orang lain, lalu dia tetap mau diajak minum bersama, Popkov akan menganggapnya berselingkuh. Itu cukup membuatnya pantas dibunuh. Sebaliknya, jika menolak, calon korban akan diantar sampai ke depan rumah masing-masing dengan selamat.

"Jadi dia tidak membunuh perempuan tanpa alasan, tapi mereka yang dia identifikasi sebagai pendosa, seperti istrinya. Bahkan guru dari putrinya pun tidak lolos dari penghakiman itu," catat Totes. "Dia mengaku tidak menyesal," tambahnya.

"Aku tidak pernah berpikir punya gangguan kejiwaan," kata Popkov sendiri, dicatat Al Cimino dalam Serial Killers: True Stories of the World's Worst Murderers (2018).

Popkov mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai The Cleaner, yang tugasnya adalah membawa keadilan bagi orang-orang yang rusak. Ia sendiri mengaku targetnya sangat spesifik: perempuan mabuk yang tidak ragu untuk mencari hiburan, termasuk dari aktivitas seksual. Popkov membual korbannya adalah pelaku prostitusi, atau jika bukan pun tetap layak dihukum.

Tindakan kejamnya dipungkasi di pagi hari, yang semakin menegaskan betapa berdarah dinginnya Popkov: "Pagi hari yang sama [setelah pembunuhan], aku membawa kepala investigasi kriminal ke lokasi kejadian perkara," kata Popkov.

Infografik Mikhail Popkov

Infografik Mikhail Popkov. tirto.id/Fuad

Masalah Mental Polisi

Polisi dengan masalah mental adalah monster yang mengerikan. Bukan hanya punya kuasa, tapi juga karena menguasai senjata api yang memungkinkannya mencabut nyawa seseorang dalam hitungan detik. Contoh kasusnya sangat banyak meski tak selalu tentang pembunuhan berantai.

Di Indonesia, ada beberapa kasus penyalahgunaan senjata api oleh anggota polisi. Hal ini, oleh pengamat keamanan, disebabkan karena Polri abai mengurusi kesehatan mental anggotanya.

Tentu pengawasan terhadap mental seorang pemegang senjata harus diperhatikan betul, apalagi karena itu tak selalu terlihat dari luar. Dalam kasus Popkov, itu bahkan tak disadari orang terdekatnya. Baik istri hingga anak Popkov sampai sekarang sulit untuk percaya kepala keluarga mereka melakukan pembunuhan.

Koleganya pun sama, dia tidak bisa membayangkan Popkov menjadi pelaku pembunuhan berantai. Seorang kolega mendeskripsikan Popkov sebagai orang yang "sangat profesional," "menerima banyak pujian sepanjang kariernya," dan "terkenal karena kebugarannya."

"Dia hanya mendapat satu noda karena pernah satu kali menembak mati pemerkosa saat bertugas," kata kolega itu. "Tapi investigasi itu tertutup dan dia tidak pernah dihukum."

Baca juga artikel terkait PEMBUNUH BERANTAI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino