tirto.id - Serangan teror di Surabaya memantik banyak topik perdebatan, salah satunya tentang posisi Alquran. Banyak pihak keberatan terhadap kabar yang beredar soal Alquran sempat disita oleh pihak kepolisian.
“Kita tidak sedang berhadapan dengan kitab suci, kita tidak sedang berhadapan dengan agama, kita berhadapan dengan orang sakit, orang sesat, orang berbahaya yang harus ditindak dengan keras,” kata Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera kepada wartawan di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (19/5/2018).
Mardani mengatakan pendekatan Kamtibmas dengan melibatkan 80 ribu Babinsa tidak cukup mengantisipasi aksi teroris. Ia meminta pemerintah tidak mencari kambing hitam dan menyiapkan langkah komprehensif dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat.
“Jadi cover semua kesalahan yang ada, tidak pada orang lain, tapi ada pada kita sendiri," ujarnya.
Ketua Bidang Infokom Majelis Ulama Indonesia Masduki Baidowi menganjurkan polisi jangan sampai berpikiran menjadikan Alquran sebagai barang bukti tindak terorisme. Alquran dan kitab suci mana pun tidak bersalah dan dijunjung tinggi oleh umatnya.
“Apa enggak ada alat bukti lain?” ujarnya kepada Tirto.
Teroris sangat mungkin menggunakan kitab suci sebagai pembenaran atas perbuatan jahat teror, tapi tidak berarti Alquran mengajarkan terorisme. "Seluruh muslim harus memegang kitab suci. Itu umum saja," katanya lagi.
Baidowi percaya polisi tidak bermaksud mendiskreditkan umat Islam. Ia berharap tidak ada politisasi atas isu ini, seperti tuntutan meminta Jenderal Tito Karnavian mundur sebagai Kapolri.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan menjadikan Alquran sebagai barang bukti rawan menimbulkan salah persepsi di masyarakat. "Polisi harus menghindari distrosi," katanya.
Selain kitab suci, ia menyarankan penyebutan etnis dan agama pelaku teroris sebisa mungkin dihindari. "Kalau itu [agama] dicuatkan, itu jadi mendisrkeditkan ajaran agama tertentu padahal nyatanya tidak sejalan," katanya lagi.
Ketua DPN Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia (Peradah) Suresh Kumar menilai polisi perlu sangat berhati-hati. “Bisa menimbulkan masalah baru,” ujar Suresh.
Suresh berpandangan keyakinan beragama para teroris tidak berarti agama adalah sumber kejahatan. Suresh mengatakan kitab suci hanya mungkin menjadi barang bukti apabila di dalamnya terdapat pengubahan isi sehingga digunakan untuk mendoktrin seseorang berlaku teror.
“Kalau dia (polisi) menyita untuk mengetahui ada rekayasa kitab suci yg diubah-ubah, ya itu lain cerita,” katanya. “Makanya penting dari Kapolri memberikan klairifikasi."
Dalam aturan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, aturan soal barang bukti dituliskan dalam Pasal 39 ayat (1). Salah satu syarat barang bukti adalah benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.
Mahmud Mulyadi, dosen ilmu hukum pidana dari Universitas Sumatera Utara menjelaskan Alquran bisa saja dijadikan barang bukti namun bergantung pada jenis kejahatannya. Contohnya Alquran diinjak dan dipakai untuk kasus penistaan agama, tentu harus menjadi barang bukti.
“Saya melihat bahwa kitab suci masih bisa dijadikan barang bukti,” katanya.
Penggunaan Alquran sebagai barang bukti terjadi dalam kasus terorisme dengan terdakwa Taufik bin Marzuki alias Abu Sayaf. Jaksa Penuntut Umum menjadikan dua buah Alquran sebagai barang bukti yang diperoleh dari Polri. Penolakan menjadikan Alquran sebagai barang bukti juga digemakan warganet melalui petisi di situs change.org.
Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Setyo Wasisto awalnya tidak langsung mengiyakan atau menolak. "Nanti kami evaluasi. Terima kasih masukannya. Akan kami evaluasi," kata Setyo hari Jumat (18/5).
Namun sehari kemudian Setyo memperjelas sikap kepolisian. Menurut mantan Wakil Kepala Intelijen dan Keamanan Mabes Polri ini, baik Densus 88 atau anggota Polri lainnya, tidak pernah menjadikan Alquran sebagai barang bukti.
"Bahwa adanya petisi tentang kitab suci Al Quran sebagai barang bukti, maka saya nyatakan bahwa tidak pernah ada penyitaan kitab suci sebagai barang bukti," katanya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Muhammad Akbar Wijaya