Menuju konten utama

Dalam Kondisi Apa Polisi Diperbolehkan Menggunakan Senjata Api?

Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai tindakan polisi yang menembak warga sipil tanpa peringatan sebagai pelanggaran hukum dan bentuk arogansi.

Dalam Kondisi Apa Polisi Diperbolehkan Menggunakan Senjata Api?
Ilustrasi pria bersenjata. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Pernyataan Wakapolri, Komjen Pol Syafruddin terkait kasus penembakan yang dilakukan anggota Korps Brimob, Briptu Achmad Ridho terhadap warga sipil Fernando Wowor menuai polemik. Syafruddin menyebut tindakan Achmad yang menembak Fernando hingga tewas sebagai pembelaan diri.

“Dia [Achmad Ridho] dikeroyok, kan? Ya membela diri,” kata Syafruddin saat rapat pimpinan Polri di STIK, pada Rabu (24/1/2018).

Kasus penembakan ini terjadi Sabtu, 20 Januari 2018. Kejadian ini berawal dari cekcok mulut yang terjadi antara Fernando dan Achmad di parkiran Lipss Club Bogor, sekitar pukul 02.00 dini hari.

Saat itu, Achmad menembak Fernando Wowor, warga sipil yang juga kader Partai Gerindra ini hingga tewas. Rekan korban, Rio Endika Putra Pradana kemudian melaporkan kasus ini ke Polresta Bogor. Namun, di sisi lain, Lusiana, calon istri Achmad, justru melaporkan balik teman-teman Fernando atas dasar penganiayaan.

Lusiana menuding pihak Fernando dan kawan-kawan yang terlebih dahulu melakukan pelanggaran hukum dengan tindakan penganiayaan. Menurut Lusiana, ketika ia berusaha melerai, ia dan adiknya yang masih berusia 15 tahun dianiaya oleh Fernando.

“Lusiana melaporkan kejadiannya justru ingin melerai dan memberitahu bahwa Ridho adalah anggota Polri, namun justru mendapatkan penganiayaan,” kata Wadir Reskrimum Polda Jabar, AKBP Trunoyudo Wisnu Andito, pada Selasa (23/1/2018).

Kapan Polisi Boleh Menembak?

Kasus penembakan oleh polisi dengan dalih membela diri ini menimbulkan pertanyaan: kapan sebenarnya polisi boleh menggunakan senjata api tersebut.

Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengatakan, terkait penggunaan senjata api ini sudah tertuang dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 yang mengatur tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan tugas Polri, serta Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan.

Pernyataan Poengky secara spesifik merujuk pada Pasal 47 Perkap 8/2009. Dalam regulasi itu disebutkan bahwa penggunaan senjata api hanya boleh digunakan untuk melindungi nyawa manusia. Namun, dalam Perkap ini juga diatur syarat-syarat lebih lanjut bahwa senjata api hanya boleh digunakan dalam: membela diri dari ancaman luka berat/kematian, mencegah terjadinya kejahatan berat.

Terkait soal kemungkinan Fernando dan kawan-kawan tidak membawa senjata tajam, Poengky merasa penindakan tegas dengan peluru tajam tetap bisa dipraktikkan. “Misalnya yang bersangkutan dipelintir atau dicekik atau ditendang ramai-ramai juga pasti mengakibatkan luka parah dan bisa membahayakan nyawa yang dikeroyok,” kata mantan Direktur Imparsial ini, kepada Tirto, Kamis (25/1/2018).

Sedangkan pada Pasal 48 peraturan yang sama, kata Poengky, disebutkan juga petugas Polri harus memberikan peringatan yang jelas dengan beberapa cara, yakni menyebutkan identitas sebagai aparat penegak hukum, memberi peringatan dengan ucapan secara jelas kepada sasaran untuk berhenti, dan memberi waktu agar peringatan diindahkan.

Namun, kata Poengky, hal tersebut tidak perlu dilakukan apabila keadaan sangat terdesak. “Jika kejadiannya dianggap membahayakan nyawa dan berada dalam jarak yang dekat sehingga tidak bisa lagi menghindar, maka penggunaan senjata tidak perlu peringatan,” kata Poengky mengutip bunyi Pasal 48 ayat (3) Perkap 8/2009.

Sementara itu, ahli hukum pidana dari Universitas Sumatera Utara, Mahmud Mulyadi menjelaskan, Perkap Nomor 8 tahun 2009 harus menjadi landasan penentuan tindak pidana bagi aparat kepolisian. Menurut dia, aturan ini sudah mengatur sejauh mana batasan penggunaan kekerasan oleh polisi dengan alasan membela diri.

Dalam konteks kasus Achmad dan Fernando, Mahmud menegaskan, penyelidikan nanti harus melihat terkait pengeroyokan itu, apakah akan membahayakan nyawa penegak hukum atau tidak. Soal adanya peringatan sebelum menembak, menurut dia, harus dilihat juga dari kondisi tingkat bahaya serangan.

Berbeda dengan Poengky dan Mahmud Mulyadi, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar justru menilai bahwa tindakan polisi yang menembak warga sipil tanpa terlebih dahulu memberikan peringatan merupakan pelanggaran hukum dan bentuk arogansi para pemilik senjata api legal.

Menurut Fickar, penembakan itu terjadi tanpa adanya prosedur yang proporsional. Seharusnya, posisi warga sipil yang tanpa senjata, perlu diberikan peringatan terlebih dahulu. “Kalau bukan dengan penjahat, tidak boleh menembak, kecuali lawannya bawa senjata juga [tajam atau api]” kata dia.

Fickar menilai peluang pidana terhadap Achmad Ridho cukup tinggi, karena ada standar operasional prosedur yang kemungkinan besar dilanggar dalam kasus tersebut. Seharusnya, kata dia, polisi sudah mempertimbangkan apakah tembakan yang berakibat pembunuhan itu dibutuhkan atau tidak.

“[Achmad Ridho] tetap harus dipidana sebagai penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian atau pembunuhan,” kata dia.

Hingga saat ini, polisi masih melanjutkan penyelidikan kasus ini. Wakapolri, Komjen Pol Syafruddin mengatakan, pihaknya belum bisa menyimpulkan dengan pasti apakah Briptu Achmad Ridho bersalah atau tidak dalam kasus ini. Menurut dia, hal ini masih dalam penyelidikan dan investigasi Polri.

"Tapi dilihat penyelidikannya. Enggak bisa disimpulkan dulu. Statusnya dalam investigasi,” kata Syafruddin, Rabu kemarin.

Fakta Lapangan yang Menentukan

Dalam kasus ini, menurut Poengky, adanya pelanggaran atau tidak harus dilihat dari kejadian yang terjadi di lapangan. Persoalannya, kata Poengky, hingga saat ini banyak pertanyaan yang belum terjawab dalam pemeriksaan.

Fakta kejadian saat itu masih belum diketahui, termasuk soal penodongan pistol yang katanya dilakukan lebih dulu oleh Achmad Ridho. Meski peluru berasal dari pistol Achmad, tetapi siapa yang menekan pistol dan kebenaran terkait perebutan pistol itu juga masih belum dipastikan.

“Hal tersebut harus dibuktikan terlebih dulu,” kata Poengky.

Poengky berpendapat, cara terbaik adalah membawa kasus ini ke tingkat penyidikan dan dilimpahkan di pengadilan. Poengky percaya penyelidikan yang dilakukan penyidik yang berasal dari internal Polri dan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri akan objektif. Jika kemudian memang ada pelanggaran dalam penyelidikan, Poengky menilai, publik pasti akan mengetahuinya.

“Untuk penyeimbangnya ada mekanisme pengawasan, baik internal maupun eksternal. Pengawasan internal sudah melalui Propam, dan eksternal dilakukan oleh Kompolnas, Ombudsman, dll. Jadi prosedurnya sudah benar,” kata dia.

Kronologi peristiwa yang tak kunjung selesai ini, kata Kapolda Jawa Barat, Irjen Pol Agung Budi Maryoto, dikarenakan kondisi saksi terlapor atau korban pengeroyokan yang masih belum pulih. Hingga saat ini, Achmad masih berada di Rumah Sakit Kramat Jati Polri dan mendapat perawatan dari sejumlah tim dokter.

“Briptu AR masih di rumah sakit, penyidik belum bisa periksa. Tunggu saja,” katanya tanpa bisa memastikan kapan kronologi yang jelas akan diungkapkan.

Kendati demikian, anggota Komisi III dari Partai Nasdem, Teuku Taufiqulhadi mengatakan, penyusunan kronologi ini masih dalam tahap yang bisa ditolerir. Jika dalam kurun waktu 1 minggu belum selesai, ia menilai hal itu masih wajar.

“Tidak masalah. Karena itu relatif. Tidak boleh kita menuduh kalau seminggu belum selesai kronologinya. Jika memang sudah berbulan-bulan atau lebih dari itu, kita wajar untuk menuduh,” kata dia.

Taufiqulhadi sendiri meyakini dan berharap polisi bisa menindak kasus ini dengan sesegera mungkin. Bila memang kasus ini tak kunjung selesai, ia berjanji akan mendesak Polri untuk mengusut kasus ini hingga tuntas saat ada kesempatan.

“Bisa hancur kepercayaan masyarakat pada Polri, tidak mungkin mereka membiarkan,” kata dia. “Kami tentu akan mempertanyakan kasus ini saat ada rapat dengan Kapolri [Tito Karnavian].”

Politikus Partai Gerindra yang juga Wakil Ketua Komisi III DPR, Desmond J. Mahesa menganggap polisi tidak bertindak benar jika menilai kasus terbunuhnya Fernando sebagai upaya membela diri dari Achmad.

Menurut Desmond, tindakan Achmad Ridho mengeluarkan senjata sudah berlebihan. Sepengetahuan Desmond, tidak ada kontak senjata dari Fernando dan teman-temannya malam itu.

“Kalau menembak orang, menembak mati tidak menyebabkan salah. Itu aturan dari mana?” Desmond mempertanyakan.

Politikus Gerindra ini mengungkapkan apabila Kapolri Tito Karnavian membela Achmad dalam kasus tersebut, hal itu merupakan bentuk kesewenang-wenangan. Tindakan itu, kata dia, lebih mengarah kepada arogansi dari aparat dan seharusnya diintrospeksi.

Baca juga artikel terkait PENEMBAKAN atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz & Maulida Sri Handayani